Bukti, Kronologi dan Fakta Baru Mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949.
Sejarah Bangsa Telah “Dibengkokkan” ?
Agresi Militer Belanda II
Tanggal 6 Agustus 1948, Dr. Willem Drees dari Partij van de Arbeid, menjadi Perdana Menteri kabinet koalisi bersama Partai Katolik (Katholieke Volkspartij). Dia menggantikan Dr. L.J.M. Beel, yang kemudian diangkat menjadi Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Belanda di Indonesia.
Beel menggantikan posisi van Mook sebagai
Wakil Gubernur Jenderal. Jabatan Gubernur Jenderal dan Wakil Gubernur
Jenderal dihapus. Willem Drees, pernah menjadi Menteri Sosial di kabinet
Schermerhorn dan kemudian di kabinet Beel.
Drees menjadi Perdana Menteri Belanda
dari tahun 1948 – 1958. Pengangkatan Dr. Beel menjadi Wakil Tinggi
Mahkota menunjukkan, betapa pentingnya masalah Indonesia bagi Belanda.
Dengan demikian setelah Profesor Schermerhorn, Dr. Beel adalah mantan
Perdana Menteri Belanda kedua yang dipercayakan untuk menyelesaikan
masalah Indonesia.
Berbeda dengan Profesor Schermerhorn yang
sosialis, Beel termasuk kelompok garis keras dan dekat dengan kalangan
pengusaha di Belanda, yang tidak ingin memberikan konsesi apa pun kepada
pihak Republik. Dengan pengangkatan Dr. Beel, Belanda telah menunjukkan
sikap kerasnya, dan Letnan Jenderal Spoor yang memang ingin
menghancurkan TNI, mendapat dukungan politik.
Pada
11 Desember 1948 Belanda menyatakan tidak bersedia lagi melanjutkan
perundingan dengan pihak Republik, dan pada 13 Desember 1948, Belanda
mengumumkan berdirinya Pemerintah Peralihan di Indonesia (Bewindvoering Indonesie in Overgangstijd) atau
BIO yang rencananya hanya terdiri dari negara- negara boneka, yang
tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaale Overleg –BFO- (Musyawarah
Negara Federal), tanpa ikut sertanya Republik Indonesia.
Dalam suatu sidang kabinet, sesuai dengan hasil pembicaraan dalam sidang Dewan Siasat Militer
beberapa waktu sebelumnya, diputuskan untuk segera memberangkatkan
Presiden Sukarno ke India. Untuk tidak menimbulkan kecurigaan Belanda,
alasan yang akan dikemukakan adalah suatu kunjungan resmi kenegaraan.
Hal tersebut disampaikan kepada Wakil India di Yogyakarta, Mr. Yunus,
yang segera meneruskan kepada Perdana Menteri India.
Perdana Menteri Nehru menyetujuinya dan
bahkan mengirim pesawat terbang untuk menjemput Presiden Sukarno.
Direncanakan, Presiden Sukarno akan berangkat ke India tanggal 15
Desember 1948 dan akan ditemani antara lain oleh Komodor Udara
Suriadarma, namun pesawat yang dikirim oleh Perdana Menteri India,
ditahan oleh Belanda di Jakarta dan tidak diizinkan melanjutkan
penerbangan ke Yogyakarta. Malam sebelumnya, Presiden Sukarno bahkan
telah menyampaikan pidato perpisahan.
Tanggal 17 Desember, melalui Ketua KTN
Merle Cochran, yang sejak bulan Oktober 1948 menggantikan Dubois, Wakil
Presiden Hatta yang juga ketua delegasi Indonesia, mengirim surat kepada
Dr. Beel, yang berisi jawaban pihak Indonesia atas permintaan Belanda
mengenai rencana pembentukan BIO.
Karena penyakit paru yang dideritanya,
sejak bulan Oktober 1948 Panglima Besar Sudirman harus dirawat di rumah
sakit, sehingga tugas sehari-hari dilaksanakan oleh para Wakil Kepala
Staf Angkatan Perang. Namun firasat Sudirman yang kuat, mendorongnya
pada 18 Desember 1948 untuk menyatakan, bahwa mulai hari itu, dia
mengambil alih kembali komando Angkatan Perang (KSAP) Republik
Indonesia. Kol. T.B. Simatupang, waktu itu adalah Wakil II KSAP
mencatat:
Pada tanggal 18 Desember pagi saya
mengunjungi Pak Dirman yang sejak tiga bulan tidak dapat lagi bangun
dari tempat tidurnya. Pada kesempatan itu saya laporkan kepada Pak
Dirman bahwa pada satu pihak kita menganggap keadaan cukup genting,
tetapi pada pihak lain menurut anggapan pimpinan politik, secara politis
Belanda belum dapat memulai serangan selama surat-menyurat melalui
wakil Amerika Serikat dalam KTN belum putus. Penyerangan oleh pihak
Belanda dalam keadaan seperti itu merupakan politik gila, demikian
pendapat di kalangan-kalangan politik. Walau pun begitu rupanya Pak
Dirman telah mempunyai firasat bahwa Belanda akan menyerang juga. Pada
hari itu Pak Dirman mengeluarkan pengumuman bahwa beliau telah memegang
kembali komando.
Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30,
siaran radio Belanda dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok pagi Wakil
Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan menyampaikan pidato yang penting.
Sementara itu Jenderal Spoor yang telah
berbulan-bulan mempersiapkan rencana “pemusnahan” TNI memberikan
instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk
memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan
“Operasi Kraai.”
Pukul 02.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) dari Korps Speciaale Troepen (KST) di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai masuk ke enam belas pesawat transportasi.
Pukul 03.30 dilakukan briefing terakhir.
Pukul 03.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti
oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan
mengucapkan pidato singkat.
Pukul 04.20 pasukan elit KST di bawah
pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota
pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo
diambil melalui Lautan Hindia.
Pukul 06.25 mereka menerima berita dari
para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat
dipergunakan. Pukul 06.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.
Seiring dengan penyerangan terhadap
bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel
berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat
dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah
Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI,
Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi II telah dimulai.
Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai “Aksi
Polisional.”
Penyerangan terhadap Ibukota Republik,
diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari.
Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul
07.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di
pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang,
tak satu pun jatuh korban.
Sekitar pukul 09.00, seluruh 432 anggota
pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan
Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang,
dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel
D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke
Yogyakarta.
Serangan terhadap Yogyakarta juga dimulai
dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota Yogyakarta. Di
daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa
penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari.
Segera setelah mendengar berita bahwa
tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar mengeluarkan
perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul
08.00:
PERINTAH KILAT
No. I/P.B./D/1948
1. Kita telah diserang.
2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.
4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.
No. I/P.B./D/1948
1. Kita telah diserang.
2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.
4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.
Dikeluarkan di tempat
Tanggal – 19 Desember 1948
Jam – 08.00
Panglima Besar Angkatan Perang
Republik Indonesia
Tanggal – 19 Desember 1948
Jam – 08.00
Panglima Besar Angkatan Perang
Republik Indonesia
Letnan Jenderal Sudirman
Setelah itu, Jenderal Sudirman berangkat
ke Istana Presiden, di mana kemudian dia didampingi oleh Kolonel
Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya.
Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa
tidak diundang, Jenderal Sudirman dan para perwira TNI lainnya menunggu
di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang
dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak
meninggalkan Ibukota.
Sesuai dengan rencana yang telah
dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan
dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat
kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri
Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Isi Surat Presiden Sukarno
dan Wakil Presiden Hatta adalah sebagai berikut:
Kami Presiden RI
memberitahukan bahwa pada hari Minggu, tanggal 19 Desember 1948, pukul 6
pagi, Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika
dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami
menguasakan pada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran
Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera.
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Presiden Wakil Presiden
Sukarno Mohammad Hatta
Sukarno Mohammad Hatta
Selain itu, untuk menjaga kemungkinan
bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga
dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf
Kedutaan RI, L.N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang
sedang berada di New Delhi yang isinya:
Pro: dr. Sudarsono/Palar/Mr. Maramis. New Delhi.
Jika ikhtiar
Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra
tidak berhasil, kepada Saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk
“Exile Government of the Republic of Indonesia” di India.
Harap dalam hal ini berhubungan dengan Syafruddin di Sumatra. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.
Harap dalam hal ini berhubungan dengan Syafruddin di Sumatra. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Wakil Presiden Menteri Luar Negeri
Mohammad Hatta / Agus Salim
Penangkapan terhadap pimpinan pemerintah
Indonesia serta serangan terhadap pasukan Indonesia, dilakukan oleh
tentara Belanda di seluruh wilayah Republik Indonesia waktu itu, yaitu
di Sumatera, Jawa dan Madura. Seluruh perwira dan prajurit TNI serta
laskar-laskar yang belum sempat diintegrasikan ke dalam TNI, segera ke
luar kota, demikian juga di Yogyakarta. Masing-masing satuan menuju ke
tempat yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perintah yang tertuang dalam
Siasat No. 1 dilaksanakan, yaitu sambil mundur ke wilayah pegunungan,
bumi hangus segera dilakukan, terutama menghancurkan jembatan-jembatan
agar supaya tidak dapat dilalui kendaraan militer Belanda. Perang
gerilya dimulai!
Setelah berita mengenai agresi militer
Belanda yang dilancarkan pada 19 Desember 1949 disiarkan di seluruh
dunia, berbagai kritik dan bahkan kecaman tajam dilontarkan oleh banyak
negara terhadap pemerintah Belanda. Bahkan tanggal 20 Desember, berarti
sehari setelah agresi militer Belanda, Dewan Keamanan PBB segera
bersidang di Lake Success, dan kemudian dilanjutkan tanggal 22 Desember
di Paris, yang juga dihadiri oleh utusan KTN (Komisi Tiga Negara) yang datang dari Indonesia dan memberikan laporannya.
Pada sidang tersebut, Uni Sovyet
mengusulkan agar Belanda secara resmi dicap sebagai agresor, namun usul
tersebut ditolak oleh sidang. Dewan Keamanan menerima usul Amerika
Serikat, Siria dan Kolumbia, yaitu agar tembak-menembak segera
dihentikan, dan semua orang Indonesia yang ditahan oleh Belanda,
dibebaskan. Kemudian Dewan Keamanan menerima usul resolusi dari wakil
Ukraina, Vassily A. Tanassenko, dan mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan
tertanggal 24 Desember 1948, yang isinya menyerukan kepada Belanda
untuk segera menghentikan aksi militernya. Karena tidak dipatuhi oleh
Belanda, Dewan Keamanan mengeluarkan lagi resolusi tanggal 28 Desember,
dengan tambahan agar pembesar-pembesar Republik Indonesia yang ditawan,
dibebaskan tanpa syarat dalam waktu 24 jam. Kedua resolusi tersebut juga
diabaikan oleh Belanda.
Tanggal 31 Desember, Panglima Tertinggi
Tentara Belanda di Indonesia, Jenderal Simon H. Spoor, mengumumkan
penghentian tembak-menembak yang tampaknya hanya sekadar basa-basi
-berlaku di atas kertas saja- karena setelah itu, tentara KNIL di
seluruh Indonesia terus melancarlkan serangan terhadap tentara Indonesia
di wilayah Republik, serta menangkap pimpinan Repulik. Perdana Menteri
Belanda, Dr. Willem Drees, menyatakan bahwa “aksi polisional” mereka
telah selesai, dan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.
Pemerintah Belanda nampaknya tidak
menduga reaksi keras dari dunia internasional, terutama dari Pemerintah
dan Senat Amerika Serikat, serta Dewan Keamanan PBB, yang segera
mengeluarkan dua resolusi berturut-turut.
Kesibukan luar biasa timbul di negeri
Belanda, baik di kalangan pemerintah maupun di Parlemen. Akhirnya
diputuskan, bahwa Perdana Menteri Dr. Drees harus segera ke Jakarta
untuk memantau situasi serta berunding dengan berbagai pihak di
Indonesia. Drees berangkat ke Jakarta tanggal 4 Januari, dan kembali ke
negeri Belanda tanggal 20 Januari; berarti dia tinggal di Indonesia
selama 16 hari. Sungguh luar biasa, bagi seorang Perdana Menteri yang
belum lama menjabat, pergi ke luar negeri untuk waktu yang cukup lama.
Ini menunjukkan, bahwa masalah yang dihadapi Pemerintah Belanda,
bukanlah masalah kecil dan tidak mudah untuk menyelesaikannya.
Merle Cochran, wakil Amerika Serikat yang
ditunjuk sebagai Ketua KTN, awal Januari dipanggil oleh Dewan Keamanan
untuk memberikan laporannya mengenai situasi di Indonesia. Dalam Sidang
Dewan Keamanan yang dilangsungkan di Lake Success tanggal 7 Januari
1949, wakil Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB, Philip Jessup
menyampaikan sikap Pemerintah Amerika Serikat, yang lebih tegas daripada
yang dikemukakan oleh Lovett tanggal 23 Desember 1948.
Tamparan pertama dari pihak BFO adalah
pengunduran diri Ketua “Negara Pasundan”, Mr. Adil Puradireja, sebagai
protes terhadap agresi militer Belanda tersebut.
Di PBB dan di dunia internasional,
terjadi perang diplomasi antara Republik Indonesia dan Belanda.
Tokoh-tokoh Republik di luar negeri berusaha untuk membuktikan kepada
dunia internasional, bahwa Republik Indonesia dan TNI masih eksis. Di
pihak lain, Belanda terus berusaha untuk meyakinkan negara-negara lain
di PBB, bahwa Republik Indonesia dengan TNI-nya sudah tidak ada.
KTN (Komisi Tiga Negara) masih tetap ada
di Yogyakarta untuk mengadakan pemantauan situasi, dan selalu memberikan
laporan kepada Dewan Keamanan PBB.
Sejak pengaduan Republik kepada Dewan Keamanan PBB atas pelanggaran Perjanjian Linggajati yang dilakukan Belanda dengan melancarkan agresi militer pertama pada 21 Juli 1947, The Indonesian Question (Masalah Indonesia) tidak henti-hentinya ada di dalam agenda Dewan Keamanan PBB.
Sejak pengaduan Republik kepada Dewan Keamanan PBB atas pelanggaran Perjanjian Linggajati yang dilakukan Belanda dengan melancarkan agresi militer pertama pada 21 Juli 1947, The Indonesian Question (Masalah Indonesia) tidak henti-hentinya ada di dalam agenda Dewan Keamanan PBB.
Berbagai resolusi telah dikeluarkan sejak
tahun 1947, namun Belanda masih tetap keras kepala dan tidak mau
melihat kenyataan, bahwa Kemerdekaan Republik Indonesia tidak dapat
dihalangi lagi. Belanda melawan opini dunia dan masih berusaha memutar
balik jarum jam sejarah.
Di PBB makin banyak negara termasuk
Amerika Serikat, yang tidak percaya dengan versi Belanda. Beberapa
negara melancarkan inisiatif untuk mendesak Belanda keluar dari
Indonesia dan mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Terutama adalah
Amerika Serikat yang ingin segera dihentikannya pertempuran di Indonesia
dan telah memberikan isyarat, bahwa AS menyetujui pengakuan kedaulatan
RI. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari strategi global AS untuk
menghadang komunisme, berdasarkan teori dominonya pada waktu itu.
AS sangat kuatir, karena Uni Sovyet
melancarkan propaganda dengan mengidentiskan kolonialisme dengan
kapitalisme. Perang dingin ideologi telah dimulai sejak tahun 1945,
diawali di Konferensi Yalta.
Berbagai kalangan di Amerika Serikat
mendesak Pemerintah Amerika Serikat agar membekukan bantuan untuk negeri
Belanda dalam rangka Marshall Plan (European Recovery Programm,
program pemulihan/pembangunan Eropa, setelah Perang Dunia II), karena
mereka menilai, Belanda menggunakan dana bantuan tersebut untuk
membiayai agresi militer di Indonesia, yang diperkirakan menelan biaya
sebesar satu juta US $/hari.
Setelah Dewan Keamanan melihat bahwa
Belanda tidak mematuhi Resolusi Dewan Keamanan tanggal 24 Desember 1948
dan 28 Desember 1948, awal Januari 1949 Dewan Keamanan menggelar sidang
lagi untuk membahas masalah agresi militer Belanda.
Amerika Serikat dan Uni Sovyet saling
menuduh, bahwa yang dilakukan oleh masing-masing negara tersebut
hanyalah agar Republik Indonesia tidak masuk ke bawah pengaruh negara
lawan politisnya. Pada 22 Desember 1948, Kolonel Nasution selaku
Panglima Tentara dan Teritorium Jawa mengeluarkan maklumat yang isinya:
Markas Besar Komando Jawa
Maklumat No. 2/MBKD
Maklumat No. 2/MBKD
Berhubung dengan
keadaan perang, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30 dan 70,
kami maklumkan berlakunya Pemerintahan Militair untuk seluruh Pulau
Jawa.
Dikeluarkan: di tempat
Pada tanggal: 22 Dec.’49
Pada jam: 08.00
Pada tanggal: 22 Dec.’49
Pada jam: 08.00
Panglima Tentara dan
Teritorium Jawa
Teritorium Jawa
Ttd.
(Kol. A.H. Nasution)
(Kol. A.H. Nasution)
Kepada:
1. Semua Div.
2. – id – Bd.
3. – id – STC
4. Residen
1. Semua Div.
2. – id – Bd.
3. – id – STC
4. Residen
Divisi III di bawah Kolonel Bambang
Sugeng bermarkas di desa Kaliangkrik, dan sesuai dengan Perintah Siasat
No. 1 dari Panglima Besar, di daerah gerilya dibentuk Wehrkreise
(Wehrkreis, bahasa Jerman, artinya:
Wilayah Pertahanan) dan Subwehrkreise (SWK). Pembagian Wehrkreise (WK) di wilayah Divisi III/Gubernur Militer III adalah:
a. Wehrkreis I dipimpin
oleh Letnan Kolonel M. Bachrun. Wilayahnya meliputi Karesidenan
Pekalongan, Banyumas dan Wonosobo, bermarkas di Desa Makam.
b. Wehrkreis II dipimpin oleh Letnan Kolonel Sarbini. Wilayahnya meliputi Kedu dan Kabupaten Kendal, bermarkas di Bruno.
c. Wehrkreis III dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Wilayahnya meliputi Yogyakarta dengan Pos Komandonya di Pegunungan Menoreh.
b. Wehrkreis II dipimpin oleh Letnan Kolonel Sarbini. Wilayahnya meliputi Kedu dan Kabupaten Kendal, bermarkas di Bruno.
c. Wehrkreis III dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Wilayahnya meliputi Yogyakarta dengan Pos Komandonya di Pegunungan Menoreh.
Beberapa hari setelah bermarkas di Gunung
Sumbing, para gerilyawan telah dapat membuka jalur komunikasi dan surat
menyurat dengan pimpinan sipil yang berada di kota Yogyakarta. Jalur
radio dan telegram juga dapat difungsikan dalam waktu relatif singkat.
Dengan cara estafet, pemberitaan melalui
radio dari Gunung Sumbing dapat mencapai New York, a.l. melalui pemancar
radio AURI di Playen, dekat Wonosari, yang siarannya dapat ditangkap di
Bukittinggi, kemudian diteruskan ke Kotaraja. Siaran dari Kotaraja ini
dapat ditangkap di Singapura dan Birma, dan siaran dari Birma dapat
ditangkap di New Delhi, India.
Dengan adanya pemancar-pemancar radio
tersebut, pimpinan Tentara Nasional Indonesia yang bergerilya dapat
terus saling berkomunikasi dan semua kegiatan dapat disampaikan secara
estafet ke Singapura, New Delhi bahkan sampai ke New York.
Begitu juga jaringan teritorial yang
telah dipersiapkan beberapa bulan sebelum serangan Belanda tanggal 19
Desember 1948 berfungsi dengan baik, sehingga para Panglima/Gubernur
Militer dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman yang
juga adalah Kepala Staf Angkatan Perang. Hirarki kemiliteran tetap
berfungsi selama perang gerilya.
Mengenai perjalanannya di Jawa yang dimulai tanggal 25 Februari 1949, Simatupang mencatat:
“Organisasi
teritorial kita telah cukup teratur pada waktu itu, sehingga kami tidak
usah membawa apa-apa selain daripada sekadar pakaian, sebab di mana-mana
organisasi teritorial itu akan menyediakan penunjuk jalan,
tenaga-tenaga pengangkut barang, tempat tidur, makanan dan di
daerah-daerah yang kurang aman, pengawalan.”
Setelah melalui serangkaian perdebatan
dan sanggahan dari wakil Belanda, akhirnya Dewan Keamanan PBB menerima
usulan yang dimajukan oleh Amerika Serikat bersama Kuba, Norwegia dan
Cina (Taiwan-pen.), yang isinya antara lain menyerukan penghentian
pertempuran dan mendesak Belanda untuk memulai perundingan dengan pihak
Republik Indonesia, guna membicarakan pengakuan/penyerahan kedaulatan
kepada RI.
Pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan
Keamanan PBB menerima usulan 4 negara tersebut dan menetapkan sebagai
Resolusi PBB No. 67, tanggal 28 Januari 1949, mengenai “The Indonesian Question.”
Resolusi Dewan Keamanan, 28 Januari 1949.
Dewan Keamanan, dengan
mengingat resolusinya tanggal 1 Agustus 1947, 25 Agustus 1947 dan 1
November 1947 tentang masalah Indonesia;
dengan memperhatikan dan menyetujui laporan-laporan yang diajukan oleh Komisi Jasa Baik untuk Indonesia (Committee of Good Offices for Indonesia);
menimbang bahwa resolusinya tanggal 24 Desember 1948 dan 28 Desember 1948 tidak dijalankan sepenuhnya;
menimbang, bahwa masih
didudukinya daerah Republik Indonesia oleh pasukan-pasukan bersenjata
Belanda adalah tidak sesuai dengan usaha untuk kembalinya hubungan baik
antara kedua belah fihak dan untuk tercapainya penyelesaian akhir yang
adil dan kekal atas sengketa tentang Indonesia;
menimbang, bahwa
mengadakan dan memelihara keamanan di seluruh Indonesia adalah syarat
yang perlu untuk mencapai maksud dan keinginan kedua belah fihak;
mendengar dengan puas,
bahwa kedua belah fihak tetap berpegang teguh pada asas-asas Persetujuan
Renville dan menyetujui akan diadakannya pemilihan umum yang bebas dan
demokratis di seluruh Indonesia dengan maksud untuk mendirikan suatu Constituent Assembly
(Badan Pembentuk Undang-undang) secepat-cepatnya, serta menyetujui pula
bahwa Dewan Keamanan akan mengawasi pemilihan umum itu melalui suatu
badan yang akan dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa;
dan bahwa wakil Belanda
telah menyatakan keinginan pemerintahnya untuk mengadakan pemilihan
umum itu tidak lewat tanggal 1 Oktober 1949;
melihat pula dengan
puas, bahwa Pemerintah Belanda berniat akan menyerahkan kedaulatan
kepada Indonesia Serikat jika mungkin pada 1 Januari 1950 atau
setidak-tidaknya dalam tahun 1950, dengan kesadaran akan
tanggungjawabnya yang utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan
internasional, dan supaya segala hak, tuntutan, dan kedudukan
masing-masing fihak tidak dilanggar dengan kekerasan;
1. menyerukan kepada
Pemerintah Belanda supaya menghentikan segala tindakan militer dengan
segera; menganjurkan pada Pemerintah Republik pada waktu yang sama
memerintahkan kepada pengikut-pengikutnya yang bersenjata supaya
menghentikan perang gerilya; dan menganjurkan kepada kedua belah fihak
supaya bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga keamanan
dan ketertiban di seluruh daerah yang bersangkutan;
2. menyerukan kepada
Pemerintah Belanda supaya membebaskan dengan segera dan tanpa syarat apa
pun juga semua tawanan politik yang ditawan olehnya semenjak 19
Desember 1948 dalam Republik Indonesia, dan mempermudah kembalinya
dengan segera pejabat-pejabat Pemerintah Republik Indonesia ke
Yogyakarta, agar mereka dapat melakukan tugasnya seperti tersebut pada
pasal (1) di atas dan agar mereka dapat menjalankan pekerjaannya secara
bebas, termasuk tugas pemerintahan di daerah Yogyakarta yang mengenai
kota Yogyakarta dan sekitarnya. Pejabat-pejabat Belanda harus memberikan
kepada Pemerintah Republik Indonesia segala perlengkapan sepantasnya
yang diperlukan oleh pemerintah itu untuk melakukan kewajiban dalam
daerah Yogyakarta itu dan untuk dapat berhubungan dan bertukar pikiran
dengan lain-lain fihak di Indonesia.
3. Menganjurkan,
supaya, mengingat pentingnya terwujud tujuan dan keinginan kedua belah
fihak untuk mendirikan suatu Negara Indonesia Serikat yang merdeka dan
berdaulat dan berbentuk federal dalam waktu yang sesingkat-singkatnya,
utusan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik selekas mungkin
mengadakan perundingan, dengan bantuan komisi yang tersebut dalam
paragraf 4 di bawah, berdasarkan asas-asas yang terdapat dalam
persetujuan Linggajati dan Persetujuan Renville dan mempergunakan apa
yang telah disetuhui antara kedua fihak tentang usul-usul yang diajukan
padanya oleh wakil-wakil Amerika dalam Komisi Jasa Baik pada tanggal 10
September 1948; dan teristimewa atas dasar-dasar yang berikut:
a) perwujudan
Pemerintah Federal Interim yang akan diberi kuasa atas pemerintahan
dalam negeri di Indonesia selama masa peralihan (interim period) sebelum
penyerahan kedaulatan terjadi itu, harus merupakan hasil
perundingan-perundingan tersebut di atas dan dilaksanakan tidak lewat
tanggal 15 Maret 1949;
b) pemilihan wakil-wakil yang akan duduk dalam Constituent Assembly hendaknya selesai pada tanggal 1 Oktober 1949; dan
c) penyerahan
kedaulatan atas Indonesia oleh Pemerintah Belanda kepada Negara
Indonesia Serikat hendaknya dilaksanakan dalam waktu
sesingkat-singkatnya dan setidak-tidaknya tidak lewat tanggal 1 Juli
1950;
jikalau tidak tercapai
persetujuan satu bulan sebelum tanggal-tanggal yang tersebut pada
sub-paragraf (a), (b) dan (c) di atas, maka komisi yang tersebut pada
paragraf (a) di bawah, dengan segera harus memberi laporan kepada Dewan
Keamanan, dengan menambahkan saran-saran tentang cara penyelesaian
kesukaran-kesukaran yang ada;
4. a) Komisi Jasa Baik
selanjutnya akan disebut Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
Indonesia (United Nations Commission for Indonesia – UNCI). Komisi itu
akan bertindak sebagai wakil Dewan Keamanan di Indonesia dan memegang
semua kewajiban yang diberikan kepada Komisi Jasa Baik oleh Dewan
Keamanan semenjak 18 Desember 1947 dan juga semua kewajiban yang
diberikan padanya oleh resolusi ini. Komisi ini mengambil putusan
berdasarkan suara terbanyak, akan tetapi dalam memberikan laporan dan
anjuran kepada Dewan Keamanan harus menyebut pula pandangan mayoritas
maupun pandangan minoritas, jika ada perbedaan paham antara pada anggota
komisi itu.
b) Komisi Konsuler
diminta membantu pekerjaan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
Indonesia dengan menyediakan peninjau-peninjau militer dan
pegawai-pegawai lainnya serta bantuan lainnya agar komisi dapat
melakukan kewajibannya seperti termaktub dalam resolusi sekarang ini,
dan untuk sementara waktu menunda segala pekerjaan lainnya.
c) Komisi akan memberi
bantuan kepada kedua belah fihak dalam melaksanakan resolusi ini, akan
memberi bantuan kepada kedua belah fihak dalam mengadakan perundingan
menurut paragraf 3 di atas, dan berhak memberi usul kepada mereka atau
kepada Dewan Keamanan tentang hal-hal yang termasuk dalam wewenangnya.
Setelah tercapai persetujuan dalam perundingan-perundingan itu, komisi
akan memberi anjuran kepada Dewan Keamanan tentang sifat, kekuasaan dan
pekerjaan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang harus tinggal di
Indonesia untuk membantu pelaksanaan syarat-syarat persetujuan itu
sehingga kedaulatan diserahkan oleh Pemerintah Belanda kepada Negara
Indonesia Serikat.
d) Komisi berhak
berunding dengan wakil-wakil dari semua daerah di Indonesia di luar
daerah Republik dan berhak mengundang wakil-wakil daerah tersebut untuk
ikut serta dalam perundingan seperti termaksud dalam paragraf 3 di atas.
e) Komisi atau badan
lain dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mungkin didirikan menurut usul
seperti tersebut pada paragraf 4c di atas berhak mengawasi atas nama
Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemilihan umum yang akan diadakan di seluruh
Indonesia serta berhak pula mengajukan anjuran mengenai daerah-daerah
di Jawa, Madura dan Sumatera tentang syarat-syarat yang perlu supaya (a)
memastikan, bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara bebas dan
demokratis, dan (b) menjamin agar supaya senantiasa ada kebebasan untuk
berhimpun, berbicara dan menyampaikan pendapat, asal saja kebebasan itu
tidak dipergunakan untuk menghasut melakukan kekerasan atau balas
dendam;
f) Komisi harus memberi
bantuan mengembalikan selekas mungkin pemerintahan sipil Republik.
Untuk hal itu, komisi setelah berunding dengan kedua belah fihak, akan
menganjurkan sampai mana daerah-daerah Republik yang ditetapkan menurut
perjanjian Renville (di luar daerah Yogyakarta) akan dikembalikan
berangsur-angsur kepada Pemerintah Republik, disesuaikan dengan
syarat-syarat bagi terjaminnya keamanan dan ketertiban serta keselamatan
jiwa dan harta-benda; dan komisi juga akan mengawasi persediaan barang
yang dibutuhkan agar pemerintahan dapat berjalan dengan tertib dan untuk
menjaga kehidupan rakyat di daerah yang dikembalikan itu. Setelah
berunding dengan kedua belah fihak, komisi akan menganjurkan, tentara
Belanda mana, jika masih perlu, akan tetap tinggal untuk sementara waktu
di daerah yang terletak di luar daerah Yogyakarta untuk membantu
menjaga keamanan dan ketertiban.
Jika salah satu fihak
tidak dapat menerima anjuran komisi tersebut, komisi dengan segera akan
melaporkan hal itu kepada Dewan Keamanan, disertai saran-saran
penyelesaian atas segala kesukaran yang ada,
g) Komisi mengirimkan laporan periodik kepada Dewan Keamanan dan laporan istimewa setiap kali dianggap perlu oleh komisi,
h) Komisi akan mempergunakan sejumlah pengawas, opsir dan lain-lain orang yang dianggap perlu.
1. Meminta kepada
Sekretaris Jenderal, supaya komisi diberi suatu staf, keuangan dan
segala sesuatu yang dibutuhkan oleh komisi untuk melaksanakan
pekerjaannya.
2. Menganjurkan kepada
Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia, agar memberi bantuan
sepenuhnya dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan resolusi ini.
Secara keseluruhan resolusi tersebut
menunjukkan sikap lunak negara-negara “Super Power” Barat terhadap
Belanda, karena walau bagaimana pun, Belanda adalah sekutu mereka dalam
Perang Dunia II. Perang dingin melawan komunisme telah dimulai. Pada
waktu itu sedang dilakukan perundingan antara Amerika Serikat dengan
negara-negara Eropa Barat, termasuk Belanda, dalam rangka rencana
pembentukan Pakta Pertahanan, yaitu North Atlantic Treaty Organization
(NATO), untuk menghadapi blok komunis yang dipimpin oleh Uni Sovyet.
Butir satu dan dua dari resolusi tersebut
dengan jelas meminta Belanda untuk segera menghentikan aksi militernya
di Indonesia, serta dengan segera membebaskan tanpa syarat, semua
tahanan politik yang ditahan Belanda sejak 19 Desember 1948. Selain itu,
resolusi telah menetapkan agenda penyerahan kedaulatan oleh Pemerintah
Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Resolusi itu juga merubah Committee of
Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia), menjadi
United Nations Comission for Indonesia -UNCI (Komisi PBB untuk Indonesia
-KPBBI), yang mempunyai wewenang lebih besar. Dengan demikian Dewan
Keamanan PBB resmi membentuk satu Komisi PBB untuk Indonesia. Merle
Cochran dari Amerika Serikat, yang sebelumnya adalah Ketua KTN, diberi
kepercayaan lagi untuk menjadi ketua UNCI.
Empat negara anggota Dewan Keamanan tidak
menyetujui resolusi tersebut, yaitu Argentina, Prancis, Uni Sovyet dan
Ukraina. Wakil Ukraina, Vassily Tarasenko, melancarkan serangan hebat
terhadap rencana resolusi itu seluruhnya dan menamakannya suatu
“resolusi kapitulasi.” Wakil Argentina mengatakan, bahwa Dewan Keamanan
seharusnya memberikan dukungan penuh untuk kemerdekaan bangsa Indonesia,
sedangkan Yacob A. Malik, wakil Uni Sovyet menyatakan, bahwa resolusi
tersebut adalah suatu contoh yang menyolok mata, bagaimana negara-negara
Barat memperlakukan negara-negara Timur, yaitu memihak kepada pihak
penyerang. Ia menunjuk kepada sikap Belgia, yang dikatakannya mencoba
membenarkan tindakan agresi Belanda.
Perencanaan Serangan Umum di Seluruh Wilayah Divisi III.
Sekitar awal Februari 1949 di perbatasan
Jawa Timur, Letkol dr. Wiliater Hutagalung – yang sejak September 1948
diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk
jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III- bertemu dengan
Panglima Besar (Pangsar) guna melaporkan mengenai resolusi Dewan
Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan
melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah
tidak ada lagi. Melalui radio rimbu, Panglima Besar juga telah mendengar
berita tersebut. Panglima Besar menginstruksikan untuk memikirkan
langkah-langkah yang harus diambil guna mengcounter propaganda Belanda.
Hutagalung, yang membentuk jaringan di
wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima
Besar, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar dengan Panglima
Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang
Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada
kesempatan, juga ikut merawat Pangsar yang saat itu menderita penyakit
paru. Setelah turun gunung, pada bulan September dan Oktober 1949,
Hutagalung dan keluarga tinggal di Paviliun rumah Pangsar di (dahulu)
Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.
Pemikiran yang dikembangkan oleh
Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika
Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republiok Indonesia masih kuat, ada
pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), ada
organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk
menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa
disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia.
Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para
wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan
pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat
berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Pangsar menyetujui gagasan
tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan
pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.
Letkol dr. Hutagalung masih tinggal
beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar, sebelum kembali ke
markas di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima
Besar, dalam rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah
Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di
markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur
Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dan Letkol dr. Wiliater
Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini
Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur
Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen
Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking dan Bupati
Sangidi.
Letkol dr. Wiliater Hutagalung yang pada
waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan
gagasan yang telah disetujui oleh Pangsar, dan kemudian dibahas
bersama-sama. Inti gagasannya yang dikemukakan sebagai “grand design”
adalah:
• Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wherkreis I, II dan III,
• Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
• Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
• Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
• Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:
• Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
• Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
• Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
• Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:
- Wakil Kepala Staf
Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh
AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,
- Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.
- Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.
Jadi tujuan utama adalah: “Bagaimana
menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga menunjukkan
eksistensi Republik Indonesia” kepada dunia internasional. Untuk
“menunjukkan” eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing
serta para pengamat militer harus melihat “perwira-perwira yang
berseragam TNI.”
Setelah dilakukan pembahasan yang
mendalam, “grand design” yang dimajukan oleh Hutagalung disetujui, dan
khusus mengenai “serangan spektakuler” terhadap satu kota besar,
Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang
harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.
Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:
1. Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat “direbut” walau hanya untuk beberapa jam, akan sangat berpengaruh besar.
2. Keberadaan banyak
wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota
delegasi UNCII (KTN) serta pengamat militer dari PBB.
3. Langsung di bawah
wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM
lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.
Selain itu, sejak dikeluarkan Perintah
Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur
Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda,
telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III.
Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah “terlatih” dalam menyerang
pertahanan tentara Belanda.
Selain itu, sejak dimulainya perang
gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro
serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan
pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik.
Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari
seluruh rakyat. Mengenai Wongsonegoro, Nasution menulis:
“Gubernur
Wongsonegoro memberikan contoh yang baik sebagai gubernur gerilya. Ia
dengan tabah mengikuti Markas Gubernur Militer yang sering
berpindah-pindah di gunung-gunung.”
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana
serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk “skenario” seperti disebut
di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang
lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi
dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah
harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai,
mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna “menunjukkan diri” kepada
anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel
tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT (Pendidikan
Politik Tentara) Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung
Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan
kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda
dan Inggris.
Hal penting yang kedua adalah, dunia
internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional
Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta,
Ibukota Republik. Pertanyaannya adalah: “Bagaimana menyebarluaskan ke
dunia internasional?”
Untuk hal ini, akan diminta bantuan Kol.
T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari,
untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen,
dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan, berita mengenai
penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Simatupang
lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira
Angkatan Darat.
Diperkirakan, apabila Belanda melihat
bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan
mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat
pasukan Belanda yang kuat, seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak
tempuh (waktu itu) Magelang – Yogya hanya sekitar 3 – 4 jam saja; Solo –
Yogya, sekitar 4 – 5 jam, dan Semarang – Yogya, sekitar 6 – 7 jam.
Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi
IIIGM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II
Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II
dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan
operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga
bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak, dapat
diperlambat.
Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur
Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan
Bupati Sumitro Kolopaking, ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan
pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya,
para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat
tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama
perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan
dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para
gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah
militer setempat.
Untuk pertolongan dan perawatan medis,
diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak
menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan
Rakyat Total – sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 – yang
dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8
menyebutkan:
Kesehatan terutama
tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para
dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.
Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo
Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah
Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front.
Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda
dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas.
Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreis
II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna
mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir
segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada
18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi
II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Sebagaimana telah digariskan dalam
pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat
penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada
komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas
Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreis I di bawah pimpinan Letkol.
Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel
Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreis
III/Brigade 10 Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima
Divisi III serta mempersiapkan pertemuan.
Diputuskan untuk segera berangkat sore
itu juga guna menyampaikan “grand design” kepada pihak-pihak yang
terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr.
Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng),
Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang
supir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung)
dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.
Pertama-tama rombongan singgah di tempat
Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima
Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan
tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis, yang akan
diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta
rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf
Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang
Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang
kemudian menjadi ipar Simatupang.
Dalam catatan harian tertanggal 18
Februari 1949, Simatupang menulis (Lihat catatan harian T.B. simatupang:
“Laporan dari Banaran”, Jakarta 1960, halaman 60):
“Kolonel Bambang
Soegeng yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur
Militer daerah Yogyakarta-Kedu-Banyumas-Pekalongan-sebagian dari
Semarang) datang dan bermalam di Banaran.
Soegeng adalah orang
yang emosional dan bagi dia tidaklah memuaskan apabila Yogyakarta nanti
dikembalikan begitu saja kepada kita. Idenya ialah: Yogya harus direbut
dengan senjata.
Paling sedikit dia
ingin bahwa Yogyakarta kita serang secara besar-besaran agar menjadi
jelas bagi sejarah bahwa sekalipun Yogyakarta ditinggalkan oleh Belanda,
namun kita tidak menerima kota itu sebagai hadiah saja. Paling sedikit
dia mau membuktikan bahwa kita mempunyai kekuatan untuk menjadikan
kedudukan Belanda di kota tidak tertahan (onhoudbar).
Demikianlah kurang
lebih jalan pikiran dan perasaan dari Bambang Soegeng yang dapat saya
tangkap dari pembicaraan-pembicaraan dengan dia waktu berada di Banaran.
Saya jelaskan bahwa
hari dan cara penyerahan Yogyakarta kepada kita belum lagi ditentukan,
sehingga masih ada cukup waktu untuk melancarkan serbuan atas
Yogyakarta.
Sama sekali tidak ada
larangan untuk menyerang dan ditinjau dari segi diplomasi, maka saya
anggap bahwa setiap serangan yang spektakuler, justru dapat memperkuat
kedudukan kita.
Dengan Kolonel Soegeng
masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk
serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya.”
Simatupang dimohon untuk mengkoordinasi
pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio Auri di Playen dan di
Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.
Setelah Simatupang menyetujui rencana
grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi
rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreis I Kolonel Bachrun, yang
akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini. Bunyi instruksi rahasia
tertanggal 18 Februari 1949 adalah (copy asli, lihat
lampiran/attachment):
STAF DIVISI III/G.M.III
INSTRUKSI RAHASIA
Tanggal: 18/II/1949
INSTRUKSI RAHASIA
Tanggal: 18/II/1949
Berkenaan dengan Instruksi Rahasia yang
diberikan kepada Cdt. Daerah III (Letn. Koln. Suharto, untuk mengadakan
gerakan serangan besar-besaran terhadap Ibukota yang akan dilakukan
antara tanggal 25/II/1949 s/d. 1/III/1949 dengan mempergunakan bantuan
pasukan dari Brigade IX.
Dengan ini diperintahkan kepada:
Comandant Daerah I
Comandant Daerah I
Untuk :
1. Pada waktu bersamaan dengan tanggal tersebut di atas (25/II/1949
s/d. 1/III/1949 mengadakan serangan-serangan serentak terhadap
salah satu obyek musuh di Daerah I untuk mengikat perhatian musuh
dan mencegah balabantuan untuk Yogyakarta.
2. Selesai.
s/d. 1/III/1949 mengadakan serangan-serangan serentak terhadap
salah satu obyek musuh di Daerah I untuk mengikat perhatian musuh
dan mencegah balabantuan untuk Yogyakarta.
2. Selesai.
Dikeluarkan di : tempat
Tanggal : 18-II-1949.
Jam : 20.00
(tandatangan)
Gub.Mil III/Panglima Div.III
(Kolonel Bambang Sugeng)
Tanggal : 18-II-1949.
Jam : 20.00
(tandatangan)
Gub.Mil III/Panglima Div.III
(Kolonel Bambang Sugeng)
Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad
Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda
dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari Panglima Divisi dan
rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari
dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda.
Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa.
Dari Banaran rombongan menuju wilayah
Wehrkreis III melalui pegunungan Menoreh, untuk menyampaikan perintah
kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta
rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan
masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan
dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini
tinggal di Temanggung).
Pertemuan dengan Letkol. Suharto
berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di
dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka
pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam
pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur
Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater
Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreis
III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan.
Kepada Suharto diberikan perintah untuk
mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949.
Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi
serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari
Pepolit Kementerian Pertahanan.
Mengenai pemberian tugas kepada Letkol Suharto, dalam otobiografinya dr. Hutagalung menulis:
… Sesampainya di
wilayah Brigade X, kepada kami diberitahukan, bahwa pertemuan akan
diadakan di salah satu sekolah desa. Oleh karena ada hal yang
mencurigakan, pertemuan dipindahkan ke sebuah gubug di tengah sawah.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh 5 (lima) orang, yakni Panglima
Divisi/Gubernur Militer Kolonel Bambang Soegeng, Perwira Teritorial
Letkol. Dr.W.Hutagalung beserta ajudan, Letnan Amron Tanjung dan
Komandan Brigade X Letkol. Soeharto beserta ajudan.
Panglima Divisi membuka
rapat dengan kata-kata : ”Bersama ini rapat dibuka dan dipersilahkan
Dr. Hutagalung untuk menguraikan tujuan”.
Penulis berdiri serta
mengulurkan tangan kepada Komandan Brigade X Letkol. Soeharto dan
mengatakan :”Saudara Soeharto, saya ucapkan selamat pada saudara
Soeharto oleh karena ditakdirkan untuk memegang peranan penting dalam
perjuangan kita. Nama saudara Soeharto akan dicantumkan dengan tinta
emas dalam sejarah perjuangan untuk kemerdekaan Republik Indonesia”
Setelah duduk kembali,
penulis meneruskan dan menguraikan tentang sidang di gunung Sumbing yang
dihadiri pimpinan pemerintahan sipil dan militer serta pertemuan dengan
Wakil KSAP Kolonel Simatupang, dengan keputusan :
1. Perlu melancarkan
serangan “spektakuler” untuk meyakinkan dunia pada umumnya, khususnya
Amerika Serikat, bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, mempunyai
wilayah pemerintahan, organisasi dan kekuatan militer. Agar Amerika
Serikat mempertegas dukungan terhadap resolusi PBB, serta menghentikan
bantuan keuangan dan persenjataan pada Belanda yang sebenarnya sudah
bangkrut.
2. Memilih kota
Yogyakarta sebagai sasaran, dan menugaskan Komandan Brigade X/Wehrkreis
lll, Letnan Kolonel Soeharto untuk melaksanakan rencana ini.
Kemudian penulis mengajukan pertanyaan: “Siapkah Saudara Soeharto untuk melaksanakannya ?”
Dijawab : “Siap!”
Dijawab : “Siap!”
Setelah itu diurakan
secara rinci pembicaraan dalam rapat di lereng Gunung Sumbing dan di
Banaran, terutama mengenai tujuan yang ingin dicapai, yaitu agar supaya
pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia yang bisa berbahasa
Inggris, Belanda atau Perancis dapat masuk ke Hotel Merdeka, guna
berbicara dengan wartawan-wartawan asing yang berada di Hotel tersebut.
Diperoleh informasi, bahwa utusan Dewan Keamanan PBB, United Nations Commission for Indonesia
(UNCI) masih berada di Yogyakarta. Harus diusahakan agar mereka dapat
melihat Tentara Nasional Indonesia. Mengenai persiapan dengan
pemuda-pemuda tersebut, harus dikoordinasikan dengan saudara Wijono dari
Pepolit. Serangan harus dilaksanakan antara tanggal 25 Februari dan 1
Maret 1949, agar supaya sesuai dengan instruksi yang telah dikeluarkan
oleh Panglima Divisi kepada Komandan-Komandan pasukan lainnya di sekitar
Yogyakarta …
Setelah semua persiapan matang, baru
kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari),
bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul
06.00. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.
Serangan Umum 1 Maret 1949
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan
secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi
III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik,
Yogyakarta, serta kota-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang,
sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM
III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun
dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini.
Pada saat yang bersamaan, serangan juga
dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah
kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak
dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.
Mengenai operasi militer ini, di dalam buku yang diterbitkan oleh SESKOAD tertulis:
“Serangan umum yang
akan dilaksanakan oleh WK III sesungguhnya merupakan operasi sentral
dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel Bambang
Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melakukan operasi
untuk mengimbangi serangan umum WK III ialah pasukan GM II yang
melaksanakan operasi di daerah Surakarta (Solo) dan Wehrkreis II Divisi
III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang.”
Serangan terhadap kota Solo yang juga
dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga
tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yang sedang
diserang secara besar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat
dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap
pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur Magelang –
Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat
gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara
Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan
sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.
Mengenai serangan tersebut, pihak Belanda memberikan keterangan sebagai berikut:
Hari Selasa pagi
tanggal 1 Maret lebih kurang pukul 04.00 pos-pos Belanda yang berada di
perbatasan Kota Yogya telah ditembaki. Tepat pukul 06.00 di pelbagai
tempat di dalam kota terjadi penembakan secara gencar. Dua serangan
telah dilakukan oleh gerombolan-gerombolan kuta dari jurusan barat,
sedang percobaan serangan ketiga dilakukan dari jurusan selatan, di mana
terletak Kraton Dalam.
Segera militer Belanda mengambil tindakan
untuk mematahkan serangan-serangan itu. Dengan melintas kota sebuah
kolone dikerahkan ke tempat yang terancam di selatan kota itu guna
menghadapi gerombolan yang menyerang. Kolone terebut ditembaki dengan
hebat dari bagian kraton luar. Setelah berhasil mencapai tembok utara
kraton-dalam, mereka lalu ditembaki dari arah kraton. Tembakan juga
datang dari penembak-penembak yang bersembunyi di pohon-pohon halaman
kraton-dalam.
Karena itu komandan kolone minta supaya
diizinkan memasuki kraton, permintaan mana segera dikabulkan oleh Sri
Sultan sendiri. Sri Sultan menerangkan, bahwa di halaman kraton-dalam
tidak ada anggota gerombolan yang menyerang. Penyelidikan lebih lanjut
dilakukan.
Kekacauan berakhir lebih kurang pukul 11
pagi. Ditaksir ada kira-kira 2.000 orang anggota gerombolan yang setelah
menyusun kekuatannya di sekitar kota, melancarkan serangan ke dalam
kota. Para penyerang, yang sebagian bersenjakan kuat, telah dapat
dicerai-beraikan di semua tempat dengan menderita kerugian besar dan
terpaksa meninggalkan sejumlah besar senjatanya.
Di fihak Belanda 6 orang tewas, di
antaranya 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat
luka-luka. Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut,
keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas
dan pasar kembali seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya
keadaan tetap tenteram.
Pada hari Selasa siang pukul 12.00
Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa
Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen
(komandan pasukan di Yogya) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk
Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri
Sultan.
Dalam serangan terhadap Yogya, pihak Indonesia mencatat korban sebagai berikut:
- 300 prajurit tewas,
- 53 anggota polisi tewas,
- Rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti.
- 53 anggota polisi tewas,
- Rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti.
Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder
terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949
tercatat 200 orang tewas dan luka-luka. Mr. Alexander Andries Maramis,
yang berkedudukan di New Delhi menggambarkan, betapa gembiranya mereka
mendengar siaran radio yang ditangkap dari Burma, mengenai serangan
“besar-besaran” Tentara Nasional Republik Indonesia terhadap Belanda.
Berita tersebut menjadi Headlines di berbagai media cetak yang
terbit di India. Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis kepada dr. W.
Hutagalung, ketika bertemu di tahun lima puluhan di Pulo Mas, Jakarta.
Kontroversi “Pemrakarsa” Serangan Umum 1 Maret 1949
Hingga awal tahun tujuh puluhan, serangan
atas Yogyakarta 1 Maret 1949, sama sekali tidak pernah ditonjolkan,
karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa episode ini tidak melebihi
episode-episode perjuangan lain, yaitu pertempuran heroik di Medan
(Medan Area Oktober 1945), Palagan Ambarawa (12 – 15 Desember 1945),
Bandung lautan api (April 1946), perang Puputan Margarana/Bali (20
November 1946), pertempuran 5 hari 5 malam di palembang (1 – 5 Januari
1947), juga tidak melebihi semangat berjuang Divisi Siliwangi, ketika
melakukan long march, yaitu berjalan kaki selama sekitar dua
bulan – sebagian bersama keluarga mereka – dari Yogyakarta/Jawa Tengah
ke Jawa Barat, dalam rangka melancarkan operasi Wingate untuk melakukan
perang gerilya di Jawa Barat, setelah Belanda melancarkan Agresi II
tanggal 19 Desember 1948. Dan masih banyak lagi pertempuran heroik di
daerah lain.
Hingga waktu itu, yang sangat menonjol
dan dikenal oleh rakyat Indonesia adalah perjuangan arek Suroboyo pada
28/29 Oktober dan bulan November/Desember 1945, yang dimanifestasikan
dengan pengukuhan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Dalam bukunya “Memenuhi Panggilan Tugas”, Nasution menulis:
“…enam jam di Yogya
– yang setelah Orde Baru berdiri selalu diperingati secara
besar-besaran. Dan aksi ini adalah dalam rangka tahap taktis-ofensif
yang sedang dilancarkan oleh Panglima B. Sugeng di seluruh wilayahnya,
terhadap kota-kota kabupaten dan keresidenan, terutama di daerah
Banyumas, Kedu, Semarang dan Yogya. Pada waktu yang agak bersamaan juga
Divisi I memulai aksi yang demikian di Jawa Timur, menyusul Divisi II
(Jawa Tengah bagian timur), kemudian Divisi IV (Jawa Barat).”
Dari sumber-sumber yang dapat
dipercaya serta dokumen-dokumen yang terlampir dalam tulisan ini,
terlihat jelas bahwa perencanaan dan persiapan serangan atas Yogyakarta
yang kemudian dilaksanakan pada 1 Maret 1949, dilakukan di jajaran
tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan
beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi
dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia
internasional bahwa TNI , berarti juga Republik Indonesia, masih ada dan
cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia
dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB.
Serangan tersebut melibatkan berbagai
pihak, bukan saja dari Angkatan Darat, melainkan juga AURI, Bagian
Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah (Pejabat PDRI di Jawa) dan
Pepolit dari Kementerian Pertahanan. Pasukan yang terlibat langsung
dalam penyerangan terhadap Yogyakarta adalah dari Brigade IX dan Brigade
X, di-back up oleh pasukan Wehrkreis I dan II, yang bertugas
mengikat Belanda dalam pertempuran di luar Wehrkreis III, guna mencegah
atau paling tidak memperlambat gerakan bantuan mereka ke Yogyakarta.
Tidak mungkin seorang panglima atau komandan, tidak mengerahkan seluruh
kekuatan yang ada di bawah komandonya, untuk menghadapi musuh yang jauh
lebih kuat.
Perlu diingat, ketika Belanda menduduki
Ibukota RI, Yogyakarta, tanpa perlawanan dari TNI, karena dari semula
telah diperhitungkan, kekuatan TNI tidak sanggup menahan serangan
Belanda. Juga tidak mungkin seorang panglima atau komandan pasukan
memerintahkan melakukan serangan terhadap suatu sasaran musuh yang kuat,
tanpa memikirkan perlindungan belakang. Selain itu, juga penting
masalah logistik; suply (pasokan) perlengkapan dan perbekalan untuk
ribuan pejuang serta perawatan medis yang melibatkan beberapa pihak di
luar TNI. Apakah semua ini dapat dipersiapkan, dilakukan atau
diperintahkan oleh seorang komandan brigade?
Dalam perencanaan dan pelaksanaan, juga
melibatkan bagian Pepolit (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian
Pertahanan. Selain itu, juga terlihat peran Kolonel T.B. Simatupang,
Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Untuk penyiaran berita
mengenai serangan tersebut ke luar negeri, melibatkan pemancar radio
AURI di Playen, dan pemancar radio Staf Penerangan Komisariat Pusat,
yang waktu itu berada di Wiladek.
Cukup kuat alasan untuk meragukan versi
yang mengatakan, bahwa seorang komandan brigade dapat memberi tugas
kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang berada dua tingkat di
atasnya, untuk membuat teks (dalam bahasa Inggris) yang akan disampaikan
kepada pihak AURI untuk kemudian disiarkan oleh stasiun pemancar AURI.
Dengan demikian, menurut versi ini, perencanaan serta persiapan serangan
dilakukan di jajaran brigade, kemudian “memberikan instruksi” kepada
sejumlah atasan, termasuk Panglima Divisi.
Perlu diketahui, bahwa selama perang
gerilya, berdasarkan Instruksi No. 1/MBKD/1948 tertanggal 22 Desember
1948 yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara dan Teritorium Jawa/Markas
Besar Komando Jawa (MBKD), Kolonel Abdul Haris Nasution, dibentuk
Pemerintah Militer di seluruh Jawa. Struktur dan hirarki militer
berfungsi dengan baik dan garis komando sangat jelas.
Dengan pertimbangan-pertimbangan
tersebut, tidak mungkin seorang komandan pasukan dapat menggerakkan
pasukan-pasukan lain yang bukan di bawah komandonya tanpa seizin atasan.
Seandainya ada gerakan pasukan lain,
pasti harus dengan perintah dari atasan, dan tidak mungkin dilakukan
oleh komandan yang satu level. Apalagi menugaskan Wakil Kepala Staf
Angkatan Perang yang dalam hirarki militer berada dua tingkat di
atasnya, dan pihak Kementerian Pertahanan serta pihak AURI, yang
memiliki/mengoperasikan pemancar radio. Berdasarkan bukti dan dokumen
yang ada, serangan tersebut jelas melibatkan berapa pihak di luar
Brigade X/Wehrkreis III; bahkan terlihat peran beberapa atasan langsung
Letkol Suharto.
Masih terdapat cukup bukti serta dokumen
yang menunjukkan, bahwa kendali seluruh operasi di wilayah Divisi III
tetap berada di pucuk pimpinan Divisi III, yaitu Kolonel Bambang Sugeng.
Hal ini terbukti dengan jelas, a.l. dengan adanya Instruksi Rahasia
tertanggal 18 Februari 1949, yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreis II
Letkol. M. Bachrun, di mana jelas disebutkan, bahwa Instruksi Rahasia
tersebut sehubungan dengan perintah yang diberikan kepada Komandan
Wehrkreis III, Letkol Suharto. Juga disebutkan, bahwa pasukan yang
langsung membantu dalam serangan ke kota adalah Brigade IX.
Dalam naskah otobiografi Letnan Kolonel
(Purn.) dr. W. Hutagalung disebutkan, bahwa Komandan Wehrkreis II Letkol
Sarbini hadir dalam rapat perencanaan, sehingga tidak diperlukan lagi
Instruksi tertulis. Instruksi Rahasia tersebut merupakan kelanjutan dari
Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949 yang
dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, untuk a.l.
“… mengadakan perlawanan serentak terhadap Belanda sehebat-hebatnya… yang dapat menarik perhatian dunia luar…”.
Dari dokumen ini dapat dilihat dengan
jelas, bahwa tujuan semua serangan besar-besaran adalah untuk menarik
perhatian dunia internasional, dan sejalan dengan Perintah Siasat 1 yang
dikeluarkan oleh Panglima Besar Sudirman pada bulan Juni 1949. Dalam
buku yang sama di halaman 265, Nasution menulis:
“Panglima Divisi
III telah memerintahkan serangan umum terhadap Yogya pada tanggal 1
Maret 1949, yang mempunyai efek yang besar terhadap….”
Dokumen ketiga yang membuktikan, bahwa
seluruh operasi tersebut ada di bawah kendali Panglima Divisi III/GM
III, adalah Perintah Siasat No. 9/PS/19, tertanggal 15 Maret 1949.
Perintah diberikan kepada komandan Wehrkreis I (Letkol. Bachrun) dan II
(Letkol. Sarbini), untuk meningkatkan penyerangan terhadap tentara
Belanda di daerah masing-masing, dalam upaya untuk mengurangi bantuan
Belanda ke Yogyakarta dan tekanan Belanda terhadap pasukan Republik di
wilayah Wehrkreis III yang membawahi Yogyakarta, setelah dilaksanakan
serangan atas Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949. Isi Perintah Siasat
tersebut adalah:
Staf Gubernur Militer III.
Sangat Rahasia.
PERINTAH SIASAT
Nomor: 9/PS/49
Sangat Rahasia.
PERINTAH SIASAT
Nomor: 9/PS/49
Keadaan:
1. Mulai tanggal
1-III-1949 serangan terhadap Ibukota telah dimulai dan usaha merebut
Ibukota akan dilakukan berkali-kali. Kekuatan dari fihak kita melulu
dari Brigade X, ditambah dengan pasukan-pasukan kecil dari
kesatuan-kesatuan lain-lainnya.
Bantuan yang diberikan kepada Brigade X
1 Cie (kompi-pen.) dari Bat. Srohardoyo
1 Bat. Dari Bat. Darjatmo Brigade IX.
Bantuan yang diberikan kepada Brigade X
1 Cie (kompi-pen.) dari Bat. Srohardoyo
1 Bat. Dari Bat. Darjatmo Brigade IX.
2. Berhubung dengan
aktiviteit dari fihak kita, maka Belanda menggerakkan balabantuan dari
Semarang dan Magelang (ditaksir 2000 orang lengkap) dan dibantu dengan
Luchtmach-nya (Angkatan Udara-pen.), sehingga druk (tekanan-pen.) ke
medan Yogya sangat beratnya.
Perintah:
Berhubung dengan hal tsb. Maka diperintahkan kepada
Cdt. Daerah I dan
Cdt. Daerah II
Cdt. Daerah I dan
Cdt. Daerah II
U n t u k:
1. Vernegen
(meningkatkan-pen.) aktiviteitnya di daerahnya, terutama ditujukan
kepada centra dari Prembun-Kebumen- Magelang-Semarang wetelijk gedeelte Purwokerto-Probolinggo-Karangkobar.
2. Untuk daerah W.K. Brigade IX, terutama verbindingsweg (jalan penghubung-pen.) Magelang-Semarang dan Magelang- Yogya. (Dalam hal ini Bat. Panuju ditarik ke Magelang utara dan Bat. Bintoro verschuiven ke arah timur).
3. Gerakan-gerakan tsb. dilakukan intensif dalam periode 15-III-1949 hingga 1-IV-1949 dan selanjutnya tetap meluaskan perlawanan.
2. Untuk daerah W.K. Brigade IX, terutama verbindingsweg (jalan penghubung-pen.) Magelang-Semarang dan Magelang- Yogya. (Dalam hal ini Bat. Panuju ditarik ke Magelang utara dan Bat. Bintoro verschuiven ke arah timur).
3. Gerakan-gerakan tsb. dilakukan intensif dalam periode 15-III-1949 hingga 1-IV-1949 dan selanjutnya tetap meluaskan perlawanan.
S e l e s a i.
Dibuat utk. Dibuat di tempat
1. Cdt. Daerah I. Tanggal : 15-III-1949
2. Cdt. Daerah II J a m : 12.00
Tindasan utk. Panglima Divisi III/G.M. III
1. Staf Divisi III.
2. M.B.K.D.
3. Cdt. Daerah III. (Kolonel Bambang Sugeng)
4. Arsip.
1. Cdt. Daerah I. Tanggal : 15-III-1949
2. Cdt. Daerah II J a m : 12.00
Tindasan utk. Panglima Divisi III/G.M. III
1. Staf Divisi III.
2. M.B.K.D.
3. Cdt. Daerah III. (Kolonel Bambang Sugeng)
4. Arsip.
Dengan demikian, tiga dokumen yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, Kolonel Bambang Sugeng, yaitu:
1. Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949,
2. Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, dan
3. Perintah Siasat No. 9/PS/49, tertanggal 15 Maret 1949,
1. Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949,
2. Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, dan
3. Perintah Siasat No. 9/PS/49, tertanggal 15 Maret 1949,
Membuktikan, bahwa sejak awal bergerilya,
seluruh operasi di wilayah Divisi III, tetap diatur dan dikendalikan
oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III. Dokumen-dokumen tersebut
diperkuat antara lain dengan catatan harian Kolonel Simatupang, Wakil
KSAP, dan otobiografi Letkol dr. Wiliater Hutagalung, Perwira
Teritorial, serta kemudian di dalam berbagai tulisan dari A.H. Nasution,
yang waktu itu adalah Panglima Tentara & Teritorium Jawa/MBKD.
Selain itu, semua dokumen menunjukkan,
bahwa Panglima Divisi III selalu memberikan instruksi dan melibatkan
ketiga Wehrkreise tersebut; dengan demikian menjadi jelas, bahwa komando
operasi ada di tangan Panglima Divisi, dan bukan di tangan Komandan
Brigade.
Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari
1949, cocok dengan catatan harian Simatupang tertanggal 18 Februari 1949
yang dimuat dalam buku Laporan dari Banaran, di mana tertera:
Kolonel Bambang
Sugeng, yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur
Militer daerah Yogyakarta – Kedu – Banyumas – Pekalongan – sebagian dari
Semarang) datang dan bermalam di Banaran.
…Idenya ialah: Yogya harus direbut dengan senjata. Paling sedikit dia ingin bahwa Yogyakarta kita serang secara besar-besaran…
Demikianlah kurang lebih jalan pikiran dan perasan dari Bambang Sugeng yang dapat saya tangkap…
Dengan Kolonel
Sugeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya
untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya.
Bila disimak kalimat Simatupang:
“…datang dan bermalam di Banaran. …Dengan Kolonel Soegeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya”
“…datang dan bermalam di Banaran. …Dengan Kolonel Soegeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya”
Terlihat, bahwa Bambang Sugeng
mengeluarkan instruksi rahasia tersebut tertanggal 18 Februari, setelah
berkonsultasi dengan Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang.
Juga apabila mencocokkannya dengan
tulisan Budiarjo terbukti, bahwa Simatupang banyak terlibat dalam
persiapan serangan tersebut. Hal ini dapat dilihat, bahwa Simatupang
telah mempersiapkan teks dalam bahasa Inggris tanggal 28 Februari,
sehari sebelum serangan terjadi dan meminta teks tersebut disiarkan oleh
pemancar AURI Playen, setelah serangan dilaksanakan tanggal 1 Maret
1949.
Juga dari catatan Simatupang dapat
dilihat, bahwa di Wiladek mereka juga telah “dipersiapkan” untuk
menyiarkan berita mengenai serangan atas Yogyakarta. Tidak tertutup
kemungkinan, bahwa Simatupang juga memberikan teks yang akan dibacakan
seperti halnya di Playen, karena dalam catatan hariannya, Simatupang
sendiri tidak menyebutkan nama Budiarjo ketika dia menyampaikan teks
yang akan dibacakan di Playen. Di sini terlihat jelas, bahwa “Serangan
Spektakuler” tersebut adalah suatu skenario -rekayasa- untuk konsumsi
dunia internasional.
Catatan harian tersebut, yang tertulis
dalam buku Laporan dari Banaran, sekaligus juga menunjukkan keterlibatan
besar dari Simatupang, yang dalam hirarki militer beberapa tingkat di
atas Suharto. Buku Laporan dari Banaran diterbitkan pertama kali tahun
1960, ketika Suharto belum menjadi Presiden, dan episode perjuangan
tersebut belum diekspos menjadi mercu suar, dan sejarah tidak ditulis
untuk kepentingan penguasa.
Selain itu, melihat besarnya operasi
tersebut serta keterlibatan berbagai pihak, yang dalam hirarki militer
berada di posisi lebih tinggi, sangat tidak mungkin, bahwa komando
operasi dipegang oleh seorang komandan brigade. Dalam instruksi No.
1/MBKD/1948, tertanggal 25 Desember 1948, butir 5, Kolonel Nasution,
Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menegaskan:
“… Peliharalah terus hierarchie ketentaraan…”
Perencanaan serangan tersebut sangat
dirahasiakan, sehingga selain pucuk pimpinan tertinggi militer dan
sipil, pada waktu itu hampir tidak ada anggota staf di jajaran bawah,
yang mengetahui mengenai rencana tersebut, bahkan staf Gubernur Militer
sekalipun. Seorang pelaku sejarah menyampaikan, bahwa dia sebagai
anggota staf GM III yang berada di lereng gunung Sumbing, baru
mengetahui mengenai serangan tersebut setelah serangan dilancarkan.
Begitu juga dengan para pelaksana di
lapangan, tidak mengetahui mengenai perencanaan serta Grand Design
serangan umum, sebagaimana diungkapkan oleh seorang pelaku di lapangan,
Kol. (Purn.) A. Latief (waktu itu komandan kompi, berpangkat Kapten).
Dalam naskah yang ditulis di penjara Cipinang antara tahun 1991 – 1997,
tertera (Abdul Latief. Naskah, belum ada judul, (diperoleh penulis tahun
1998), hlm. 57):
“Semua yang saya
tulis di sini dengan sendirinya menurut pengalaman yang saya rasakan,
saya ketahui dan saya alami pada kejadian waktu itu di sekitar daerah
yang ditugaskan kepada saya. Sebab skope pasukan saya kecil, yaitu hanya
merupakan sebuah kompi saja yang hanya mempunyai daerah terbatas.”
Jadi sangat jelas, bahwa setiap komandan
hanya mengetahui sebatas tugas yang diberikan kepadanya dan mempunyai
wewenang hanya atas pasukannya. Pernyataan Suharto, seperti disampaikan
dalam otobiografinya, selain tidak logis dan tampak hanya mengarang
cerita belaka, dapat dibantah berdasarkan bukti yang ada.
Perlu dianalisis kalimat yang tertulis dalam otobiografi Suharto, yaitu:
“… Maka muncul
keputusan dalam pikiran saya: kita harus melakukan serangan pada siang
hari, supaya bisa menunjukkan kepada dunia, kebohongan Belanda itu.
Karena sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang tempat
bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas, maka sebagai komandan
Wehrkreise yang memiliki wewenang untuk melakukan prakarsa …”
Memang tidak semua prajurit dapat atau
boleh mengetahui keberadaan Panglima Besar, yang menjadi incaran tentara
Belanda. Akan tetapi pucuk pimpinan militer dan sipil, dapat selalu
berkomunikasi dengan Jenderal Sudirman, walaupun tempat persembunyiannya
selalu berpindah-pindah, bahkan di beberapa tempat, hanya satu atau dua
hari saja.
Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh
Kapten Suparjo Rustam, ajudan Panglima Besar Sudirman, tercatat
kegiatan Panglima Besar, antara lain:
“… Tanggal
27.12.1948. Meninggalkan desa Karangnongko (di sungai Brantas, Jawa
Timur) dan pindah ke desa di lereng Gunung Wilis. Pak Dirman mengutus
Kolonel Bambang Supeno supaya mencari hubungan dengan Pemerintah pusat
di Jawa, yang menurut kabar ada di gunung Lawu. Tidak lama setelah Kol.
Bambang Supeno berangkat, datang pula Kol. Sungkono (Panglima
Divisi/Gubernur Militer Jawa Timur). Tanggal 10.1.1949, Bambang Supeno
kembal. Tanggal 11.1.1949 di desa Wayang, pertemuan dengan Menteri
Pembangunan Supeno dan Menteri Kehakiman Susanto Tirtoprojo . Selama
beberapa hari setelah tanggal 12.1.1949 banyak tamu-tamu dari berbagai
kota dan daerah datang menemui Pak Dirman.”
Selama perjalanan, Kapten Suparjo (ajudan
Panglima Besar), selalu mengirimkan utusan untuk memberikan berita
kepada KBN-KBN, di mana rombongan berada. Tercatat antara lain:
… Tanggal 8.2.1949,
di desa Pringapus. Mengirimkan beberapa orang ke Yogyakarta, di
antaranya Harsono Cokroaminoto untuk mendapatkan keterangan-keterangan
mengenai politik, Letnan Basuki dan dr. Suwondo (dokter pribadi Panglima
Besar) untuk mencari obat-obatan, Kapten Cokropanolo untuk menghadap
Sri Sultan … Orang-orang yang dikirim ke Yogya hampir semuanya ditangkap
Belanda, yang tidak ditangkap hanya dr. Suwondo dan Kapten
Cokropranolo.
Tanggal 3.3.1949 di
desa Sobo, datang utusan dari Kolonel Gatot Subroto dengan satu kompi
tentara dipimpin Letkol. Su’adi, untuk mengawal Pak Dirman …
Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh
ajudan Panglima Besar terlihat, bahwa Panglima Divisi/Gubernur Militer
serta pembesar sipil, dapat selalu mengetahui keberadaan Panglima Besar,
dan Panglima Besar dapat mengirim utusan untuk bertemu dengan pimpinan
militer dan sipil, seperti beberapa menteri yang tidak ditangkap
Belanda.
Jelas, Suharto yang waktu itu hanya
komandan brigade, tidak termasuk lingkungan yang dapat atau boleh
mengetahui keberadaan Panglima Besar. Selanjutnya, N.S.S. Tarjo menulis:
“…Dengan pemancar
ini beserta radio-radio rimbu (Radio dengan tenaga listrik buatan.
Kekuatan stromnya diperoleh dengan jalan memutar roda sepeda – pen.) ,
pimpinan Gerilya kita dapat mengikuti situasi Internasional dan dapat
menyusun rencana perang Gerilya, sesuai dengan situasi politik,
karenanya kita masih mampu berhubungan satu sama lain via darat dan
udara, bahkan mampu mengadakan Konferensi Dinas Gubernur Militer, yang
kita selenggarakan di daerah Wadas-lintang.
Maka datanglah
peserta dari seluruh wilayah, mereka menginap, mereka membawa staf,
mereka berunding sambil “makan besar”, tak ketinggalan potret-potret
sebagai dokumentasi. Tak ubahnya seperti konferensi dinas di dalam
kota.”
Komunikasi dengan pimpinan militer dan
sipil di Sumatera, akhir Januari 1949 telah dapat dijalin, seperti
ditulis oleh Simatupang:
“…Dan memang, akhir
bulan Januari hubungan radio telegrafis telah pulih dengan Sumatera,
dan melalui Sumatera sejak itu kami dapat pula mengirimkan berita-berita
kepada perwakilan kita di New Delhi.
Dengan Yogyakarta
hubungan segera dapat diatur. Hari kedua setelah kami tiba di Dekso saya
dapat mengirim surat-surat kepada Dr. Halim yang berada di kota dan
tidak lama kemudian balasannya telah dapat saya terima…”
Ini hanya beberapa catatan sebagai bukti,
bahwa pernyataan Suharto sama sekali tidak benar. Memang, hanya sebagai
Komandan Brigade, dia tidak termasuk jajaran yang harus atau dapat
mengetahui keberadaan Panglima Besar, sedangkan Panglima Divisi/Gubernur
Militer atau pimpinan tertinggi sipil, tidak sulit untuk bertemu,
bahkan hadir dalam Konferensi Dinas yang diselenggarakan oleh Panglima
Besar. Dari sekian banyak dokumen yang ada mengenai korespondensi
pimpinan sipil dan militer, terlihat bahwa mereka sama sekali tidak
mempunyai hambatan untuk memberikan perintah, instruksi atau saling
berkomunikasi.
Juga terdapat kejanggalan mengenai
pernyataan Suharto tersebut, yaitu bahwa dia mengambil keputusan
tersebut, karena kesulitan menghubungi Panglima Besar Sudirman. Pertama,
hal itu sebenarnya tidak dapat dia lakukan, karena Letnan Kolonel
Suharto, Komandan Brigade X, masih mempunyai atasan langsung, yaitu
Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III, yang markasnya hanya
berjarak sekitar dua hari berjalan kaki dari markas Wehrkreis III.
Juga ada Kolonel A.H. Nasution, Panglima
Tentara dan Teritorium Jawa, dan Markas Besar Komando Jawa berada di
desa Manisrenggo, di lereng gunung Merapi. Selain itu masih ada Kolonel
Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang bermarkas di
pedukuhan Banaran, desa Banjarsari di lereng gunung Sumbing, tidak jauh
dari markas Divisi III. Tentu menjadi suatu pertanyaan besar, untuk apa
seorang komandan brigade ingin berhubungan langsung dengan Panglima
Besar, dengan melewati tiga jajaran di atasnya. Semua markas-markas di
wilayah Divisi III berada dalam radius sekitar 24 jam berjalan kaki.
Seorang pelaku serangan umum, Vence
Sumual, dalam biografinya yang diterbitkan tahun 1998 menulis, bahwa dia
dipanggil oleh Suharto untuk membicarakan rencana serangan tersebut.
Sumual menulis (Sumual, Vence, Menatap Hanya Ke Depan, Bina Insani,
Jakarta, 1998, hlm. 85):
“… Panglima Divisi
III, yang kini merupakan juga Gubernur Militer Daerah III, Kol Bambang
Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia untuk Letkol Suharto, Komandan
WK-III, agar mengadakan serangan umum yang lebih kuat lagi. Sedangkan
kepada WK-I dan II diinstruksikan untuk memberikan bantuan pasukan ke
dalam komando Letkol Suharto…”
Selanjutnya, Sumual, yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat, menulis:
“… Sore harinya
baru tiba. Markas SWK-106 berada di desa Semaken. Mayor Sumual langsung
diantar masuk ke ruang dalam. Bob Mandagie tunggu di luar, mengobrol
dengan beberapa anggota pasukan di situ.
Di situ hanya
mereka bertiga. Vence Sumual, Letkol Suharto dan Komandan SWK-106 Letkol
Sudarto yang tuan rumah. Mereka bikin rapat.
Pembicaraan masuk
ke pokok. Soal serangan umum ke Yogya. Suharto sudah mendapat Instruksi
Rahasia dari Panglima Divisi III Kol Bambang Sugeng untuk mengadakan
serangan umum besar-besaran yang lebih terencana matang.
Serangan-serangan umum sebelumnya tak dirapatkan dengan para komandan
SWK seperti ini, setidaknya komandan sektor barat…”
Uraian Sumual, yang waktu itu adalah
Komandan SWK-103 A, Sektor Barat, menunjukkan dengan tegas, bahwa
perintah serangan umum datang dari Panglima Divisi III/GM III Kolonel
Bambang Sugeng, dan bukan gagasan Suharto atau perintah dari Hamengku
Buwono IX.
Buku yang diterbitkan SESKOAD, Serangan
Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, mengandung sangat banyak kontroversi.
Di satu sisi, buku tersebut dilengkapi dengan berbagai dokumen otentik
yang sangat penting, namun di sisi lain, kesimpulan yang diambil hanya
mengarah kepada yang telah digariskan oleh penguasa waktu itu, yaitu:
Pemrakarsa dan Komandan Operasi Serangan Umum adalah Suharto. Banyak
dokumen dilampirkan dalam buku tersebut, termasuk yang dikeluarkan oleh
Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng, yaitu
Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949, dan yang terpenting adalah
Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, di mana jelas tertera
Instruksi kepada Komandan Daerah III Letkol Suharto dan Komandan Daerah I
Letkol. M. Bachrun.
Di samping kedua surat tersebut, Perintah
Siasat yang dikeluarkan tanggal 15 Maret 1949 menunjukkan, bahwa
Bambang Sugeng tetap memegang kendali operasi dan selalu melibatkan
seluruh potensi yang ada di bawah komandonya.
Selain itu, juga terdapat kalimat yang
memberi gambaran, bahwa serangan terhadap Yogyakarta tersebut adalah
bagian dari operasi Gubernur Militer III, yang juga melibatkan pasukan
di bawah komando Gubernur Militer II. Koordinasi pada tingkat Gubernur
Militer, jelas tidak mungkin dilakukan oleh seorang komandan Brigade.
Serangan yang akan dilaksanakan oleh
Wehrkreis III sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh
operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel Bambang Sugeng. Pasukan
tetangga yang pada saat itu sedang melaksanakan operasi untuk
mengimbangi serangan Wehrkreis III ialah pasukan GM II yang melaksanakan
operasi di daerah Surakarta dan Wehrkreis II Divisi III yang
melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang. Kalimat:
“…dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang”
Juga membuktikan kebenaran keterangan
Letnan Kolonel dr. Hutagalung, yang menyebutkan, bahwa Wehrkreis II juga
terlibat dalam aksi besar-besaran tersebut; perintah tertulis kepada
Komandan Wehrkreis II tidak perlu diberikan, karena Letnan Kolonel
Sarbini hadir dalam rapat perencanaan di lereng Gunung Sumbing.
Buku yang diterbitkan oleh SESKOAD untuk
glorifikasi Suharto, sekaligus mengecilkan peran banyak atasan Suharto,
dan bahkan hanya dengan beberapa baris kalimat, sangat menjatuhkan nama
baik Presiden Sukarno serta pimpinan sipil lain, yang -setelah
pertimbangan yang matang- memutuskan untuk tidak ke luar kota.
Dalam buku SESKOAD tertulis:
“… Tiba-tiba datang
seorang kurir dari Istana membawa berita bahwa apapun yang terjadi,
para pejabat pemerintah tetap di kota. Mereka semua mendongkol, segera
direncanakan penculikan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Sebuah
pasukan telah disiapkan. Namun, kemudian Kolonel T.B. Simatupang
melarangnya. Rencana itu dibatalkan.”
Sebagaimana telah dituliskan di muka,
bahwa keputusan untuk tetap tinggal di kota, diambil setelah dilakukan
Sidang Kabinet yang berlangsung dari pagi sampai siang. Selain itu,
Panglima Besar Sudirman dan Kolonel Simatupang sendiri juga berada di
Istana. Para penulis buku SESKOAD sama sekali tidak menyebutkan adanya
Sidang Kabinet, percakapan antara Presiden Sukarno dengan Panglima Besar
dan surat perintah Wakil Presiden/Menteri Pertahanan, yang ditujukan
kepada seluruh Angkatan Perang, yang diserahkan langsung kepada Wakil
Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel Simatupang, seusai Sidang Kabinet
di Istana.
Buku SESKOAD juga tidak menjelaskan,
siapa kelompok yang “mendongkol” dan akan menculik Presiden serta Wakil
Presiden untuk dibawa ke luar kota. Mengenai kegiatannya sepanjang
tanggal 19 Desember 1948, Simatupang menulis sangat rinci dalam buku
Laporan dari Banaran, dan tidak menyebutkan bertemu dengan “kelompok
yang mendongkol” tersebut. Seandainya memang benar ada rencana
“penculikan” Presiden dan Wakil Presiden, pasti hal itu telah ditulis
dalam catatan hariannya. Dalam buku SESKOAD setebal sekitar 400 halaman
hanya dengan beberapa baris saja Sukarno didiskreditkan, dan digambarkan
sebagai seorang pengecut yang tidak berani memimpin perang gerilya.
Versi lain yang kemudian juga dikenal
adalah, bahwa perintah serangan tersebut datang dari Hamengku Buwono IX
(HB IX). Menurut versi ini, Hamengku Buwono IX memanggil Letkol Suharto
dan berbicara empat mata, di mana HB IX memberi perintah kepada Suharto
untuk melaksanakan serangan atas kota Yogyakarta, dan HB IX telah
menetapkan waktu penyerangan, yaitu tanggal 1 Maret 1949.
Sebagaimana dikemukakan di atas, hirarki
dan garis komando militer berfungsi dengan baik selama perang gerilya.
Dengan demikian, tidak mungkin seseorang yang berada di luar garis
komando dapat memberikan perintah kepada komandan pasukan untuk
mengadakan suatu operasi militer, di mana juga akan melibatkan pihak dan
pasukan lain. Untuk melibatkan pasukan dengan komandan yang sejajar
dengan dia saja sudah tidak mungkin, karena harus ada persetujuan dari
atasan; apalagi memberikan instruksi kepada atasan dan pihak di luar
Angkatan Darat. Dengan demikian apabila disebutkan, bahwa perintah
serangan diberikan oleh seseorang yang berada di luar garis komando
militer, adalah sangat tidak masuk akal. Apalagi memberi instruksi
langsung kepada komandan pasukan yang satu level, tanpa melibatkan
atasan.
Pemberian perintah memang dimungkinkan,
seandainya gerakan pasukan tersebut sangat terbatas pada pasukan yang
dipimpin langsung oleh seorang komandan, tanpa melibatkan pasukan lain,
serta tidak memerlukan persiapan yang besar, di mana masalah logistik
dapat ditangani sendiri.
Di beberapa bagian, buku SESKOAD berusaha
untuk tidak mengabaikan peran HB IX, di mana disebutkan, bahwa selain
Suharto, HB IX sangat rajin mendengarkan siaran radio luar negeri. Juga
berdua mempunyai gagasan untuk segera mengadakan serangan umum, sejalan
dengan Surat Perintah Siasat No. 4 dari Panglima Divisi III Kolonel
Bambang Sugeng. Hanya yang mengherankan adalah disebutkannya Perintah
Siasat No. 4 tertanggal 1 Januari 1949, dan bukan Instruksi Rahasia
tertanggal 18 Februari 1949, yang secara eksplisit menyebutkan Instruksi
dari Panglima Divisi Bambang Sugeng kepada Komandan Daerah (Wehrkreis)
III, Letnan Kolonel Suharto, untuk melakukan serangan atas Ibukota
Yogyakarta antara tanggal 25 Februari – 1 Maret 1949.
Juga dikutip dari biografi HB IX,
keterangan yang sehubungan dengan serangan umum, tetapi tidak
dilanjutkan dengan kalimat yang menyebutkan bahwa HB IX memanggil
Suharto untuk menghadap:
… Apalagi ketika ia
mendengar berita dari siaran radio luar negeri, bahwa pada akhir
Februari 1949 masalah antara Indonesia dengan Belanda akan dibicarakan
di forum PBB. Bagaimana caranya untuk memberi tahu kepada dunia
internasional bahwa RI masih hidup, bahwa Belanda sama sekali tidak
menguasai keadaan. Ia kemudian mendapat satu akal …
… Namun ia harus
cepat bertindak karena waktu telah mendesak. Ketika itu telah
pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk menghubungi
Panglima Besar di tempat markas gerilya meminta persetujan untuk
melaksanakan siasat.
Di sini berakhir kutipan dari biografi HB
IX, sedangkan dalam buku yang ditulis oleh Tim Lembaga Analisis
Informasi (TLAI), Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949, kutipan
tersebut selanjutnya berbunyi:
… HB IX kemudian
dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Suharto. Dalam pertemuan di
rumah kakaknya, GPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13
Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Suharto untuk menyiapkan suatu
serangan umum dalam waktu dua minggu. Itulah satu-satunya pertemuan HB
IX – Suharto dalam hubungan dengan rencana Serangan Umum 1 Maret.
Kontak-kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir.
Keterangan tersebut sebenarnya sekaligus membantah ungkapan Suharto, yang dalam otobiografinya menyebutkan bahwa:
… sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang tempat bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas …
Setelah Suharto tidak berkuasa, barulah
ada keberanian beberapa orang untuk membantah versi Suharto tersebut,
termasuk orang-orang yang di masa Suharto berkuasa, terlibat dalam
konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah, bahkan hadir dalam Seminar
SESKOAD dan ikut dalam pembuatan Film “Janur Kuning.”
Di
era yang diharapkan dimulainya reformasi termasuk pelurusan penulisan
sejarah, muncul pengkultusan baru yang masih memakai pola yang telah
diterapkan oleh Suharto dan merekayasa legenda baru.
Beberapa sumber berita dikutip, tetapi
semua kesimpulan diarahkan kepada kerangka baru yang telah disiapkan,
yaitu adanya pemrakarsa dan pelaksana; dan segala sesuatu seputar
serangan tersebut tidak berubah. Tidak pernah ada penjelasan, mengenai
apa yang dimaksud dengan pemrakarsa. Hal ini dilakukan oleh pendukung HB
IX.
Sebenarnya, bila mengenal sosok HB IX
yang dikenal sangat low profile dan dekat dengan rakyat, sangat
diragukan bahwa HB IX akan menyetujui semua langkah yang ditempuh untuk
menciptakan suatu legenda baru untuk mengkultuskan dirinya. Versi ini
juga mengekspos, seolah-olah serangan terhadap Yogyakarta tersebut
menjadi tindakan, yang memaksa Belanda kembali ke meja perundingan di
PBB di Lake Success (Tempat bersidang Dewan Keamanan pada waktu itu
adalah Lake Success, Amerika Serikat, dan Paris, Prancis).
Brigjen. (Purn.) Marsudi seperti dikutip
berbagai media, a.l. situs web koridor.com tertanggal 23 Juni 2000,
menyebutkan, bahwa Hamengku Buwono IX yang memberikan perintah kepada
Suharto. Koridor.com menuliskan:
“Salah satu pelaku
Serangan Oemoem (SO) 1 Maret Brigjen (Purn) C Marsoedi menegaskan, ide
serangan terhadap kekuatan militer Belanda, yang menduduki ibukota RI
Yogyakarta; pada Siang hari datang dari Sri Sultan Hamengku Buwono (HB)
IX.
Dalam seminar tentang Peranan Wehrkreise
III Pada Masa Perang Kemerdekaan II 1948-1949 di Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional (Jarahnitra) Yogyakarta, Kamis, Marsoedi
mengemukakan, tidaklah benar bila ide itu berasal dari Soeharto, yang
saat itu menjadi Komandan Wehrkreise III berpangkat Overstee (Letkol)
dan kemudian menjadi orang pertama Orde Baru.
Menurut dia, juga tidak benar Soeharto
pada masa itu tidak pernah menghadap Sri Sultan HB IX. “Saya sendiri
yang menjadi penghubung antara HB IX dengan Soeharto,” katanya. Ia
menjelaskan, pada 14 Februari 1949, Soeharto diantar masuk ke Kraton
Yogyakarta melalui nDalem Prabeya, dan kemudian bertemu empat mata
dengan Sri Sultan HB IX di kediaman GBPH H Prabuningrat, saudara Sri
Sultan yang juga menjadi tangan kanan HB IX.
Pertemuan itu berlangsung dalam suasana
gelap karena seluruh lampu dimatikan. Saat menghadap Sri Sultan,
Soeharto mengenakan busana pranakan, jenis baju tradisional khusus bagi
abdi dalem Kraton Yogyakarta. Bahkan saat keluar dari pertemuan itu,
Soeharto sempat memerintahkannya dengan kalimat pendek. “Tunggu perintah
lebih lanjut,” kata Marsoedi menirukan ucapan Soeharto waktu itu.
Ia mengungkapkan, sebelum bertemu
Soeharto, Sri Sultan pada 1 Februari berkirim surat kepada Panglima
Besar Soedirman dan kemudian dijawab oleh Bapak TNI ini agar menghubungi
Letkol Soeharto di Blibis.”
Sebelum itu, dalam wawancara dengan
Tabloid Tokoh, Marsudi mengatakan (Lihat Tabloid mingguan Tokoh, No. 01,
Tahun ke-1, 9 – 16 November 1998):
“Gubernur Militer
Bambang Sugeng itu ‘kan Panglima Divisi, di atasnya Pak Harto, di bawah
Panglima Besar. Peranan Panglima Divisi tak terasa, tetapi sebagai
panglima, beliau tentu menerima informasi dari Panglima Besar.
Situasinya mendesak. Sarana komunikasi terbatas. Karena itu ada hirarki
yang diterjang.”
Sangat tidak tepat, apabila Marsudi
menyebutkan “Peranan Panglima Divisi tak terasa.” Marsudi, yang waktu
itu berpangkat Letnan dan hanya menjabat sebagai komandan Sub-Wehrkreis
101, tentu tidak pada posisi untuk menerima instruksi/perintah langsung
dari Panglima Divisi, karena Panglima Divisi cukup memberikan
instruksi/perintah kepada komandan Brigade/Wehrkreis, sesuai dengan
hirarki militer. Marsudi yang setelah usai Perang Kemerdekaan II terus
akrab dengan para perwira yang dahulu di Staf Gubernur Militer (SGM),
Staf Divisi serta pimpinan brigade, seharusnya cukup mendengar dan
mengetahui peranan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel
Bambang Sugeng.
Panglima Divisi Kolonel Bambang Sugeng,
selain yang langsung memimpin rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil
di wilayah Gubernur Militer III pada 18 Februari 1949 – dimana disusun “Grand Design”
Serangan Umum tersebut juga memimpin sendiri rombongan dengan melakukan
perjalanan kaki berhari-hari dari lereng Gunung Sumbing, menuju Brosot
untuk menyampaikan “Grand Design” itu kepada pihak-pihak yang
terkait, seperti Kolonel Simatupang, Kolonel Wiyono dari PEPOLIT dan
termasuk kepada Letkol Suharto.
Dari dokumen-dokumen yang telah
disebutkan di atas, juga sebagaimana tertera dalam catatan harian Wakil
Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel Simatupang tertanggal 18 Februari
1949, sebenarnya sudah sangat jelas peran Panglima Divisi III/Gubernur
Militer III Kolonel Bambang Sugeng.
Kemudian sehubungan dengan alasan “sarana
komunikasi terbatas” maka “ada hirarki yang diterjang,”, sebagaimana
terlihat dalam beberapa catatan di atas, demikian juga dengan pernyataan
Suharto, alasan tersebut telah terbantah. Memang hal itu yang selalu
dikemukakan oleh bawahan, oleh karena mereka tidak mengetahui, bahwa
atasan tertinggi mereka tidak mempunyai kesulitan untuk saling
berkomunikasi, sehingga dengan demikian, tidak ada alasan untuk
menerjang hirarki.
Selain itu, pernyataan Marsudi telah
terbantah oleh keterangan HB IX sendiri, yang menyebutkan bahwa HB IX
dapat berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman. Sebagai komandan
Sub-Wehrkreis dengan pangkat Letnan, Marsudi tidak termasuk jajaran yang
dapat atau boleh mengetahui persembunyian Panglima Besar Sudirman, yang
menjadi sasaran utama tentara Belanda. Bahkan atasannya sendiri, yaitu
Letkol Suharto, juga tidak termasuk jajaran yang dapat mengetahui tempat
persembunyian Panglima Besar.
Begitu juga dengan kesimpulan yang
disusun oleh Tim Lembaga Analisis Informasi, bahwa pemrakarsa Serangan
Umum 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tim ini mengutip
a.l. biografi Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan
Hamengku Buwono IX, di mana dikutip:
“Waktu telah
mendesak, ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim
kurir untuk menghubungi Panglima Besar (Sudirman) di persembunyiannya,
meminta persetujuannya untuk melaksanakan siasatnya dan untuk langsung
menghubungi komandan gerilya…
HB IX kemudian
dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Soeharto. Dalam pertemuan di
rumah kakaknya, GBPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13
Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Soeharto untuk menyiapkan suatu
serangan umum dalam waktu dua minggu…. Kontak-kontak selanjutnya
dilakukan dengan perantaraan kurir.
…Melalui kurir pula
ia memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa “pendudukan Yogya”
oleh pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup.”
Mereka yang pernah ikut gerilya pasti
melihat, bahwa hal-hal yang diungkapkan di atas, tidak mungkin
dilakukan, yaitu orang yang tidak berada di garis komando memberikan
perintah langsung kepada seorang komandan pasukan untuk melaksanakan
suatu serangan besar, tanpa sepengetahuan atasan komandan pasukan
tersebut, apalagi operasi militer tersebut melibatkan berbagai pasukan
yang tidak di bawah komando yang bersangkutan. Bahkan juga angkatan
lain, selain Angkatan Darat, dalam hal ini AURI di Playen yang memiliki
pemancar radio.
Dari otobiografi almarhum Marsekal Madya
TNI (Purn.) Budiarjo, mantan Menteri Penerangan, dan buku Simatupang
yang terbit pertama kali tahun 1960, jelas menunjukkan ikutsertanya
Kolonel Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang dalam perencanaan
dan persiapan. Selain itu masih ada dokumen tertanggal 18 Februari 1949,
yang sangat jelas menuliskan perintah kepada komandan Daerah I
(Wehrkreis I) untuk mengadakan serangan atas “Iboekota Yogyakarta”
antara tanggal 25 Februari – 1 Maret 1949. Pemberi perintah adalah
Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng.
Tampaknya menurut versi pendukungnya,
wewenang HB IX sangat besar, yaitu selain menetapkan tanggal
penyerangan, hanya melalui kurir pada sore hari tanggal 1 Maret 1949, ia
memberi instruksi kepada Suharto agar serangan tersebut dihentikan,
seperti dituliskan:
… Melalui kurir
pula ia memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa “pendudukan
Yogya” oleh pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup.
Dari semua keterangan dan bukti yang ada,
pertempuran di dalam kota Yogyakarta hanya berlangsung paling lambat
hingga sekitar pukul 11.00, karena pada saat itu bantuan tentara Belanda
dari Magelang telah tiba di Yogyakarta. Film yang dibuat tahun lima
puluhan mengenai serangan tersebut berjudul “6 jam di Yogya”, masih
mendapat masukan dari beberapa perwira di jajaran atas, sehingga jalan
ceriteranya cukup otentik. Serangan dimulai tepat pukul 06.00, dan
apabila pertempuran berlangsung sekitar enam jam, berarti memang paling
lambat berakhir sekitar pukul 12.00. Dengan demikian, sangat tidak
mungkin perintah penghentian pertempuran diberikan sore hari.
Walaupun dengan menyatakan bahwa
instruksi tersebut berdasarkan perintah HB IX, yang notabene tidak ada
di garis komando Divisi III, sangat diragukan, bahwa Letnan Kolonel
Suharto, yang hanya Komandan Brigade dapat memberikan instruksi,
perintah atau apapun namanya kepada para atasannya. Juga adalah suatu
hal yang tidak mungkin, bahwa HB IX telah menetapkan tanggal
penyerangan, tanpa membahas terlebih dahulu dengan pimpinan militer dan
sipil lain, berapa kekuatan pasukan yang dapat dikerahkan oleh Suharto
dan bagaimana perlindungan belakang atas kemungkinan bantuan tentara
Belanda dari kota lain seperti Magelang, Semarang dan Solo, serta
dukungan logistik dan paramedis yang diperlukan untuk suatu operasi
militer besar-besaran.
Di sini terlihat, bahwa mereka yang
menyusun “skenario” untuk peran HB IX tidak mengetahui mengenai
perencanaan suatu operasi militer yang besar, yang melibatkan beberapa
pasukan. Walau pun berbagai sumber yang dikutip sebenarnya bertolak
belakang, namun kemudian TLAI membuat kesimpulan, bahwa Hamengku Buwono
IX bukan hanya pemrakarsa, melainkan juga yang menetapkan tanggal
pelaksanaan dan memegang kendali operasi, yaitu dengan memberi perintah
untuk menghentikan pertempuran, karena dianggapnya “sudah cukup.”
Dikemukakan juga kesaksian seseorang,
yang disebutkan sebagai seorang putra dari anak buah Budiarjo, perwira
AURI yang ditemui Simatupang. Selanjutnya TLAI menuliskan:
…kata Letkol Suharto, yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai Komandan Pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949 itu.
TLAI tidak menyebutkan buku sejarah mana,
atau di mana pernah tertera, bahwa HB IX adalah pemrakarsa, dan Suharto
adalah komandan pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949. Hal tersebut
memberikan kesan, bahwa kelompok yang mempunyai kekuasaan dan dana,
dapat membayar “pakar sejarah” untuk menulis sesuai seleranya, dan
membiayai penerbitan buku tersebut, seperti yang selama ini dilakukan
pada zaman Orde Baru. Dengan demikian sejarawan seperti ini, tidak
berbeda dengan “tukang jahit.”
“Skenario” yang terbaru terkesan sangat
berlebihan, dan mungkin dapat dikatakan telah melampaui batas kewajaran,
sebagaimana dilukiskan dalam buku yang ditulis oleh tiga orang pakar
sejarah. Berikut ini kutipan lengkap dari buku tersebut (tanpa terputus
dan tidak dirubah titik-komanya):
“… kemudian
Presiden dan Wapres di Gedung Agung ditangkap dan diasingkan sehingga
mutlaklah kala itu kedudukan “pemerintah” kita diserahkan pada
Syafroedin Prawiranegara dilain fihak kedudukan kiranya tinggal Mentri
Koordinator Keamanan yang dijabat oleh Sri Sultan HB IX, merupakan
pimpinan RI yang tetap di Yogyakarta, dimana kraton berada maka praktis
perjuangan kita hanya menggunakan jalan Diplomasi Politik kepada dunia
Internasional/PBB, dimana hal ini semenjak perpindahan pemerintah RI di
Yogya tersebut Sri Sultan HB IX dengan telah terbentuknya Laskar Mataram
tanggal 7 Oktober 1945 kiranya menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya
yang dikomandoi oleh satuan Wehrkreis. Demikianlah sebagai seorang
Negarawan yang matang dalam Kalkulasi dan Strategi perjuangan yang
didukung dengan Kewenangan sebagai Mentri Koordinator Keamanan maka
mulailah beliau menyusun rancangan sengan menggunakan beberapa faktor
pendukung yang masih ada serta kelemahan dan Point of Return yaitu
semisal pendapat Belanda yang mengatakan Pemerintah RI telah “hilang”
semenjak Sukarno-Hatta diasingkan Posisi TNI sudah sangat “lemah” dan
Unforce tidak bisa lagi sebagai benteng penjaga Negara dan Pemerintah,
kekacauan terjadi dimana-mana, “kemiskinan” ekonomi-sosial yang cukup
parah mengakibatkan pemerintah dianggap gagal mengelola negara dan
masyarakat, maka kiranya dengan minimalnya pendukung ini yang nota bene
semua nilai-nilai tersebut didistribusikan kepada International Law pada
waktu itu sebagai dasar akhir maka Sri Sultan berpendapat bahwa
distribusi dari Aturan Internasional tersebutlah terletak kelemahan kita
sekaligus “Jalan Keluar” dari “kemiskinan”, jadi beliau mendasarkan
pada dasar hukumnya dan bukan pada level indikasinya …”
Menurut tulisan ini, Laskar Mataram yang
terbentuk tanggal 7 Oktober 1945, menjadi tumpuan utama perjuangan
gerilya yang dikomandoi oleh satuan Wehrkreis. Agak mengherankan, karena
dalam banyak penulisan buku sejarah perjuangan, tidak pernah disinggung
peranan Laskar Mataram tersebut. Memang ketika Belanda melancarkan
agresi militernya tanggal 19 Desember 1948, Re-Ra (Reorganisasi –
Rasionalisasi) di tubuh TNI belum tuntas, sehingga masih banyak laskar
dan satuan bersenjata, yang belum dilebur atau diintegrasikan ke TNI.
Buku yang baru diluncurkan tanggal 1
Maret 2001 dengan judul Pelurusan Sejarah. Serangan Oemoem 1 Maret 1949,
disebut oleh Prof. Dr. Ir. Sri Widodo, Msc, dalam kata sambutannya,
sebagai:
“…kajian ilmiah oleh pakar sejarah dan data kesaksian pelaku sejarah menjadi dasar utama dalam penulisan buku ini…”.
Secara garis besar, buku tersebut tidak
berbeda jauh dengan buku dari TLAI, hanya ditambahkan transkrip rekaman
wawancara HB IX dengan BBC pada tahun 1986, serta sejumlah kesaksian,
terutama dari pegawai keraton Yogyakarta. Tidak ada dokumen dari tahun
1948/1949 yang memperkuat semua kesaksian. Pembenaran versi ini juga
berdasarkan kutipan wawancara dari berbagai media massa, tanpa ada
dokumen pembuktiannya.
Sebenarnya, ketiga penulis yang adalah
Sarjana Hukum, tentu mengetahui, bahwa dari segi hukum, pengakuan
seseorang-ataupun tidak mengakui suatu tindakan- bukanlah suatu alat
bukti yang kuat. Yang berhubungan langsung dengan latar belakang
serangan tersebut, sebagian besar hanyalah polemik mengenai versi
pertama, yaitu pemrakarsa adalah Letnan Kolonel Suharto, dan sepintas
lalu disinggung mengenai versi ketiga, yang dikemukakan oleh Letnan
Kolonel TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, mantan
Kwartiermeestergeneraal Staf “Q” TNI AD, yang pada waktu itu menjabat
sebagai Perwira Teritorial.
Di halaman 71, sehubungan dengan
kedatangan Kolonel Simatupang di desa Playen, tempat pemancar radio
AURI, tertulis kesaksian Herman Budi Santoso, SH, yang menceriterakan
pengalamannya waktu itu (usia 15 tahun):
“…yang ternyata
T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak Bud
(Budiarjo-pen.)…dan Pak Simatupang mengatakan bahwa Sri Sultan telah
mengontak Pak Dirman tentang ide penyiaran yang diprakarsai Sri Sultan
termasuk gagasan untuk SU 1 Maret 1949, pak Bud saat itu Kapten juga
melaporkan bahwa pak Sabar juga telah menerima kode dan isi perintah
rahasia dari kurir Pangsar Sudirman…”
memang, adalah suatu novum, yaitu:
“…T.B. Simatupang, yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak Bud..”
Namun, para pakar sejarah terebut tidak
melampirkan bukti atau dokumen yang dapat mendukung kebenaran
“kesaksian” tersebut, karena hingga kini tidak ada tercatat di dokumen
mana pun mengenai instruksi/perintah Hamengku Buwono IX kepada Kolonel
Simatupang. Demikian juga catatan Simatupang, yang tidak pernah
menyebutkan adanya pertemuan dengan HB IX atau perintah dari HB IX dan
bahkan tidak selama berlangsungnya perang gerilya, Simatupang tidak
pernah menulis adanya peran HB IX dalam perlawanan bersenjata.
Selain itu, Simatupang juga tidak menulis
nama perwira AURI yang ditemuinya di Playen. Seandainya ada perintah
tersebut, tentu Simatupang mencatat dalam buku hariannya, dan yang
dicatatnya adalah pertemuan dengan Kolonel Bambang Sugeng, Panglima
Divisi III/GM III yang menyampaikan rencana untuk menyerang Yogyakarta,
dan dalam catatan harian mengenai kedatangannya di Wiladek, Simatupang
menulis:
…..Tanggal 1 Maret
1949, setelah kami melalui Kota-Kabupaten Wonosari, yang telah
dibumihanguskan, maka kami tiba di Wiladek tidak jauh dari Ngawen. Di
Wiladek kami bertemu dengan saudara-saudara Sumali dan Ir. Dipokusumo,
yang bersama-sama memimpin Staf Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah
di Jawa. Mereka menunggu-nunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu
juga, yakni tanggal 1 Maret 1949, pasukan-pasukan kita akan melancarkan
“SO” atau serangan umum (oemoem) atas kota.
Inilah serangan
yang beberapa waktu yang lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng
di Banaran. Saudara-saudara Sumali dan Dipokusumo telah bersiap-siap
untuk menyiarkan “SO” ini melalui pemancar radio dekat Banaran ke
Sumatera dan New Delhi, yang kemudian akan berita itu kepada dunia.
Khusus pada tingkat sekarang ini, di mana Belanda sedang ngotot, maka
sebuah berita yang agak sensasional mengenai serangan umum atas
Yogyakarta pasti akan mempunyai efek sangat baik bagi kita…
Dalam buku Laporan dari Banaran,
Simatupang banyak melampirkan fotocopy surat-menyurat yang penting,
termasuk dari HB IX dan Panglima Besar Sudirman. Demikian juga dengan
Nasution, yang selain melampirkan copy dari dokumen asli, juga menulis
transkrip sejumlah besar dokumen-dokumen selama perang gerilya. Namun
tidak ada satu dokumen pun yang menyinggung atau menyatakan keterlibatan
HB IX dalam suatu operasi militer.
Juga dalam bukunya, Budiarjo tidak
menyebutkan bahwa kedatangan Simatupang adalah atas perintah dari HB IX
untuk menemuinya. Hingga saat ini belum ada dokumen yang menyebut adanya
keterkaitan antara Hamengku Buwono IX baik dengan Simatupang, maupun
dengan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng. Juga
secara keseluruhan, belum ditemukan sumber otentik atau dokumen mengenai
keterlibatan HB IX dalam salah satu operasi militer. Demikian juga
Nasution, dalam semua bukunya tidak pernah menyinggung adanya
keterlibatan HB IX dengan serangan umum di wilayah Divisi III, ataupun
terhadap Yogyakarta.
Satu-satunya buku (naskah) yang secara
eksplisit menyebutkan adanya surat HB IX kepada Panglima Besar Sudirman
yang diterima di dekat Pacitan pada awal bulan Februari 1949, adalah
naskah buku dr. W. Hutagalung, yang hingga kini belum diterbitkan. Jadi
agak mengherankan, bahwa Herman Budi Santoso, tanpa ada suatu sumber
pembuktian, dapat menuliskan:
“… T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui Budiarjo…”
Pada dasarnya, selain memuat transkrip
wawancara HB IX dengan BBC, serta melampirkan sejumlah kesaksian, tidak
ada bukti atau dokumen baru, selain dari dokumen yang selama ini telah
dikenal. Bahkan beberapa kesaksian menyebutkan, bahwa selain
mendengarkan radio kemudian meminta izin kepada Panglima Besar Sudirman
untuk melancarkan serangan terhadap Yogyakarta, HB IX juga yang
menetapkan tanggal serangan, memberikan perintah untuk penghentian
serangan, memerintahkan Wakil KSAP Kolonel Simatupang, untuk
menyampaikan teks siaran ke pemancar radio AURI di Playen; singkatnya,
juga dalam buku ini semua peran yang dahulu diklaim oleh Suharto, kini
dilimpahkan kepada HB IX, dengan demikian mengangkat HB IX menjadi super
hero yang baru.
Walau pun pada beberapa dokumen jelas
disebutkan bahwa serangan tersebut adalah operasi militer di bawah
komando Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, dan tidak ada
satu pun dokumen otentik yang mendukung, para penulis dengan tegas
telah menetapkan HB IX sebagai pemrakarsa serangan, dan Marsudi
menyatakan, bahwa penulisan tersebut telah “final”.
Adalah suatu hal yang baru, yaitu upaya
untuk mengukuhkan “kajian ilmiah” tersebut dengan Keputusan Presiden Hal
seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam harian Kompas
tertanggal 28 Februari 2001, halaman 9, ditulis:
Bahkan DPRD (DI
Yogyakarta-pen.) sendiri telah menulis surat kepada Presiden
Abdurrahman Wahid untuk menerbitkan keputusan presiden, untuk meluruskan
fakta sejarah itu.
“…de facto penggagas SO
1 Maret itu adalah HB IX almarhum, tetapi secara de jure harus
dirumuskan dalam keputusan presiden, karena menyangkut sejarah bangsa
ini.” demikian Budi Hartono.
Hal baru ini boleh dikatakan mungkin
“unik”, yaitu suatu penulisan sejarah minta dikukuhkan melalui SK
Presiden. Bahkan Suharto pun tidak pernah mengeluarkan SK (Surat
Keputusan) Presiden, atau memerintahkan lembaga-lembaga negara untuk
mengukuhkan versinya.
Untuk meletakkan sesuai proporsinya,
perlu sekali lagi ditegaskan, bahwa “Serangan Spektakuler” -bahkan
seluruh serangan umum di wilayah Divisi III- tersebut bukanlah pemicu
perundingan antara Belanda dan Republik Indonesia. Agresi Belanda yang
dimulai tanggal 19 Desember 1948, dilakukan saat perundingan antara
Indonesia dan Belanda sedang berlangsung. Perundingan tersebut
difasilitasi oleh Komisi Jasa Baik Dewan Keamanan PBB, yang waktu itu
lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN).
Namun, keberhasilan “Serangan Umum”
(serangan secara besar-besaran yang serentak dilancarkan) di seluruh
wilayah Divisi II dan III, termasuk “serangan spektakuler” terhadap
Yogyakarta dan hampir bersamaan dilakukan di wilayah Divisi I dan IV,
menambah jumlah keberhasilan serangan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
di seluruh Indonesia, sebagai bukti bahwa TNI masih ada.
Keberhasilan “Serangan Umum” tersebut
adalah berkat kerjasama serta dukungan berbagai pihak. Sangat banyak
orang dan pihak yang terlibat langsung dalam perencanaan, persiapan dan
pelaksanaan, sehingga bukan hanya satu atau dua orang saja yang berjasa,
melainkan banyak sekali. Juga tidak hanya Angkatan Darat saja yang
terlibat, melainkan juga Angkatan Udara dan Kementerian Pertahanan
sendiri serta pimpinan sipil, untuk memasok perbekalan bagi ribuan
pejuang. Dan yang terpenting, adanya dukungan rakyat Indonesia di
daerah-daerah pertempuran.
Selain itu harus pula diingat, bahwa
perlawanan bersenjata dilakukan tidak hanya di sekitar Yogyakarta atau
Jawa Tengah saja, tetapi hampir di seluruh Indonesia, yaitu di Jawa
Barat, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan Sulawesi, dan ini adalah bagian
dari seluruh potensi perjuangan kemerdekaan: Diplomasi dan Militer.
Perlawanan bersenjata tidak hanya dilakukan oleh tentara reguler/TNI
saja, melainkan juga banyak kalangan sipil yang ikut dalam pertempuran,
sebagaimana dituturkan dalam buku Setiadi Kartohadikusumo:
“Pemuda-pemuda yang
membantu PMI (Palang Merah Indonesia), kalau malam juga ikut
menjalankan pertempuran sebagai gerilyawan. Ada beberapa orang yang
tertembak mati dengan masih memakai tanda Palang Merah di bahunya,
sebagaimana terjadi di Balokan, di muka stasion KA Tugu dan di Imogiri.”
Melihat begitu banyak pihak yang berperan
dalam pembahasan, perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, tentu tidak
pada tempatnya, apabila untuk keseluruhan episode tersebut direduksi
menjadi peran dua orang, yaitu hanya ada pemrakarsa dan pelaksana;
selebihnya, dianggap tidak penting. Di samping itu, masih sangat
diragukan kebenaran versi yang mendukung kedua story tersebut.
Penulis setuju dengan pendapat yang
mengatakan bahwa penulisan sejarah adalah suatu “never ending process”,
suatu proses yang tidak akan berakhir, karena sering dapat ditemukan
bukti baru, sehingga dengan demikian penulisan sebelumnya perlu direvisi
atau mendapat penilaian baru.
Oleh karena itu, selama tidak ditemukan
dokumen atau bukti otentik yang dapat membuktikan perintah atau pun
penugasan dari HB IX, baik kepada Panglima Divisi III/GM III Kolonel
Bambang Sugeng, yang adalah atasan langsung dari Letkol Suharto, maupun
kepada Kolonel A.H. Nasution -Panglima Tentara & Teritorium
Jawa/Markas Besar Komando Jawa- atau kepada Kolonel T.B. Simatupang
-Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang-, berdasarkan dokumen, bukti-bukti
yang ada, serta sesuai hirarki dalam pemerintahan militer dan garis
komando, dapat dengan tegas dinyatakan, bahwa perencanaan, persiapan,
penugasan, pelaksanaan serta komando operasi militer yang dilancarkan di
seluruh wilayah Divisi III/GM III -termasuk serangan terhadap
Yogyakarta- tanggal 1 Maret 1949, berada di pucuk pimpinan Divisi III/GM
III dan kendali operasi sejak awal berada di tangan Panglima Divisi III
Kolonel Bambang Sugeng.
Sebenarnya latar belakang serangan 1
Maret atas Yogyakarta, Ibukota RI waktu itu yang diduduki Belanda, tidak
perlu menjadi kontroversi selama lebih dari duapuluh tahun, apabila
beberapa pelaku sejarah tidak ikut dalam konspirasi pemutarbalikan fakta
sejarah. Juga apabila meneliti tulisan T.B. Simatupang, saat peristiwa
serangan tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang.
Simatupang telah menulis secara garis besar mengenai hal-hal seputar
serangan tersebut, dari mulai perencanaan sampai penyebarluasan berita
serangan itu. Buku itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1960.
Diterbitkan ulang pada tahun 1980.
Cukup banyak pelaku sejarah yang masih
hidup dan mengetahui mengenai hal-hal tersebut di atas, terutama mantan
anggota Divisi III dan Staf Gubernur Militer III. Namun dengan berbagai
alasan, dua versi tersebut beredar selama puluhan tahun, walaupun
beberapa kali telah ada penulisan yang berbeda dengan dua versi tersebut
dan bukti-bukti cukup banyak.
Dalam skripsi yang ditulis oleh
Indriastuti sebagai bahan untuk ujian S-1, diterbitkan pada tahun 1988,
telah memuat salinan Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kol.
Bambang Sugeng, di mana seharusnya terlihat jelas, bahwa serangan
tersebut adalah perintah dari pimpinan tertinggi Divisi. Juga telah
diwawancarai beberapa pelaku sejarah. Namun terlihat, alur cerita yang
disampaikan serta kesimpulan yang diambil, sangat tidak logis.
Bahkan buku yang diterbikan SESKOAD tahun
1989, melampirkan banyak dokumen, yang sebenarnya menunjukkan peran
beberapa atasan Suharto, namun tampaknya buku tersebut “dijahit” khusus
untuk Suharto. Seharusnya, sekarang sudah menjadi kewajiban moral bagi
SESKOAD, untuk merevisi buku tersebut dan merehabilitasi beberapa mantan
atasan Suharto, karena jasa mereka bagi bangsa, negara dan TNI sangat
besar; bahkan beberapa dari mereka termasuk yang berperan bukan saja
dalam pembentukan BKR/TKR -cikal bakal TNI- melainkan juga dalam
perencanaan serta pelaksanaan reorganisasi dan rasionalisasi TNI. Peran
mereka dalam Perang Kemerdekaan II telah dikecilkan, demi mengangkat
peran Suharto, yang dahulu hanya komandan Brigade dan kebanyakan hanya
melaksanakan perintah atasan.
Selain itu cuplikan dari manuskrip buku
Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, yang sehubungan dengan
serangan atas Yogyakarta tersebut, telah dimuat di majalah bulanan
Bonani Pinasa, Medan, edisi November dan Desember tahun 1992 (ketika
Suharto masih Presiden); Tabloid Tokoh, 6 – 16 November 1998; Mingguan
Tajuk, 4 Maret 1999 dan Suara Pembaruan, Sabtu, 6 Maret 1999 (ditulis
oleh Sabam Siagian).
Setelah membaca manuskrip tersebut, pada
tahun 1995, Suharto menyampaikan, agar buku tersebut tidak diterbitkan.
Namun, pada akhir tahun 1997, dimana suasana reformasi sudah mulai
dirasakan, manuskrip tersebut disampaikan kepada Jenderal TNI (Purn.)
A.H. Nasution untuk diminta pendapatnya untuk memberi sepatah kata.
Nasution memberi dukungan agar manuskrip tersebut diterbitkan, dan
menulis kata sambutan.
Usai perang gerilya, dua orang perwira
yang bergerilya di wilayah Gunung Sumbing, mendapat promosi kenaikan
jabatan. Pada bulan September 1949, Kolonel Bambang Sugeng menjadi
Kepala Staf “G” (General = Umum) dan ketika Simatupang ditugaskan untuk
ikut menjadi anggota delegasi Republik dalam KMB di Den Haag, Bambang
Sugeng diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Perwira kedua
yang mendapat kenaikan jabatan adalah Letnan Kolonel dr. Wiliater
Hutagalung, yang diangkat menjadi Kwartiermeestergeneral Staf “Q” TNI AD
(Kepala Staf “Q” – Head Quarter).
Mengenai dr. W. Hutagalung, dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang mencatat:
“dr Hutagalung,
aktif berjuang melawan Inggris di Surabaya tahun 1945. Tahun 1948
ditunjuk sebagai wakil Angkatan Bersenjata pada Komite Hijrah yang
menangani penarikan mundur tentara Republik dari wilayah yang diduduki
Belanda.”
Salah satu keputusan Konperensi Meja
Bundar adalah penyerahan seluruh perlengkapan militer Belanda yang ada
di Indonesia, kepada TNI (Tentara Nasional Indonesia). Pada perundingan
dengan pihak Belanda untuk serah terima perlengkapan militer tersebut,
delegasi Indonesia dipimpin oleh Kwartiermeester-generaal Staf “Q”
Letnan Kolonel Dr. W. Hutagalung. Wakilnya adalah Kolonel G.P.H.
Djatikusumo [Diceriterakan oleh alm. Kol TNI (Purn.) Alex E. Kawilarang
dalam pertemuan pada 9 November 1999 di Gedung Joang ’45, Menteng Raya
31].
Dalam pelaksanaan serah terima,
Hutagalung dibantu oleh Kapten Mangaraja Onggang Parlindungan Siregar,
yang menangani penerimaan dan registrasi perlengkapan militer, dan dr.
Satrio, yang menangani penerimaan dan registrasi perlengkapan medis.
Pada 29 Februari 2000, bertempat di
Gedung Joang ’45, Jl. Menteng Raya No. 31, diselenggarakan diskusi
mengenai “Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949″ dan jumpa pers oleh
Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) dan Exponen Pejuang Kemerdekaan RI
& Generasi Muda Penerus RI. Selain dihadiri oleh putra – putri alm.
Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng, juga hadir Dr.
Anhar Gonggong, yang mengakui, bahwa dia baru pertama kali melihat
dokumen Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang
Sugeng, tertanggal 18 Februari 1949 tersebut (Diskusi dan Jumpa Pers
tersebut diliput dan diberitakan oleh beberapa media cetak, dan dua
stasiun radio yang memberitakan langsung dari Gedung Joang).
Tanggal 2 Maret 2001, Aliansi Reformasi
Indonesia (ARI) bekerjasama dengan Yayasan Pembela Tanah Air,
menyelenggarakan Diskusi Panel dengan mengundang wakil dari
masing-masing versi. Untuk wakil versi pertama, yaitu Suharto pemrakarsa
serangan 1 Maret 1949, semula panitia mengundang Paguyuban Wehrkreis
III dan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk mengirim seorang
pembicara, yang akan mewakili versi pertama.
Namun Paguyuban Wehrkreis III menjawab,
bersedia mengirim pembicara dalam Diskusi Panel, namun baik Paguyuban
Wehrkreis III maupun Yayasan Serangan Umum 1 Maret, menyatakan tidak
mewakili versi manapun. Sebagai panelis mewakili Paguyuban Wehrkreis III
adalah Brigjen TNI (Purn.) KRMT Soemyarsono, SH (Beliau juga hadir
dalam acara Ulang Tahun ke 91 dari dr. Wiliater Hutagalung pada 20 Maret
2001, yang diselenggarakan di Gedung Joang ’45, yang juga dihadiri
teman-teman sdeperjuangan dr. W. Hutagalung dari Jawa Timur –seperti
Komjen POL (Purn.) Dr. M. Jasin, alm. Mayjen (Purn.) EWP Tambunan, alm
Mayjen (Purn.) KRMH H Jono Hatmodjo- dan Jawa Tengah) .
Panitia juga mengundang Julius Pourwanto,
wartawan harian Kompas, yang pernah menulis sesuai dengan versi
pertama, yaitu Suharto adalah pemrakarsa serangan tersebut untuk menjadi
nara sumber. Semula Pourwanto telah menyatakan kesediaannya, namun satu
hari sebelum penyelenggaraan Pourwanto mengirim fax, yang menyatakan
bahwa dia mendapat tugas lain dari harian Kompas.
Untuk versi kedua, semula ditanyakan
kesediaan Atmakusumah Astraatmaja, penyunting biografi Hamengku Buwono
IX, di mana dituliskan, bahwa HB IX pemrakarsa serangan tersebut. Namun
Atmakusumah menyampaikan, berhalangan untuk hadir sebagai pembicara,
karena sudah ada komitmen di tempat lain. Kemudian panitia menghubungi
Penerbit Media Pressindo di Yogyakarta, yang menerbitkan buku
“Kontroversi serangan Umum 1 Maret 1949″, yang disusun oleh Tim Lembaga
Analisis Informasi (TLAI) di mana disebutkan, bahwa HB IX adalah
pemrakarsa serangan itu. Karena tidak mengetahui alamat TLAI, panitia
memohon kepada penerbit, untuk meneruskan undangan kepada TLAI, namun
sama sekali tidak ada jawaban, baik dari TLAI, maupun dari penerbit.
Melalui telepon, penulis menghubungi
Brigjen TNI (Purn.) Marsudi di Yogyakarta. Marsudi, yang sejak jatuhnya
Suharto, dikenal sebagai pendukung versi kedua, yaitu HB IX pemrakarsa
serangan. Namun Marsudi menyampaikan, bahwa tanggal 1 Maret 2001, di
Yogyakarta akan diluncurkan buku baru untuk meluruskan penulisan
sejarah. Buku tersebut menyatakan bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan
umum 1 Maret 1949. Menurut Marsudi, bagi pihaknya penulisan itu sudah
final, dan tidak bersedia mendiskusikan hal tersebut.
Hingga saat ini belum terlaksana suatu diskusi terbuka, di mana hadir wakil-wakil dari tiga versi yang berbeda.
Kesimpulan
Setelah agresi militer yang dilancarkan
Belanda tanggal 19 Desember 1948 terlihat, bahwa Dewan Keamanan segera
menunjukkan reaksi dan bersidang tanggal 20 Desember 1948, sehari
setelah serangan Belanda. Dalam sidang yang dilaksanakan tanggal 22
Desember, Dewan Keamanan menerima usul dari wakil Ukraina, Vassily A.
Tanassenko dan tanggal 24 Desember 1948 mengeluarkan resolusi, yang
isinya adalah seruan agar Belanda segera menghentikan agresi militernya.
Karena Belanda tidak mematuhi resolusi
tersebut, tanggal 28 Desember, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang
isinya dipertajam, yaitu ditambah dengan desakan, agar Belanda segera
dan tanpa syarat, membebaskan seluruh pimpinan Republik yang ditawan
tanggal 19 Desember serta mengembalikan mereka ke Yogyakarta.
Banyak negara segera melancarkan aksi
terhadap kegiatan ekonomi dan politik internasional Belanda, seperti
larangan terbang di atas wilayah negara mereka, boikot kapal-kapal
dagang Belanda, dan sebagainya.
Yang sangat di luar dugaan Belanda adalah
reaksi keras dari Pemerintah Amerika Serikat serta sejumlah Senator di
Senat yang mengancam akan menghentikan program bantuan pemulihan ekonomi
Belanda, dalam rangka European Recovery Programm (Marshall Plan).
Bahkan negara-negara Asia
menyelenggarakan suatu Konferensi Asia di New Delhi tanggal 20 – 23
Januari 1949, yang khusus membahas masalah Indonesia dan mengeluarkan
resolusi yang sangat tajam bagi Belanda. Resolusi Konferensi Asia
tersebut disampaikan kepada Dewan Keamanan, dan mendapat tanggapan yang
sangat positif. Resolusi Konferensi Asia dikembangkan oleh Amerika
Serikat, China (Taiwan), Kuba dan Norwegia, yang mengajukan resolusi,
yang kemudian dikenal sebagai resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari
1949, yang sangat menentukan bagi masa depan Republik Indonesia.
Semula, pada bulan Agustus 1947, Dewan
Keamanan hanya membentuk Komisi Jasa Baik untuk Indonesia (Committee of
Good Offices for Indonesia), yang merupakan suatu pengakuan de facto
terhadap Republik Indonesia, ditingkatkan dengan dibentuknya secara
resmi United Nations Commission for Indonesia (UNCI), dengan agenda yang
tegas dan jelas, seperti tertuang dalam Resolusi Dewan Keamanan No. 67,
tanggal 28 Januari 1949, yaitu:
1. Pengembalian para pemimpin Republik ke Yogyakarta serta Pemulihan Pemerintah Republik di Yogyakarta.
2. Penarikan mundur tentara Belanda.
3. Perundingan antara Belanda dan Indonesia, yang tujuannya adalah mengatur persyaratan pengakuan kedaulatan Negara Indonesia Serikat.
2. Penarikan mundur tentara Belanda.
3. Perundingan antara Belanda dan Indonesia, yang tujuannya adalah mengatur persyaratan pengakuan kedaulatan Negara Indonesia Serikat.
Resolusi Dewan Keamanan No. 67, tanggal
28 Januari 1949, menjadi pusat seluruh kegiatan dan peristiwa, sampai
terselenggaranya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, tanggal 23 Agustus
1949, di mana terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan
selanjutnya, pengakuan kedaulatan RIS oleh Pemerintah Belanda tanggal 27
Desember 1949. Dengan demikian, Dewan Keamanan PBB telah mempersiapkan
proses pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, walau pun bentuk yang
dipersiapkan adalah Negara Indonesia Serikat (NIS), sebagai realisasi
Persetujuan Linggajati dan Persetujuan Renville, yang keduanya telah
dilanggar oleh Belanda.
Banyak negara anggota PBB -terutama di
Dewan Keamanan- menilai, bahwa agresi militer Belanda tersebut
membahayakan upaya menjaga perdamaian dunia; terutama untuk tidak
menggunakan kekerasan militer dalam menyelesaikan sengketa. Selain itu,
hampir semua negara anggota PBB -termasuk Amerika Serikat- menilai bahwa
tindakan yang dilakukan oleh Belanda itu adalah suatu pelecehan
terhadap PBB, karena agresi militer tersebut dilakukan ketika
perundingan antara Republik Indonesia dan Belanda sedang berlangsung,
yang difasilitasi oleh Komisi yang diutus oleh Dewan Keamanan PBB.
Bahkan Ketua UNCI, Merle Cochran dari
Amerika Serikat, satu hari sebelum agresi militer Belanda dilancarkan,
sedang ke Jakarta, membawa surat dari Wakil Presiden M. Hatta, yang
ditujukan kepada WTM Dr. Beel, yang isinya adalah jawaban pihak Republik
atas suatu tuntutan dari Belanda. Oleh karena itu, reaksi Pemerintah
Amerika Serikat termasuk yang paling keras terhadap Belanda.
Di dunia internasional, boleh dikatakan
tidak ada lagi negara yang mendukung Belanda; bahkan kawan-kawan
tradisional Belanda, Inggris dan Prancis, juga menganjurkan Belanda
untuk menerima resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949.
Di dalam negeri, tidak seluruh rakyat
Belanda mendukung agresi militer atau pun kebijakan yang dilakukan oleh
beberapa Wakil Tinggi Mahkota (mengganti posisi Gubernur Jenderal semasa
Hindia Belanda). Di samping kejenuhan terhadap perang, karena baru
selesai Perang Dunia II, Belanda sendiri sangat membutuhkan dana besar
bagi pembangunan di negeri Belanda, sedangkan diperkirakan, biaya yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda sejak agresi militer mereka,
mencapai I juta US $ sehari.
Negara-negara boneka bentukan van Mook
yang tergabung dalam BFO, pada akhirnya melakukan pembangkangan terhadap
rencana Pemerintah Belanda serta WTM Dr. Beel, yang merencanakan untuk
menggelar KMB tanpa mengikutsertakan Republik. BFO -beberapa negara
federal semula mentolerir aksi militer Belanda- karena desakan rakyat di
wilayah mereka serta melihat kenyataan, bahwa tanpa ikut sertanya
Republik Indonesia hasil KMB tidak akan diterima oleh dunia
internasional, mendukung agar Republik harus ikut serta dalam KMB.
Di bidang militer, perhitungan Belanda
ternyata meleset, karena tidak berhasil menghancurkan TNI, sehingga
setelah TNI melakukan konsolidasi, tentara Belanda menghadapi perlawanan
sengit di seluruh Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Semakin
lama berlangsung perang gerilya, kedudukan Belanda semakin terdesak,
hingga setelah sekitar 3 bulan setelah agresi militer mereka, Belanda
praktis hanya dapat berkuasa di kota-kota, sedangkan di luar itu,
seluruhnya dikendalikan oleh pemerintahan militer Republik. P
erlawanan bersenjata Republik tidak dapat
ditutup-tutupi oleh Belanda, karena pimpinan militer dapat menyiarkan
berita -dengan cara estafet- sampai ke luar negeri; juga sebaliknya,
para gerilyawan dapat menangkap siaran radio dari luar negeri. Selain
itu, KTN (Komisi Tiga Negara) dan setelah resolusi Dewan Keamanan
tanggal 28 Januari, menjadi UNCI (Komisi PBB untuk Indonesia), selalu
memberikan laporan, baik mengenai situasi para tahanan politik, juga
mengenai aksi militer dan perlawanan bersenjata dari Republik.
Melihat agenda di Dewan Keamanan, serta
tekanan dunia internasional, penyelesaian masalah konflik Indonesia
dengan Belanda hanya tertunda, karena Belanda masih berkeras kepala dan
mencoba mengulur-ngulur waktu, untuk mempersiapkan negara-negara boneka,
yang mereka harapkan akan menjadi mayoritas serta memimpin Negara
Indonesia Serikat.
Berikut ini kronologi rangkaian peristiwa, sebelum dan sesudah 1 Maret 1949, yang dapat memberi gambaran yang jelas:
Setelah ada reaksi keras dari Dewan
Keamanan PBB dan Amerika Serikat, Perdana Menteri Belanda, Dr. Drees ke
Indonesia tanggal 4 Januari 1949, dan tinggal selama 16 hari (!), sampai
tanggal 20 Januari. Dalam pidato yang diucapkan tanggal 20 Januari,
Drees mengakui kenyataan, bahwa bagi rakyat Indonesia, Pemerintah
Republik Indonesia adalah simbol perjuangan kemerdekaan, dan di BFO
banyak pendukung Republik.
Dalam sidang Dewan Keamanan yang dimulai
pertengahan Januari, wakil Amerika Serikat secara panjang lebar
menyatakan sikap tegas pemerintahnya yang mendukung Republik Indonesia
dan melancarkan kritik tajam kepada Pemerintah Belanda. Sikap Amerika
Serikat ini diikuti dengan resolusi yang dimajukan oleh Amerika Serikat,
Cina (Taiwan), Kuba dan Norwegia, yang kemudian diterima dan disahkan
menjadi Resolusi Dewan Keamanan No. 63 tanggal 28 Januari 1949, di mana
isinya, di samping menuntut agar Belanda melepaskan semua pemimpin
Republik serta agar Belanda memegang persetujuan Renville, juga memuat
agenda yang jelas mengenai pembentukan Negara Indonesia Serikat (NIS)
seperti yang tertera dalam persetujuan Renville.
WTM, Dr. Beel, ke negeri Belanda tanggal
18 Februari, dan tinggal sampai tanggal 26 Februari. Selama di negeri
Belanda, Beel mendengar berbagai kritik tajam mengenai kebijakan
Pemerintah Hindia Belanda. Telah disadari, bahwa resolusi Dewan Keamanan
tanggal 28 Januari 1949, tidak dapat ditolak lagi oleh Belanda, maka
disusunlah strategi untuk “menyelamatkan muka” pihak Belanda. Pemerintah
Belanda bersama WTM menyusun “skenario” penyerahan kedaulatan, dengan
menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, tanpa melibatkan
UNCI (KPBBI).
Pada 19 Februari 1949, Panglima Divisi
III/GM III Kolonel Bambang Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia,
mengenai perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol Suharto, untuk
mengadakan serangan secara besar-besaran terhadap Yogyakarta, antara
tanggal 25 Februari – 1 Maret 1949. Dalam catatan harian Wakil III KSAP
Kolonel Simatupang tercatat, bahwa Bambang Sugeng malam itu datang dan
bermalam di Markas KSAP, dan merundingkan rincian serangan tersebut.
Segera setelah tiba di Jakarta tanggal 26
Februari 1949, pada saat yang bersamaan, di negeri Belanda dan di
Jakarta, dibacakan pernyataan yang disusun oleh WTM Dr. Beel bersama
Pemerintah Belanda, yang isinya adalah penyelenggaraan KMB tanggal 12
Maret 1949, di mana intinya adalah penyerahan kedaulatan dari Pemerintah
Belanda kepada Negara Indonesia Serikat, yang waktunya bahkan jauh
lebih cepat daripada yang diusulkan oleh Dewan Keamanan dalam resolusi
tanggal 28 Januari 1949, yaitu tanggal 15 Juni 1949.
Pada hari yang sama, tanggal 26 Februari,
WTM Dr. Beel mengirim utusan, Dr. Gieben, untuk menyampaikan undangan
kepada Presiden RI, Sukarno, untuk menghadiri KMB, yang akan
diselenggarakan di Den Haag mulai tanggal 12 Maret 1949. Di sini Belanda
sudah menggunakan kata “Presiden Republik Indonesia”, dan tidak lagi
hanya sebagai “pembesar prominnen.” Dua hari kemudian, tanggal 28
Februari, WTM Dr. Beel mengirim Dr. Koets ke Bangka, guna menerangkan
lebih rinci rencana Pemerintah Belanda. Namun Sukarno tetap menolak
untuk mengadakan perundingan apa pun selama berstatus sebagai tahanan.
Tanggal 27 Februari, pimpinan BFO mengirim surat kepada Presiden Sukarno
di Bangka, menyampaikan keingininan BFO untuk mengadakan pertemuan
dengan pimpinan Republik, guna membahas rencana penyelenggaraan KMB di
Den Haag. Tanggal 28 Februari, Simatupang datang di Playen, tempat
pemancar radio AURI, dan menyerahkan teks dalam bahasa Inggris, mengenai
“skenario” serangan yang akan dilaksanakan keesokan harinya, tanggal 1
Maret 1949. Teks tersebut harus dibacakan sore hari.
Tanggal 1 Maret 1949, atas instruksi
Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng,
dilancarkan serangan secara besar-besaran secara serentak -serangan
umum- terhadap tentara Belanda di seluruh wilayah Divisi III/Gubernur
Militer III (Jawa Tengah bagian barat, termasuk Yogyakarta) dan di
wilayah Divisi II/Gubernur Militer II (Jawa Tengah bagian timur,
termasuk Madiun) dilancarkan operasi militer paralel, di bawah pimpinan
Kolonel Gatot Subroto -terutama terhadap kota Solo.
Tanggal 2 dan 3 Maret 1949 (surat untuk keinginan bertemu telah dikirim oleh BFO kepada Presiden Sukarno tanggal 27 Februari 1949), contactcommissie (komisi penghubung) BFO, yang dipimpin sendiri oleh Sultan Hamid II, menemui Presiden Sukarno di Pulau Bangka, untuk membujuk Sukarno-Hatta, agar ikutserta dalam KMB tanggal 12 Maret. Namun Sukarno-Hatta tetap pada pendirian semula, yaitu kembali dahulu ke Yogyakarta, dan Pemerintah Republik dipulihkan, baru setelah itu mengadakan pembicaraan.
Tanggal 2 dan 3 Maret 1949 (surat untuk keinginan bertemu telah dikirim oleh BFO kepada Presiden Sukarno tanggal 27 Februari 1949), contactcommissie (komisi penghubung) BFO, yang dipimpin sendiri oleh Sultan Hamid II, menemui Presiden Sukarno di Pulau Bangka, untuk membujuk Sukarno-Hatta, agar ikutserta dalam KMB tanggal 12 Maret. Namun Sukarno-Hatta tetap pada pendirian semula, yaitu kembali dahulu ke Yogyakarta, dan Pemerintah Republik dipulihkan, baru setelah itu mengadakan pembicaraan.
Tanggal 4 Maret 1949, Presiden Sukarno
mengirim surat kepada WTM Beel, yang isinya alasan penolakan untuk hadir
dalam KMB tanggal 12 Maret di Den Haag. Dalam surat tersebut, Sukarno
menyampaikan hal-hal yang sebelumnya telah dikemukakan, baik kepada
utusan Beel, Gieben dan Koets, maupun kepada delegasi BFO yang dipimpin
oleh sultan Hamid II. Dengan demikian skenario Dr. Drees dan Dr. Beel
untuk menyelenggarakan KMB tanggal 12 Maret 1949 gagal.
Seperti yang telah dijadwalkan
sebelumnya, Dewan Keamanan bersidang tanggal 10 Maret 1949. Amerika
Serikat dan anggota Dewan Keamanan lain yang mendukung resolusi tanggal
28 Januari, tetap pada pendirian mereka yang keras dan tegas. Belanda
telah melunak, karena semua usaha untuk mengulur waktu tidak berhasil.
Sekarang hanya berusaha membuat kompromi untuk menyelamatkan muka.
Setelah dilaksanakan lima kali sidang dalam waktu 14 hari, akhirnya pada
23 Maret 1949, Dewan Keamanan memutuskan -melalui voting- untuk
menerima usulan Kanada (Canadian Directive) yang isinya:
a. Pelaksanaan resolusi Dewan keamanan tanggal 28 Januari, terutama kalimat 1 dan 2 bagian pelaksanaannya; dan
b. Tanggal dan syarat untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar yang diusulkan dalam Resolusi tanggal 28 Januari itu.
b. Tanggal dan syarat untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar yang diusulkan dalam Resolusi tanggal 28 Januari itu.
Belanda akhirnya tunduk dan menerima
keputusan Dewan Keamanan; dengan demikian lengkap sudah kegagalan
Belanda untuk memaksakan kehendaknya, baik kepada pimpinan Republik,
maupun kepada Dewan Keamanan dan bahkan kepada BFO -negara-negara
federal bentukan van Mook.
Dengan mencermati rangkaian peristiwa
seperti tertera di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa opini dunia
internasional, terutama anggota Dewan Keamanan, tidak tergantung dari
satu atau dua operasi militer yang dilancarkan oleh TNI terhadap
Belanda, melainkan keseluruhan perlawanan bersenjata yang dilakukan
terhadap Belanda. KTN, dan setelah tanggal 28 Januari 1949 berubah
menjadi United Nations Commission for Indonesia -UNCI- (Komisi PBB untuk
Indonesia, disingkat: KPBBI), melaporkan secara keseluruhan
perkembangan situasi masyarakat, pimpinan Republik dan keamanan di
Indonesia; KTN/KPBBI tidak melaporkan satu-persatu pertempuran yang
terjadfi di Jawa dan Sumatera.
Juga apabila meneliti seluruh peristiwa
dan kegiatan -terutama di Dewan Keamanan PBB- antara tanggal 26 Februari
sampai tanggal 10 Maret 1949, secara ekstrim dapat dikatakan di sini,
bahwa ada atau tidaknya serangan terhadap kota Yogyakarta tanggal 1
Maret 1949, agenda di Dewan Keamanan tetap berjalan sesuai jadwal yang
telah ditentukan. Manuver Drees dan Beel untuk menggelar KMB di Den Haag
tanggal 12 Maret 1949 -yang kemudian gagal- juga tidak berpengaruh
apa-apa terhadap agenda Dewan Keamanan.
Masing-masing pihak, seperti
negara-negara pendukung Republik serta beberapa negara federal di BFO,
sejak dimulainya agresi Belanda tanggal 19 Desember 1948, telah
menentukan sikap, dan selama lebih dari dua bulan sampai sidang Dewan
Keamanan tanggal 10 Maret 1949, tidak sedikit pun beranjak dari tuntutan
semula, yaitu tentara Belanda harus ditarik mundur; para pemimpin
Republik harus dikembalikan ke Yogyakarta, dan Pemerintah Republik di
Yogyakarta harus dipulihkan kembali. Peran dari negara-negara Asia yang
menyelenggarakan Konferensi Asia tanggal 20 Januari 1949 di New Delhi,
khusus untuk membahas masalah agresi milter Belanda tersebut sangat
besar.
Sampai pertengahan tahun 1948, Pemerintah
Amerika Serikat masih mendukung Belanda karena negara-negara Blok
Barat/Kapitalis, sejak dimulainya Perang Dingin (cold war) tahun 1947,
sedang merencanakan pengepungan secara ideolgis dan politis terhadap Uni
Sovyet di mana Belanda termasuk negara Blok Barat yang akan membentuk
pakta militer NATO. Namun kemudian AS merubah politiknya di Asia, dan
mendukung negara-negara yang bersedia menghancurkan kelompok komunis di
negaranya, termasuk Indonesia.
Setelah agresi Belanda tanggal 18
Desember 1948, Pemerintah Amerika Serikat sangat tegas menekan
Pemerintah Belanda untuk mematuhi resolusi Dewan Keamanan tanggal 28
Januari 1949, dan tekanan AS ini ikut menentukan sikap Belanda, karena
Belanda waktu itu sangat membutuhkan dana bantuan dalam rangka Marshall
Plan (European Recovery Programme) dari AS. Semakin lama Belanda
mengulur waktu, semakin keras tekanan terhadapnya. Beberapa negara,
terutama Amerika Serikat, bahkan mempertajam kritik serta tekanannya;
Amerika Serikat mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan kepada
Belanda; langkah ini dimotori oleh beberapa Senator Amerika Serikat,
antara lain Senator Brewster.
Keberpihakan Amerika Serikat kepada
Republik Indonesia sebenarnya bukan karena AS memang sangat demokratis.
Pada waktu itu, warga AS yang berkulit hitam masih belum memiliki hak
memilih dan dipilih, diskriminasi ras masih sangat hebat, misalnya
pemisahan sekolah untuk murid berkulit hitam, dan bahkan tempat duduk di
taman pun ada yang tidak boleh diduduki oleh warga kulit hitam. Dengan
demikian, dukungan AS kepada Indonesia tidak lepas dari politik Amerika
Serikat sendiri, yaitu agar supaya Republik Indonesia tidak jatuh ke
kubu komunis pimpinan Uni Sovyet. Dalam pandangan Uni Sovyet Belanda
adalah agresor, sehingga sama sekali tidak perlu diberikan konsesi
apapun.
Beberapa negara BFO, mengalami tekanan
yang semakin kuat dari rakyatnya, terutama Negara Pasundan dan Negara
Indonesia Timur, di mana pendukung Republik sangat kuat dan rakyat di
“negara-negara” teredbut berhasil mendesak wakil-wakil mereka, agar
dalam sidang BFO tetap mendukung ikutsertanya Republik Indonesia dalam
KMB yang diprakarsai PBB. Bahkan mereka mendukung syarat yang dimajukan
dalam resolusi Dewan Keamanan, yaitu pembebasan tanpa syarat para
pemimpin Republik, serta pemulihan Pemerintah Republik di Yogyakarta.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa
pengakuan dunia internasional atas kedaulatan Republik Indonesia dicapai
melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi, yang melibatkan seluruh
komponen anak bangsa.
Keberhasilan Republik untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda, dilandasi kekompakan tiga unsur perjuangan, yaitu:
o Bidang politik/diplomasi
o Bidang militer, didasarkan persiapan yang telah dilakukan, jauh sebelum Belanda melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1948
o Dukungan rakyat.
o Bidang militer, didasarkan persiapan yang telah dilakukan, jauh sebelum Belanda melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1948
o Dukungan rakyat.
Di bidang politik/diplomasi
Rencana Belanda untuk melakukan serangan
militer secara besar-besaran terhadap Republik, telah diperkirakan jauh
sebelum dilancarkannya agresi militer tanggal 19 Desember 1949.
Dipertimbangkan, bahwa pulau Jawa terlalu sempit untuk menjadi basis
pemerintahan/prerlawanan terhadap Belanda, oleh sebab itu ditetapkan:
- Pusat pemerintahan Republik telah disiapkan di Bukittinggi, Sumatera.
- Pusat hubungan dengan luar negeri serta diplomasi, disiapkan di New Delhi,
India.
- Pusat hubungan dengan luar negeri serta diplomasi, disiapkan di New Delhi,
India.
Sebagian besar pejabat pemerintahan sipil
di Jawa dan Sumatera, baik Gubernur, Residen, Bupati dsb. Ikut
bergerilya, sehingga kehidupan masyarakat tetap berjalan seperti biasa.
Di Sumatera, berbeda dengan di Jawa, seluruh jabatan Gubernur Militer
dipegang oleh tokoh-tokoh sipil.
Presiden Sukarno, Wakil Presiden M. Hatta
serta para pemimpin Republik lainnya, pada waktu itu bertahan pada
pendirian, tidak akan melakukan pembicaraan apalagi perundingan, selama
belum kembali ke Yogyakarta dan Pemerintah Republik dipulihkan di
Yogyakarta. Sikap ini didukung oleh Konferensi Asia yang diselenggarakan
di New Delhi; dan kemudian yang sangat menentukan adalah, dukungan
Dewan Keamanan PBB terhadap sikap tersebut. Baik Perdana Menteri Belanda
Dr. Drees, maupun Wakil Tinggi Mahkota Dr. Beel, tidak berhasil
membujuk Presiden Sukarno maupun Wakil Presiden Hatta untuk diajak
berbicara dalam taraf perundingan resmi. Mereka hanya bersedia berbicara
dalam kapasitas sebagai pribadi, dan tidak sebagai wakil Republik.
Di bidang militer
Blitz Krieg (Bahasa Jerman, artinya
perang/serangan secara kilat) yang dilancarkan tentara Belanda sejak 19
Desember 1949, tidak berhasil menghancurkan Tentara Nasional Indonesia.
Simatupang menilai, Tentara Nasional Indonesia telah berhasil
menghindari Vernichtung (Bahasa Jerman, artinya pemusnahan) yang
direncanakan oleh Letnan Jenderal Simon H. Spoor, Panglima Tertinggi
Tentara Belanda di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan, oleh karena
pimpinan TNI telah mengantisipasi akan adanya serangan tersebut beberapa
bulan sebelumnya.
Dengan demikian, persiapan yang telah
dilakukan untuk melakukan perang gerilya sangat matang, seperti tertuang
dalam Perintah Siasat I tertanggal 12 Juni 1948 (!), dikeluarkan oleh
Panglima Besar Sudirman. Persiapan di bidang militer, mulai dari
pembentukan pasukan mobil (gerak cepat) serta pasukan dan organisasi
teritorial, baik di Jawa maupun di Sumatera; mendata gedung, bangunan,
jembatan dll. yang akan dihancurkan dalam rangka bumi hangus, agar tidak
dapat digunakan oleh Belanda; telah menyiapkan basis/markas gerilya
serta memindahkan peralatan penting yang dibutuhkan untuk bergerilya.
Di beberapa daerah/Divisi, tidak sampai
satu bulan setelah Belanda memulai agresi militernya tanggal 19 Desember
1948, pasukan-pasukan TNI telah dapat melakukan konsolidasi. Bahkan
seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march, jalan kaki dari Jawa
Tengah/Yogyakarta, untuk melancarkan operasi Wingate di Jawa Barat,
sehingga basis perlawanan TNI di Jawa dan Sumatera lengkap.
Pemerintahan Militer yang dibentuk sejak
tanggal 22 Desember 1948, telah berfungsi dengan baik. Komunikasi di
antara pimpinan tertinggi militer dan sipil berjalan relatif lancar,
baik melalui kurir, maupun melalui radiogram. Tiga bulan setelah agresi
dimulai, kedudukan Tentara Nasional Indonesia di Jawa dan Sumatera telah
mantap, sebaliknya, posisi tentara Belanda semakin sulit, baik dari
segi militer maupun dari segi politisnya, karena biaya yang harus
dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda sangat besar, sedangkan setelah
Perang Dunia II, mereka membutuhkan dana tersebut untuk pembangunan di
negeri Belanda sendiri.
Dukungan rakyat
Tanpa dukungan rakyat, perang gerilya
tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik, mengingat keterbatasan
perlengkapan yang dimiliki TNI, terutama dari segi logistik/penyediaan
makanan dan minuman bagi gerilyawan. Selama perang gerilya yang
berlangsung sekitar delapan bulan, rakyat sangat membantu dalam
menyediakan makanan/minuman serta keperluan sehari-hari bagi gerilyawan,
termasuk -selain Palang Merah Indonesia- membantu dalam perawatan
prajurit yang terluka.
Oleh sebab itu, pimpinan militer
memerintahkan seluruh pasukan, dalam kehidupan di masyarakat bersama
rakyat, harus seperti “ikan dalam air.” Para gerilyawan dilarang keras
untuk mengambil apapun dari rakyat, tanpa izin. Setiap pelanggaran
peraturan tersebut, dikenakan sanksi yang sangat berat. Hal-hal tersebut
dapat dengan lancar dilaksanakan, juga berkat partisipasi pimpinan
pemerintahan sipil yang ikut bergerilya.
Selain itu harus diakui hebatnya strategi
dan taktik yang dijalankan oleh Belanda sejak Jepang menyerah kepada
Sekutu. Ketika Dr. C.O. van der Plas tiba di Jakarta tanggal 15
September 1945 dengan membonceng Admiral Sir Wilfred Patterson di kapal
HMS Cumberland, tidak ada satu pun kesatuan militer Belanda, dan tidak
ada sejengkal pun wilayah yang mereka kuasai.
Setelah Persetujuan Renville, menjelang
agresi militer II, Belanda telah menguasai seluruh wilayah Indonesia
Timur, 3/10 Sumatera dan 2/3 Jawa. Seluruhnya dicapai melalui
perundingan, baik Linggajati mau pun Renville, yang dikukuhkan dengan
tandatangan pimpinan Republik. Kehebatan Belanda tersebut berarti juga
kelemahan pihak Republik, yang selalu mengalah dan memberikan konsesi
kepada Belanda.
Perlu juga dicatat, bahwa ratusan ribu,
bahkan mungkin juga jutaan bangsa Indonesia telah mengkhianati bangsanya
sendiri, dan membantu Belanda, baik sebagai pamong praja, maupun
sebagai serdadu, untuk menjadi penguasa di Bumi Nusantara.
Belanda benar-benar memanfaatkan sifat
ketamakan dan keinginan orang-orang Indonesia untuk memperoleh jabatan,
yang kemudian membantu penjajah menindas bangsanya sendiri. Kelihatannya
semua suku bangsa di Indonesia sangat mudah untuk diadudomba dan
gampang disuap. Hal ini bukan saja selama masa penjajahan sebelum Perang
Dunia II, melainkan juga setelah bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya. Puluhan ribu orang Indonesia bersedia dibayar oleh
Belanda menjadi serdadu KNIL, untuk membunuh bangsanya sendiri.
Beberapa pejuang ’45 yang aktif mengikuti
perkembangan politik dan militer mengamati, bahwa orang-orang bayaran
Belanda tersebut – kemudian dilanjutkan oleh anak cucunya – hingga
sekarang selalu berusaha merusak tatanan kehidupan masyarakat Indonesia
dengan berbagai usaha.
Sangat menarik untuk menelusuri hubungan
keluarga/kerabat antara pengacau-pengacau di bidang ekonomi, politik,
hukum dan keamanan di Indonesia hingga tahun 2004 ini, dengan mereka
yang pernah menjadi kakitangan Belanda, baik sebelum Belanda menyerah
kepada Jepang pada 9 Maret 1942, maupun antara tahun 1945 – 1950,
setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 agustus 1945,
yang hingga kini tidak mau diakui oleh Belanda.
Bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan RI
adalah 27 Desember 1949, sebagaimana ditegaskan oleh Menlu Belanda Ben
Bot dalam wawancara di satu TV di Jakarta yang ditayangkan pada 19
Agustus 2006. (Oleh Batara R. Hutagalung)
No comments:
Post a Comment