Kekayaan Keluarga Suharto
“Empat yayasan yang dipimpin Presiden
Soeharto secara pribadi kini telah menjadi yayasan terkaya di dunia,
jauh melebihi Rockefeller Foundation dan Ford Foundation di AS”.
(Bustanul Arifin, Wakil Ketua II Yayasan Dharmais yang eks Menteri
Koperasi merangkap Kepala Bulog)
Keempat yayasan yang dimaksud adalah
Dharmais, Supersemar, Dakab, dan Amalbhakti Muslim Pancasila (Surabaya
Post , 29 Juli 1994). Namun berapa persis kekayaan yayasan-yayasan itu
tidak diungkapkannya.
Yayasan-yayasan Suharto: cakupan, dampak, dan pertanggungjawabannya
Disusun oleh: George J. Aditjondro
Data Biografi Suharto:
Nama : SoehartoTempat, tanggal lahir : Kemusuk-Yogyakarta, 8 Juni 1921
Nama Ayah : Kertosudiro
Nama Ibu : Sukirah
Nama Istri : Siti Hartinah (Ibu Tien)
Nama Putra dan Putri :
1. Siti Hardiyanti Hastuti (Mbak Tutut)
2. Sigit Harjojudanto
3. Bambang Trihatmodjo
4. Siti Hediati Herijadi
5. Hutomo Mandala Putra (Tommy)
6. Siti Hutami Endang Adiningsih
Karir Militer dan Politik :
1. Sersan Tentara KNIL
2. Komandan PETA
3. Komandan Resimen – Pangkat Mayor
4. Komandan Batalyon – Letnan Kolonel
5. Pengawal Panglima Besar Sudirman
6. Panglima Mandala (Pembebasan Irian Barat)
7. Panglima Angkatan Darat
8. Pangkopkamtib
9. Presidan RI ( Maret 1968 – 21 Mei 1998)
=============
YAYASAN-YAYASAN SUHARTO
Berikut nama sejumlah Yayasan (ditulis inisial Y.) dan lembaga terkait dengan Soeharto.
Yayasan yang diketuai Soeharto (Total 12 yayasan) :
Y. Supersemar
Y. Dharma Bhakti Sosial (Dharmais)
Y. Dana Abadi Karya Bakti (Dakab);
Y. Amal Bhakti Muslim Pancasila
Y. Serangan Umum 1 Maret
Y. Bantuan Beasiswa Jatim Piatu Tri Komando (Trikora)
Y. Dwikora
Y. Seroja
Y. Nusantara Indah
Y. Dharma Kusuma
Y. Purna Bhakti Pertiwi
Y. Dana Sejahtera Mandiri
Yayasan yang diketuai Ibu Tien Soeharto (Total 4) :Y. Dharma Bhakti Sosial (Dharmais)
Y. Dana Abadi Karya Bakti (Dakab);
Y. Amal Bhakti Muslim Pancasila
Y. Serangan Umum 1 Maret
Y. Bantuan Beasiswa Jatim Piatu Tri Komando (Trikora)
Y. Dwikora
Y. Seroja
Y. Nusantara Indah
Y. Dharma Kusuma
Y. Purna Bhakti Pertiwi
Y. Dana Sejahtera Mandiri
Y. Harapan Kita
Y. Kartika Chandra
Y. Kartika Djaja
Y. Dana Gotong Royong Kemanusiaan
Y. Kartika Chandra
Y. Kartika Djaja
Y. Dana Gotong Royong Kemanusiaan
Yayasan yang dikuasai secara
tidak langsung oleh Soeharto – melalui Bob Hasan sebagai Pres.Komisaris
PT. Astra International, Inc. (Total 4 Yayasan) :
Toyota Astra Foundation
Y.Astra Dharma Bhakti
Y.Dana Bantuan Astra
Y.Dharma Satya Nusantara
Yayasan yang dikuasai secara tidak langsung oleh Soeharto – melalui B.J. Habibie (sebagai Ketua ICMI) :Y.Astra Dharma Bhakti
Y.Dana Bantuan Astra
Y.Dharma Satya Nusantara
Y.Abdi Bangsa;
Yayasan yang dikelola oleh Anak dan Cucu Soeharto (Total 12) :
Y. Tiara Indonesia
Y. Dharma Setia
Y. Pendidikan Tinggi di Dili [Tutut]
Y. Bhakti Nusantara Indah/Yayasan Tiara Putra [Tutut - Halimah (Istri Bambang)
Y. Bimantara [Bambang Trihatmojo]
Y. Bhakti Putra Bangsa
Y. IMI (Ikatan Motoris Indonesia) Lampung
Y. Badan Intelejen ABRI (BIA) [Mayjen Prabowo]
Y. Veteran Integrasi Timor Timur
Y. Hati
Y. Pemilik Objek Wisata Tmn.Buah Mekarsari [Siti Hutami]
Y. Bunga Nusantara [Ny.Christine Arifin]
Y. Dharma Setia
Y. Pendidikan Tinggi di Dili [Tutut]
Y. Bhakti Nusantara Indah/Yayasan Tiara Putra [Tutut - Halimah (Istri Bambang)
Y. Bimantara [Bambang Trihatmojo]
Y. Bhakti Putra Bangsa
Y. IMI (Ikatan Motoris Indonesia) Lampung
Y. Badan Intelejen ABRI (BIA) [Mayjen Prabowo]
Y. Veteran Integrasi Timor Timur
Y. Hati
Y. Pemilik Objek Wisata Tmn.Buah Mekarsari [Siti Hutami]
Y. Bunga Nusantara [Ny.Christine Arifin]
Yayasan yang dikelola oleh besan dan rekanan Soeharto (Total 5 Yayasan) :
Y. Tri Guna Bhakti
Y. Pembangunan Jawa Barat
Y. 17 Agustus 1945
Y. pendidikan Triguna
Y. Balai Indah
Y. Pembangunan Jawa Barat
Y. 17 Agustus 1945
Y. pendidikan Triguna
Y. Balai Indah
Daftar perusahaan yang sahamnya terkait yayasan Soeharto [Yayasan Dakab-Dharmais-Supersemar] (Total 19) :
Majalah Gatra
Bank Duta
Bank WIndu Kentjana
Bank Umum Nasional (BUN)
Bank Bukopin
Bank Umum Tugu
Bank Muamalat Indonesia (BMI)
PT Multi Nitroma Kimia
PT Indocement Tunggal Prakarsa
PT Nusantara Ampera Bakti (Nusamba)
PT Teh Nusamba
PT Gunung Madu Plantations
PT Gula Putih Mataram
PT Werkudara Sakti
PT Wahana Wirawan Wisma Wirawan
PT Fendi Indah PT Kabelindo Murni
PT Kalhold Utama
PT Kertas Kraft Aceh
PT Kiani
Bank Duta
Bank WIndu Kentjana
Bank Umum Nasional (BUN)
Bank Bukopin
Bank Umum Tugu
Bank Muamalat Indonesia (BMI)
PT Multi Nitroma Kimia
PT Indocement Tunggal Prakarsa
PT Nusantara Ampera Bakti (Nusamba)
PT Teh Nusamba
PT Gunung Madu Plantations
PT Gula Putih Mataram
PT Werkudara Sakti
PT Wahana Wirawan Wisma Wirawan
PT Fendi Indah PT Kabelindo Murni
PT Kalhold Utama
PT Kertas Kraft Aceh
PT Kiani
Daftar perusahaan yang sahamnya terkait yayasan Soeharto [Yayasan Harapan Kita-Trikora] (Total 14)
RS Harapan Kita
PT Bogasari Flour Mills
PT Bank Windu Kencana
PT Kalhold Utama
PT Fatex Tory
PT Gula Putih Mataram
PT Gunung Madu Plantation
PT Hanurata
PT Harapan Insani
PT Kartika Chandra
PT Kartika Tama
PT Marga Bima Sakti
PT Rimba Segara Lines
PT Santi Murni Plywood
PT Bogasari Flour Mills
PT Bank Windu Kencana
PT Kalhold Utama
PT Fatex Tory
PT Gula Putih Mataram
PT Gunung Madu Plantation
PT Hanurata
PT Harapan Insani
PT Kartika Chandra
PT Kartika Tama
PT Marga Bima Sakti
PT Rimba Segara Lines
PT Santi Murni Plywood
TAKSIRAN NILAI TOTAL KEKAYAAN SUHARTO D.K.K.
Sulit ditaksir secara pasti akan tetapi
berikut beberapa taksiran yang pernah ada (padahal angka ini sudah lama,
entah berapa sekarang) :
US$ 15 Juta USD (Tesis Ph.D. Jeffrey Winters tahun 1991)
US$ 40 Milyar USD (Newsweek, 26 Januari 1998)
US$ 40 Milyar USD (Newsweek, 26 Januari 1998)
Saya yakin jika hanya Kejaksaan Agung dan
Pemerintah saja yang berjuang, masalah kekayaan Soeharto tidak akan
mendekati selesai. Ini semua butuh bantuan dari semua pihak untuk
menyelesaikannya. (sumber)
DAFTAR KEKAYAAN SUHARTO DAN KELUARGA
T O T A L : $ 73.240.000.000 ,-
(US$ +73 Billion Dollar AS atau lebih dari +73 Milyar Dolar AS)
(US$ +73 Billion Dollar AS atau lebih dari +73 Milyar Dolar AS)
KEKAYAAN ANAK SUHARTO
(Sumber: TIME, konsultasi dengan lima ahli independen.)
KEKAYAAN SUHARTO & KELUARGA DI LUAR NEGERI
Kekayaan di Inggris / Britania Raya (UK)
Lima rumah seharga antara 1-2 juta Poundsterling (1 Poundsterling = Rp 14.600) di London, yang terdiri dari:
* Rumah Sigit Harjojudanto di 8 Winington Road, East Finchley
* Rumah Sigit Harjojudanto di Hyde Park Crescent
* Rumah Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) di daerah Kensington
* Rumah Siti Hediyati Haryanti (Titiek Prabowo) di belakang Kedubes AS di Grosvernor Square
* Rumah Probosutedjo di 38A Putney Hill, Norfolk House, London SW.15/6 AQ : 3 lantai, dengan basement.
* Rumah Sigit Harjojudanto di Hyde Park Crescent
* Rumah Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) di daerah Kensington
* Rumah Siti Hediyati Haryanti (Titiek Prabowo) di belakang Kedubes AS di Grosvernor Square
* Rumah Probosutedjo di 38A Putney Hill, Norfolk House, London SW.15/6 AQ : 3 lantai, dengan basement.
(sumber-sumber: Tiara
, 5 Desember 1993: 35; Forum Keadilan , 1 Juni 1996: 47; Dewi , Juni
1996; Swa , 19 Juni – 9 Juli 1997: 85; Far Eastern Economic Review , 9
April 1998; mahasiswa Indonesia serta wartawan Inggris dan Indonesia di
London dan Jakarta).
Kekayaan di Amerika Serikat
Dua rumah Dandy N. Rukmana dan Dantu I. Rukmana (anak laki-laki dan anak perempuan Tutut) di Boston, dengan alamat:
* 60 Hubbard Road , Weston, Massachussets (MA) 02193 (sejak Juli 1995)
* 337 Bishops Forest Drive , Waltham , MA 02154 (sejak Februari 1992)
Dua rumah anak-anak Sudwikatmono di:* 337 Bishops Forest Drive , Waltham , MA 02154 (sejak Februari 1992)
* Hillcrest Drive , Beverly Hills , California ,
* D oheney Drive , Beverly Hills , California
Rumah peristirahatan keluarga Suharto di Hawaii.* D oheney Drive , Beverly Hills , California
(sumber-sumber:
Eksekutif , Maret 1990: 133-134; Tiara , 5 Desember 1993: 35; Far
Eastern Economic Review , 9 April 1998; Ottawa Citizen , 16 Mei 1998;
hasil investigasi aktivis pro-demokrasi Indonesia di AS)
Kekayaan di Laut Karibia
Rumah-rumah peristirahatan keluarga Suharto di Kepulauan Bermuda dan Cayman
(sumber: Ottawa Citizen , 16 Mei 1998; Die Welt , 23 Mei 1998)
Kekayaan di Suriname
Raden Notosoewito, adik tiri Suharto dari Desa Kemusuk, Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta, adalah ketua Yayasan Kemusuk Somenggalan. Yayasan ini adalah pemegang saham PT Mitra Usaha Sejati Abadi
(MUSA), holding company dari satu konglomerat yang punya berbagai
bidang usaha di Indonesia (Solo, Yogya, Malang, DKI Jaya), Singapura,
Hong Kong, dan Surinam.
Di negeri yang tersebut terakhir itu,
Surinam, konglomerat ini pada tahun 1993 mendapat konsesi hutan seluas
150 ribu hektar di Distrik Apura, Surinam bagian Barat. Konsesi itu
merupakan awal dari rencana MUSA untuk menanamkan modal sebesar US$ 1,5
milyar, sebagian besar untuk sektor kehutanan. Konsesi hutan ini, serta
praktek MUSA Group untuk juga memborong kayu dari daerah di luar
konsesinya sendiri, telah mendapatkan serangan dari gerakan lingkungan
di mancanegara.
Selain dampak lingkungan dan budayanya
yang sangat merusak bagi suku-suku Amerindian Maroon di Distrik Apura,
yang juga jadi sorotan adalah bagaimana konsesi itu diperoleh berkat
‘diplomasi tingkat tinggi’ antara Suharto, sebagai Ketua Gerakan
Non-Blok waktu itu, dengan para petinggi Surinam yang keturunan Jawa,
khususnya Menteri Sosial Surinam, Willy Sumita.
Diplomasi tingkat tinggi, di mana konon
uang sogokan sebanyak US$ 9 juta berpindah ke tangan para politisi,
dikenal di sana dengan istilah “The Indonesian Connection“.
Salah satu pendekatan yang dilakukan oleh
Yayasan Kemusuk Somenggalan, yang beroperasi di Paramaribo, Ibukota
Surinam dengan bantuan Kedubes RI di sana, adalah menawarkan bantuan
untuk renovasi Istana Presiden Surinam. Proyek itu ditawarkan untuk
diborong oleh anak perusahaan MUSA sendiri.
(sumber-sumber:
Kompas , 15 Maret 1993, hal. 14 [iklan ucapan selamat atas terpilihnya
Suharto dan Tri Sutrisno sebagai Presiden & Wk. Presiden RI]; EIA,
1996: 32; Skephi & IFAW, 1996; Friedland & Pura, 1996; Harrison,
1996; de Wet, 1996; Toni and Forest Monitor, 1997: 26-27, 29-30)
Kekayaan di Aotearoa (New Zealand)
Kawasan wisata buru seluas 24,000 Ha bernama Lilybank Lodge di kaki Mount Cook dan di tepi Danau Tekapo di Southern Island bernilai NZ$ 6 juta (1 NZ$ = Rp 4000), yang dibeli lisensinya dari Pemerintah NZ oleh Tommy Suharto tahun 1992.
(sumber: AFP , 20 Mei 1998; Australian Financial Review , 27 Mei 1998; hompage: http://www.lilybank. co.nz ; hasil investigasi lapangan G.J. Aditjondro ke Lilybank, bulan Februari 1998).
Kekayaan di Australia
* Kapal pesiar mewah (luxury cruiser ) milik Tommy Suharto seharga Aust$ 16 juta (1 Aust$ = Rp 5.000), yang diparkir di Cullen Bay Marina di Darwin.
* Merger antara perusahaan iklan ruang asal Melbourne, NLD, dengan kelompok Humpuss milik Tommy & Sigit,
tahun 1997, berbarengan dengan pembelian saham perusahaan iklan ruang
terbesar di Malaysia, BTABS (BT Advertising Billboard Systems),
memberikan Tommy dan partner Australianya, Michael Nettlefold, konsesi
atas billboards di sepanjang freeways di Negara Bagian Victoria,
Australia, serta sepanjang jalan-jalan toll NLD-Humpuss di Malaysia,
Filipina, Burma dan Cina.
* Perjanjian persekutuan strategis (strategic alliance)
antara Kelompok Sahid milik Keluarga Sukamdani Gitosarjono dengan
Kemayan Hotels and Leisure Ltd., yang ditandatangani bulan Desember
1997, memungkinkan Sahid ikut memiliki 50 hotel milik Park Plaza
International (Asia Pacific) di kawasan Asia-Pasifik serta 180 hotel
Park Plaza di AS. Dengan demikian, 24 hotel milik kelompok Sahid di
Indonesia dan Medinah, Arab Saudi, diganti namanya menjadi Sahid Park
Plaza Hotel.
Harap diingat bahwa
Sukamdani Gitosardjono, sejak 28 Oktober 1968 menjabat sebagai Ketua
Harian Yayasan Mangadeg Surakarta, yang didirikan dengan dalih membangun
dan mengelola kuburan keluarga besar Suharto. Jadi tidak tertutup
kemungkinan, bahwa ekspansi Kelompok Sahid ke Arab Saudi, AS, dan
Asia-Pasifik melalui Kelompok Kemayan/Park Plaza ini, juga memperluas
sumber pendapatan keluarga Suharto di berbagai negara itu.
(sumber-sumber: Tempo
, 3 Desember 1977: 8-9; Info Bisnis , Juli 1994: 9-23; Kontan , 10
Maret 1997; Australian Financial Review , 17 Desember 1997, 13 Maret
1998; Weekend Australian , 10-11 Agustus 1998; Sydney Morning Herald ,
17 Agustus 1996, 11 Desember 1997, 6 April 1998; The Suburban , Darwin,
11 Juni 1998; Port Phillip/Caulfield Leader , 22 Juni 1998;
sumber-sumber lain).
Kekayaan di Singapura
* Perusahaan tanker
migas milik Bambang Trihatmodjo dkk, Osprey Maritime, yang total
memiliki 30 tanker, dengan nilai total di atas US$ 1,5 milyar (US$ 1 =
Rp 10.000). Sejak Juni 1996, dua tanker Osprey, yakni Osprey Alyra dan
Osprey Altair, dikontrak oleh Saudi Basic Industrial Corporation untuk
mengangkut minyak dan produk-produk petrokimia dari Arab Saudi ke
mancanegara. Dengan akuisisi perusahaan tanker Norwegia yang terdaftar
di Monaco, Gotaas-Larsen, oleh Osprey Maritime yang disepakati bulan Mei
1997, perusahaan milik Bambang Trihatmodjo ini menjadi salah satu
maskapai pengangkut migas terbesar di Asia. (sumber-sumber: Economic
& Business Review Indonesia , 5 Juni 1996; Asiaweek , 23 Mei 1997:
65; LNG Current News , 13 Februari 1998).
* Perusahaan tanker
migas milik Tommy & Sigit, Humpuss Sea Transport Pte. Ltd., adalah
anak perusahaan PT Humpuss INtermoda Transport (HIT), yang pada
gilirannya adalah bagian dari Humpuss Group. Tapi dengan berbasis di
Singapura, perusahaan itu — yang berpatungan dengan maskapai Jepang,
Mitsui O.S.K. Lines — dapat mengoperasikan ke-13 tanker migas dan
LNGnya, lepas dari intervensi Pertamina pasca-Reformasi. Ini setelah
berhasil menciptakan reputasi bagi dirinya sendiri berkat kontrak jangka
panjangnya dengan Taiwan. Perusahaan Singapura ini pada gilirannya
punya anak perusahaan yang berbasis di Panama, First Topaz Inc.
(sumber-sumber: Swa , Mei 1991: 45-46; Prospek , 18 Januari 1992: 40-43;Info Bisnis , November 1994: 12; Jakarta Post , 20 November 1997).
Kekayaan di Malaysia, Filipina, Burma, dan Cina
Di ke-4 negara Asia ini, Siti Hardiyanti Rukmana masih menguasai jalan-jalan tol sebagai berikut :
* 166,34 Km jalan toll antara Wuchuan – Suixi – Xuwen di Cina;
* 83 Km Metro Manila Skyway & Expressway di Luzon, Filipina;
* 22 Km jalan toll antara Ayer Hitam dan Yong Peng Timur, yang merupakan bagian dari jalan tol Proyek Lebuhraya Utara Selatan sepanjang 512 Km yang menghubungkan Singapura, Johor, sampai ke perbatasan Muangthai di Malaysia;
* ?? Km jalan toll patungan dengan Union of Myanmar Holding Co. di Burma.
* 83 Km Metro Manila Skyway & Expressway di Luzon, Filipina;
* 22 Km jalan toll antara Ayer Hitam dan Yong Peng Timur, yang merupakan bagian dari jalan tol Proyek Lebuhraya Utara Selatan sepanjang 512 Km yang menghubungkan Singapura, Johor, sampai ke perbatasan Muangthai di Malaysia;
* ?? Km jalan toll patungan dengan Union of Myanmar Holding Co. di Burma.
(sumber-sumber:
Info Bisnis , Juni 1994: 11-12; Swa , 5-18 Juni 1997: 47; AP , 21
Februari 1997; Economic & Business Review Indonesia , 5 Maret 1997:
44).
============
BERAPA sebenarnya kekayaan keluarga
Suharto dari yayasan-yayasan yang didirikan dan dipimpin Suharto dan
keluarganya, dari saham yayasan-yayasan itu dalam berbagai konglomerat
di Indonesia dan di luar negeri? Pertanyaan ini sangat sulit dijawab
oleh “orang luar”.
Kesulitan melacak kekayaan semua yayasan
itu diperparah oleh tumpang-tindihnya kekayaan keluarga Suharto dengan
kekayaan sejumlah keluarga bisnis yang lain, misalnya tiga keluarga Liem
Sioe Liong, keluarga Eka Tjipta Widjaya, dan keluarga Bob Hasan. Tapi
jangan difikir bahwa keluarga Suharto hanya senang menggunakan
pengusaha-pengusaha keturunan Cina sebagai operator bisnisnya. Sebab
bisnis keluarga Suharto juga sangat tumpang tindih dengan bisnis dua
keluarga keturunan Arab, yakni Bakrie dan Habibie.
Keluarga Bakrie segudang kongsinya dengan keluarga Suharto, a.l. :
• Dengan Bambang dan
Sudwikatmono dalam bisnis minyak mentah Pertamina lewat Hong Kong (Pura,
1986; Toohey, 1990: 8-9; Warta Ekonomi , 30 Sept. 1996: 39-40),
• Dengan Bambang dalam perkebunan karet di Sumatra (IEFR, 1997: 4),
• Dengan Sudwikatmono dalam Bank Nusantara International (Toohey, 1990: 8)
• Dengan Nusamba di PT Freeport Indonesia (Borsuk and Solomon, 1997), dan
• Dengan Tommy dalam
bisnis eceran Goro dan Gelael (Warta Ekonomi, 4 April 1994: 29-30, 5
Juni 1995: 64-65;Gatra , 8 Juli 1995; D & R, 10 Mrei 1997: 92; Tiras
, 2 Juni 1997: 31-33).
Akhirnya, kekayaan keluarga Suharto
bertumpang-tindih pula dengan kekayaan keluarga Habibie, yang berkongsi
dengan Tommy dan Bambang dalam berbagai bisnis mereka di Pulau Batam,
termasuk ekspor ke Singapura, dan dengan Tutut dalam bisnis
telekomunikasi dan pemetaan udara (Wibisono, 1995).
PERHITUNGAN KEKAYAAN SUHARTO DENGAN METODE “ENAM KELOMPOK”
Betapapun susahnya, marilah kita coba
melacak kekayaan yayasan-yayasan Suharto. Untuk mempermudah usaha ini,
saya bagi yayasan-yayasan itu dalam enam kelompok.
1. Pertama, yayasan-yayasan yang diketuai Suharto sendiri.
2. Kedua, yayasan-yayasan yang diketuai Nyonya Tien Suharto di masa hidupnya.
3. Ketiga, yayasan-yayasan yang diketuai Suharto secara tidak langsung lewat Habibie dan Bob Hasan.
4. Keempat, yayasan-yayasan yang diketuai para anak dan menantu Suharto.
5. Kelima, yayasan-yaysan yang diketuai atau dikelola para besan Suharto beserta anak serta sanak-saudara mereka.
6. Dan keenam,
yayasan-yayasan yang diketuai atau dikelola sanak-saudara Suharto dan
Nyonya Tien Suharto dari kampung halaman mereka di Yogyakarta dan
Surakarta.
Kelompok Pertama:Dalam kelompok pertama dapat dihimpun nama dua belas yayasan, yakni:
(1) Yayasan Supersemar;
(2) Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais);
(3) Yayasan Dana Abadi Karya Bakti (Dakab);
(4) Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila;
(5) Yayasan Serangan Umum 1 Maret;
(6) Yayasan Bantuan Beasiswa Jatim Piatu Tri Komando Rakyat, disingkat Yayasan Trikora;
(7) Yayasan Dwikora;
(8) Yayasan Seroja;
(9) Yayasan Nusantara Indah;
(10) Yayasan Dharma Kusuma;
(11) Yayasan Purna Bhakti Pertiwi; dan
(12) Yayasan Dana Sejahtera Mandiri
(Vatikiotis, 1990: 63; Pangaribuan, 1995: 60-61, 70; Sinar Harapan , 16
Juni 1985;Warta Ekonomi , 29 Okt. 1990: 26-29;Gatra, 27 Jan. 1996).
Kelompok Kedua:
(13) Yayasan Harapan Kita;
(14) Yayasan Kartika Chandra;
(15) Yayasan Kartika Djaja; dan
(16) Yayasan Dana Gotong Royong
Kemanusiaan (Gitosardjono, 1974; Robison, 1990: 343-345;Warta Ekonomi ,
29 Okt. 1990: 27; Forum Keadilan , 23 Juni 1994: 36).
Kelompok Ketiga:
Dalam kelompok ketiga termasuk
yayasan-yayasan yang kini dikuasai secara tidak langsung oleh Suharto
lewat Bob Hasan sebagai presiden komisaris PT Astra International, Inc.,
yakni:
(17) Toyota Astra Foundation,
(18) Yayasan Astra Dharma Bhakti,
(19) Yayasan Dana Bantuan Astra, dan
(20) Yayasan Dharma Satya Nusantara (Shin, 1989: 346). Sedangkan lewat B.J. Habibie sebagai Ketua Umum ICMI, Suharto menguasai:
(21) Yayasan Abdi
Bangsa, pemilik PT Abdi Bangsa yang menerbitkan harian Republika dan
majalah Ummat , serta Yayasan Amal Abadi Beasiswa Orangtua Bimbing
Terpadu (ORBIT) yang diketuai oleh Nyonya Habibie (Forum Keadilan , 1
Januari 1996: 107).
Kelompok Keempat:Dalam kelompok keempat termasuk
(22) Yayasan Tiara Indonesia,
(23) Yayasan Dharma Setia, dan
(24) sebuah yayasan
pendidikan tinggi di Dili yang diketuai Tutut (InfoBisnis , Juni 1994:
13; Republika , 20 April 1995; Matebean, 12 Jan. 1998);
(25) Yayasan Bhakti
Nusantara Indah, alias Yayasan Tiara Putra, yang dipimpin Tutut bersama
iparnya, Halimah Bambang Trihatmojo (Indonesian Business Weekly , 25
Nov. 1994);
(26) Yayasan Bimantara yang diketuai Bambang Trihatmojo sendiri;
(27) Yayasan Bhakti Putra Bangsa;
(28) Yayasan IMI (Ikatan Motoris Indonesia) Lampung;
(29) Yayasan Badan
Intelejen ABRI (BIA), yang dikuasai oleh Mayor Jenderal Prabowo Subianto
bersama tangan kanannya, Mayor Jenderal Jacky Anwar Makarim, yang ikut
mengelola sistem perparkiran di Jakarta (Gatra, 4 Februari 1995);
(30) Yayasan Veteran Integrasi Timor Timur;
(31) Yayasan Hati, yang
dibentuk sejumlah “partisan” (orang-orang Timor Leste dan Timor Barat)
yang membantu Kopassus merebut Timor Leste di tahun 1975-1976;
(32) yayasan pemilik
obyek wisata Taman Buah Mekarsari (TMB) seluas 260 hektar di sepanjang
koridor Cibubur-Cianjur, yang dikelola oleh Siti Hutami Endang
Adiningsih, alias Mamiek Suharto (Swa, 13-27 Maret 1997: 99); dan
(33) Yayasan Bunga
Nusantara, yang didukung oleh Nyonya Christine Arifin, isteri bekas
Kabulog Bustanil Arifin yang masih kerabat Nyonya Tien Suharto,
pengelola Taman Bunga Nusantara (TBN) seluas 35 hektar di Kabupaten
Cianjur (Tiras , 23 Nov. 1995: 15-16), yang kini juga dikelola oleh
Mamiek Suharto. Yayasan Veteran Integrasi Timor Timur, resminya dibentuk
oleh Gubernur “boneka” Timor Timur, Jose Abilio Osorio-Soares, sekitar
bulan September 1994.
Namun
yayasan itu telah dimanfaatkan untuk promosi bisnis keluarga Suharto di
Timor Timur. Hanya dalam tempo 10 menit, Nyonya Siti Hediati Prabowo,
alias Titiek Prabowo, berhasil mengumpulkan sumbangan Rp 210 juta bagi
yayasan itu.
Kesempatannya adalah Lokakarya dan Temu
Usaha se-Nusa Tenggara dan Tim-Tim, pertengahan September 1994, di Dili.
Sumbangan para pengusaha itu menanggapi himbauan Titiek dalam jamuan
makan malam di rumah gubernur, konon untuk menghargai perjuangan para
keluarga veteran pejuang “integrasi”.
Penyumbangnya: Titiek
Prabowo sendiri (Rp 50 juta); wakil perusahaan kayu & ikan Jayanti
Group, di mana paman Titiek, Sudwikatmono menjadi presiden komisaris (Rp
50 juta); serta wakil-wakil Sucofindo, Texmaco, Modern Group, dan lima
perusahaan lain (Jawa Pos , 14 Sept, 1994). Ternyata, dari semua
penyumbang di malam dana itu hanya Titiek dengan kelompok Maharaninya
dan Marimutu Sinivasan dengan kelompok Texmaconya yang sudah menanam
modal di bumi Loro Sae.
Keduanya berkongsi dengan Yayasan Hati
membangun pabrik tenunan Timor, PT Dilitex, bernilai US$ 575 juta.
Yayasan Hati, walaupun secara resmi dipimpin Gil Alves, menantu sang
gubernur boneka, sesungguhnya merupakan alat bisnis Titiek Prabowo juga.
Selain di pabrik tekstil PT Dilitex, puteri kedua Presiden Suharto itu juga partner pabrik garam Yayasan Hati di Manatuto.
Kedua pabrik baru itu diresmikan Titiek
di Dili, bulan Mei tahun lalu (Economic & Business Review Indonesia
[EBRI ], 5 Febr. 1997: 34; Aditjondro, 1997a).
Yayasan-yayasan yang diketuai Tutut,
Bambang, dan istrinya, walaupun resminya melakukan kegiatan sosial,
sebenarnya juga merupakan alat bisnis bagi keluarga Suharto, sambil
sekaligus menunjang politik luar negerinya.
Yayasan Tiara misalnya, telah digunakan
oleh Tutut untuk mencoba menggemboskan gerakan perlawanan siswa-siswa
Timor Leste dengan cara merekrut mereka menjadi buruh di pabrik-pabrik,
yang dekat atau ikut dimiliki oleh keluarga Suharto, seperti pabrik
semen Indocement di Cibinong, pabrik tekstil Kanindotex di Bawen (yang
kini telah diambil-alih Bambang Trihatmojo), pabrik tekstil Sritex di
Sukoharjo, dan kilang kayu Barito Pacific di Kalimantan (Aditjondro,
1994: 48).
Makanya tidak mengherankan bahwa PT
Sritex, yang anak perusahaannya juga melibatkan adik Ketua Golkar,
Harmoko, berhasil menembus embargo Portugal terhadap barang-barang
Indonesia dengan mengekspor 15 ton benang kapas ke pabrik tekstil milik
Manuel Macedo, teman bisnis Tutut di Portugal, yang juga menjadi lobbyist utama bagi pemerintah Indonesia di Portugal dan bekas jajahannya di Afrika (Santos dan Naia, 1997).
Pembongkaran produk Sritex di pelabuhan Leixoes, menggegerkan pers Portugal serta para aktivis Timor Leste di sana.
Tapi karena ekspor Sritex itu resminya transaksi bisnis biasa, pemerintah Portugal tidak dapat melarang.
Berkat “pijakannya” di Portugal itu, awal
tahun lalu Sritex berhasil memenangkan order 1/2 juta seragam tentara
Jerman, senilai US$ 10,4 juta, atau Rp 25 milyar waktu itu (Aditjondro,
1994: 49; Far Eastern Economic Review, 13 Maret 1997: 63).
Kegiatan Yayasan Bimantara resminya juga
bersifat nirlaba, tapi ujung-ujungnya juga berbau bisnis merangkap
politik. Berkat promosi kain Timor dalam busana modern rancangan Prajudi
Admodirdjo yang disponsori Yayasan Bimantara (Kompas , 11 Sept. & 4
Des. 1994), produk PT Dilitex mendapatkan popularitas secara nasional,
bahkan internasional.
Selain Yayasan Tiara, Tutut berniat
mendirikan sebuah yayasan untuk mengelola sebuah perguruan tinggi di
Timor Timor. Untuk itu ia telah memilih Kepala Desa “boneka” Komoro,
Vitorino, seorang mauhu (informan), sebagai ketua yayasannya.
Menurut kantor berita alternatif,
Matebean , 12 Januari lalu, faktor bisnis melatarbelakangi maksud
pembangunan perguruan tinggi itu, yaitu mendidik tenaga ahli untuk
mmendukung perluasan bisnis keluarga Suharto di Timor Leste. Dugaan
Matebean cukup berdasar.
Setelah
jatuhnya Jenderal Benny Murdani dari puncak kekuasaannya di ABRI dan
munculnya Mayor Jenderal Prabowo Subianto sebagai penjaga keamanan
keluarga Suharto, bisnis anak-anak Suharto mulai berkembang pesat di
koloni Indonesia ini.
Tutut sendiri berhasil menyingkirkan
Robby Sumampouw, cukong peliharaan Benny Murdani, menjadi “raja kopi” di
Timor Leste, dengan pasaran ekspor di Amerika dan Australia.
Dia juga telah mendapat konsesi batu
pualam di Manatuto, yang tadinya juga dikuasai oleh Robby Sumampouw.
Kerabat Tutut yang lain sudah mulai merambah Timor Leste.
Pamannya, Probosutejo, telah menyatakan
minatnya membuka perkebunan kopi. Sedangkan sang adik, Tommy, yang
paling tidak suka melihat suatu kesempatan emas berlalu, berhasil
membujuk ayahnya untuk memperoleh konsesi perkebunan tebu seluas 30 ribu
hektar di pantai selatan koloni itu.
Perkebunan yang sebagian besar akan
menggunakan buruh tani dari Jawa direncanakan akan menghidupi pabrik
gula PT Putra Unggul Sejati di Manufahi, senilai Rp 500 milyar.
Belakangan ada perubahan: perkebunan dan
pabrik gula Tommy dipindahkan ke Lospalos, 320 km sebelah timur Dili,
sedangkan suami Tutut, Indra Rukmana, lewat PT Tridant, mendapatkan
konsesi perkebunan tebu dan pabrik gula di Manufahi (Aditjondro, 1996a,
1997; Jawa Pos , 12 Nov. 1997;Matebean , 12 Jan. 1998).
Dari
rencana-rencana investasi keluarga besar Suharto itu, keinginan Tutut
untuk mendirikan satu perguruan tinggi di sana cukup masuk akal. Namun
di balik keinginan mendapatkan tenaga kerja berpendidikan tinggi,
rencana itu juga berbau politis: perguruan tinggi swasta yang sudah ada,
Untim, sudah berkembang menjadi basis perlawanan pemuda-pemudi Maubere
terhadap pendudukan Indonesia, menyusul adik-adik mereka di SLTA.
Berarti, setelah gagal menggemboskan perlawanan para siswa SLTA, Tutut kini berusaha merambah ke benak para lulusan SLTA.
Yayasan Bhakti Putra Bangsa dan Yayasan
IMI Lampung lebih berhubungan dengan hobi-hobi Tommy yang menghasilkan
uang yaitu golf dan balap mobil. Yayasan Bhakti Putra Bangsa yang
diketuai Tommy menyelenggarakan pertandingan golf di Palm Hill Country
Club Sentul, dekat Bogor, Jawa Barat, bulan Maret 1995 (iklan Bisnis
Maritim, 30 Jan.-5 Febr. 1995).
Dan kita sudah sama-sama tahu, bahwa golf
di Indonesia lebih merupakan sarana negosiasi bisnis ketimbang olahraga
yang serius. Yayasan IMI Lampung, walaupun tidak diketuai Tommy secara
langsung, merupakan instrumen untuk memperluas hobi merangkap bisnis
balap mobilnya dari Sentul ke Lampung. Tarif ganti rugi tanah rakyat
seluas 157 hektar di Lampung ditentukan langsung oleh Tommy selaku
investor merangkap pengurus pusat IMI (Bola, Minggu I Desember 1992:
4;Kompas, 15 & 27 Juli 1996).
Kelompok Kelima:Dalam kelompok kelima tercatat:
(34) Yayasan Tri Guna Bhakti,
(35) Yayasan Pembangunan Jawa Barat,
(36) Yayasan 17 Agustus 1945, dan
(37) Yayasan Pendidikan
Triguna yang ke-empatnya berafiliasi ke mendiang Eddi Kowara Adiwinata,
ayah mertua Tutut (iklan dukacita Suara Merdeka, 23 Januari 1995 dan
Jawa Pos , 7 Maret 1996); serta
(38) Yayasan Balai
Indah yang diketuai Hashim Djojohadikusumo, yang dibentuk untuk
menggalakkan ekspor barang dan jasa Indonesia ke negara-negara bekas Uni
Soviet. Seperti halnya Yayasan Tiara, kegiatan Yayasan Balai Indah juga
memadu agenda politis dengan agenda ekonomis: sambil berdagang di Asia
Barat dan Eropa, berusaha menetralisasi para pendukung Timor Leste di
arena internasional.
Yayasan Balai Indah
yang sehari-hari dikelola isteri Dubes RI di Moskow, Erna Witoelar, ikut
melicinkan jalan barter teh Indonesia dengan kapas Uzbekistan. Kapas
itu selanjutnya dijual ke Portugal, di mana pembelinya membayar tunai
sebesar US$ 17 juta (Gatra , 25 April, 6 Mei 1995).
Perdagangan barter
Hashim dengan Uzbekistan dilakukan bersama-sama kelompok Texmaco,
kelompok Bakrie, dan perusahaan keluarga Ibnu Sutowo, PT Nugra Santana.
Walhasil, kelompok Texmaco kemudian maju ke depan, menggandeng raksasa
kimia Jerman, Hoechst, untuk membangun lima pabrik serat polyester
(bahan baku tekstil sintetis) di Eropa.
Salah satu pabrik itu
adalah anak perusahaan Hoechst di Portugal (EBRI, 12 Agustus 1995: 23;
Jakarta Post , 14 Juli 1997). Karuan saja pers dan polisi Portugal geger
sekali lagi, karena Texmaco, yang muncul dengan nama Multikarsa
Investment, merupakan perusahaan kedua yang tampaknya akan berhasil
menembus embargo perdagangan Indonesia – Portugal.
Selain karena alasan
politis, Partai Hijau Portugal (Partido Ecologista Os Verdes ) dan
asosiasi pedagang kecil dan menengah secara keras menentang rencana
pembangunan pabrik kongsi Multikarsa-Hoechst di Portugal itu. Kedua
perusahaan Indonesia yang berada di ujung tombak usaha mendobrak embargo
barang-barang Indonesia di Portugal, punya hubungan erat dengan
keluarga Suharto.
Sritex, yang melibatkan
seorang adik Harmoko dalam beberapa anak perusahaannya, menurut
kalangan perbankan di Solo juga dekat dengan Nyonya Tien Suharto (alm.).
Sedangkan Texmaco,
sebelum bisnis bersama Titiek Prabowo di Timor Leste dan bersama ipar
Titiek, Hashim Djojohadikusumo di Uzbekistan, Texmaco jugalah yang
menolong Titiek membeli banknya, Bank Putera Sukapura, ketika sedang
anjlog. Anjloknya bisnis bekas bank milik Titiek itu a.l. karena
kegagalan usaha investasinya di bidang real estate di Afrika Selatan
bersama satu yayasan milik ANC (Aditjondro, 1996b).
Kelompok Keenam:Akhirnya, dalam kelompok keenam termasuk:
(39) Yayasan Mangadeg, yang dikelola sanak saudara dan orang dekat Nyonya Tien Suharto yang berasal dari Solo; dan
(40) Yayasan Kemusuk
Somenggalan yang dikelola sanak-saudara Suharto di Dukuh Kemusuk, Desa
Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). Yayasan Mangadeg resminya didirikan tanggal 28 Oktober
1969 untuk membangun dan mengelola Astana Giribangun, kuburan
orang-orang yang mau dianggap keturunan keraton Mangkunegaran, walaupun
sesungguhnya tidak berdarah bangsawan. Dengan kata lain, dengan
dikuburkan di situ, keluarganya seolah-olah dapat “membeli” darah
bangsawan itu. Itulah mausoleum di mana Nyonya Tien Suharto, seorang
adiknya, dan kedua orangtuanya dikuburkan.
Menurut akte pendiriannya, Suharto dan
Nyonya Tien Suharto adalah pelindung dan ketua umum yayasan itu,
sedangkan Mangkunagoro VIII ketua kehormatannya. Ketua hariannya waktu
itu adalah usahawan asal Solo, Sukamdani Sahid Gitosarjono, yang ikut
menyumbangkan Rp 30 juta untuk modal pertama yayasan itu. “Saya lakukan
hal itu dengan harapan mendapat imbalan pahala berlimpah. Nyatanya ada
berkahnya — usaha-usaha saya jadi lancar,” jelas Sukamdani pada Tempo , 3
Desember 1977, hal. 8.
Dalam dasawarsa 1970-an, ketika masih
menjadi wartawan Tempo , saya mendengar bahwa para pemegang HPH harus
menyetor sejumlah dana ke rekening Dirjen Kehutanan Sujarwo, yang
merangkap Bendahara Yayasan Mangadeg. Menurut Sukamdani Gitosarjono,
seluruh biaya pembangunan kuburan itu, yang dikerjakan secara padat
karya selama dua tahun (1974-1976) dengan mengerahkan 700 orang penduduk
desa setempat, “cuma” menelan biaya Rp 437,8 juta. Begitu katanya dalam
konferensi pers, akhir November 1977, menanggapi kritik mahasiswa dan
desas-desus bahwa kuburan itu menelan biaya Rp 4 milyar (Tempo, 3
Desember 1977: 8-9).
Selain memeras para pemegang HPH, sampai
akhir 1980-an Yayasan Mangadeg juga punya bisnis lain, lewat Bernard
Ibnu Hardoyo, adik kandung Nyonya Tien Suharto. Atas nama Yayasan
Mangadeg, Ibnu Hardoyo dan ayahnya, Soemoharjomo (Soemoharmanto),
mendirikan PT Gunung Ngadeg Jaya pada tanggal 8 Juni 1971, yang memiliki
30% saham pabrik semen PT Semen Nusantara di Cilacap.
Selain itu, lewat PT Gunung Ngadeg Jaya,
Mangadeg masih punya sejumlah saham dalam pabrik kabel Gajah Tunggal, PT
Kabelmetal Indonesia, punya tiga perusahaan kongsi dengan kelompok
Miwon dari Korea, dan punya saham dalam PT Pasopati, satu holding
company yang dioperasikan Bob Hasan. PT ini menguasai sejumlah saham
perusahaan pelayaran PT Karana Lines dan PT Garsa Line, perusahaan
pengangkut kayu kongsi Karana Lines dengan sejumlah investor Jepang.
Kemudian, lewat Sukamdani dan
Soemoharjomo, Mangadeg juga mendapat pemasukan dari kelompok hotel
Sahid, hotel Kartika Chandra, dan konsesi hutan PT Sahid Timber. Belum
lagi pemasukan Mangadeg dari peternakan sapi “3-S” seluas 600 hektar di
Desa Tapos, Kecamatan Cibedug, dekat Bogor, yang dikelola oleh Sigit
Harjojudanto, a/n PT Rejo Sari Bumi. Ayah Nyonya Tien Soeharto,
Soemoharmanto, tercatat sebagai direktur perusahaan yang dibentuk
tanggal 25 November 1971.
Selanjutnya, PT Rejo Sari Bumi juga
menjadi pemegang saham perkebunan tebu PT Gunung Madu Plantations dan
pabrik gula PT Gula Putih Mataram, di Lampung, bersama-sama Yayasan
Dakab, Salim Group, dan raja gula Malaysia, Robert Kuok. Bisnis yang
manis itu kini dipegang oleh Bambang lewat kelompok Bimantara
(Gitosardjono, 1974; Akhmadi, 1981: 74, 115, 173-176; Pura dan Jones,
1986a; Robison, 1990: 260-261, 343-347, 362; Shin, 1989: 250-251;Warta
Ekonomi, 22 Juni 1992: 16, 7 Nov. 1994: 17; Prospek , 22 Jan. 1994: 27;
Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 21, 3-16 Juli 1997:87).
Besarnya dana mausoleum Mangadeg serta
pembangunan peternakan Tapos seluas 600 hektar, yang tanahnya diambil
dari petani setempat, tanpa ganti rugi wajar, dikecam secara keras oleh
mahasiswa ITB dalam Buku Putih 1978. Dokumen itu serta penolakan
terhadap pencalonan kembali Suharto sebagai Presiden mengakibatkan Ketua
Dewan Mahasiswa ITB, Heri Akhmadi, diseret ke pengadilan (Akhmadi,
1981: 74).
Kurang lebih bersamaan dengan itu,
berlangsung pengadilan Sawito Kartowibowo yang juga menyerukan agar
Suharto meletakkan jabatan. Tokoh kebatinan itu dalam pembelaannya juga
mengecam pembangunan mausoleum dan peternakan keluarga Suharto itu
(Bourchier, 1984: 55). Dengan pemenjaraan kedua pembangkang itu,
tamatlah perdebatan tentang mausoleum dan peternakan raksasa itu.
Padahal, asal-usul peternakan Tapos itu
sendiri, serta cara pengembangannya, penuh dengan contoh manipulasi
kekayaan Negara (baca: kekayaan rakyat Indonesia). Pertama-tama, ternak
yang menjadi modal peternakan Tapos, diperoleh Sigit Harjojudanto, dari
perjalanan mengikuti ayahnya ke Townsville, Queensland, Australia, di
awal April 1975, di mana sang ayah bersekongkol dengan Perdana Menteri
Australia, Gough Whitlam, untuk penentuan nasib bangsa Maubere.
Pada saat itu, sejumlah ternak di-booking
oleh putera sulung presiden itu. Kemudian, sesudah kapal-kapal
pendaratan TNI/AL selesai mendrop pasukan penyerbu di Timor Leste, bulan
Desember 1975, kapal-kapal itu ditugaskan melanjutkan pelayarannya ke
Townsville, guna menjemput ternak-ternak itu.
Alasan Operasi Andhini ini
adalah untuk mengangkut ternak ke Sumba dan Sumbawa guna pusat-pusat
pembibitan ternak rakyat yang akan dibuka oleh pemerintah. Ternyata,
sebagian ternak yang dibeli dengan uang rakyat, dibelokkan ke ranch
keluarga Suharto di Tapos itu. Dari Tapos, dana bantuan Presiden
digunakan untuk “menyumbang” bibit-bibit ternak ke propinsi-propinsi,
guna memperbaiki mutu ternak rakyat.
Ini, sekali lagi merupakan “proyek” bagi
Sigit. PT Bayu Air, perusahaan EMKU (Ekspedisi Muatan Kapal Udara)-nya
dikontrak untuk menerbangkan sapi-sapi Australia itu ke daerah-daerah
yang jauh dari Pusat itu. Namun Bayu Air, belum punya pesawat sendiri.
Ini bukan masalah, bagi putera sulung seorang presiden seperti Suharto.
TNI/AU diminta “menyumbangkan” sebagian pesawat Herculesnya untuk
mengangkut ternak bantuan Presiden dari Tapos itu. Logo bintang lima
khas TNI/AU, ditempeli logo PT Bayu Air.
Itu hanya salah satu fasilitas negara
yang dinikmati perusahaan milik Sigit itu, di samping menjadi calo
pesawat Lockheed AS, serta menikmati pungutan wajib 5% dari seluruh
barang muatan udara yang diterbangkan masuk dan ke luar Indonesia,
berdasarkan SK Dirjen Perhubungan Udara (Robison, 1990: 344, 347;
Vriens, 1995: 49-50; Aditjondro, 1998).
Begitulah cerita seputar sapi-sapi
Australia di Tapos, yang pantang untuk diungkapkan oleh pers Indonesia,
kalau tidak ingin bernasib sama seperti Heri Akhmadi dan Sawito
Kartowibowo. Maka amanlah Suharto untuk sering-sering menjamu
tamu-tamunya di Tapos, termasuk “menegur” sekitar 30 juragan konglomerat
keturunan Cina, untuk menyumbang sebagian sahamnya kepada koperasi,
tanggal 4 Maret 1990.
Baru empat tahun kemudian, Suharto
tiba-tiba menangkis apa yang dikatakannya tudingan berbagai pihak, bahwa
di ranch keluarga presiden itu ada barang-barang mewah seperti istana,
kolam renang, lapangan golf, bahkan helipad, Makanya ia mengundang para
pejabat lembaga-lembaga PBB di Jakarta ke Tapos, pada hari Sabtu di
akhir bulan Oktober, untuk membuktikan bahwa di peternakan itu “tidak
ada apa-apanya” (Warta Ekonomi , 7 Nov. 1994: 17).
Tampaknya sang presiden menganggap bahwa
memiliki ranch seluas 600 hektar di Pulau Jawa, di mana pada tahun 1983
sebanyak 54% keluarga tani hanya memiliki 0,5 hektar tanah (Suhendar dan
Kasim, 1996: 111), bukan merupakan kemewahan. Karuan saja bahwa anak
bungsu sang presiden pun kemudian mengganggap bahwa kebun buahnya yang
seluas 260 hektar di tepi koridor Cibubur-Cianjur, juga bukan suatu
kemewahan.
Awal 1993, saham Mangadeg di pabrik semen
Cilacap itu dibeli oleh Hashim Djojohadikusumo dan iparnya, Titiek
Prabowo. Kendati demikian, saham-saham Gunung Ngadeg Jaya yang tersisa,
lewat usaha-usaha yang “halal”, masih cukup menumpuk rezeki Mangadeg.
Laba bersih PT Kabelmetal tahun lalu sudah mencapai Rp 6 milyar. Dalam
tahun yang sama, laba bersih PT Hotel Sahid Jaya International sudah
mencapai Rp 10,4 milyar.
Ekspansi itu masih jalan terus, tak
terpengaruh oleh krisis moneter di Indonesia. Terbukti bahwa di
pertengahan Desember lalu, ke-24 hotel Sahid di Indonesia dan Arab
Saudi, yang ditaksir bernilai 1 milyar dollar Australia, berhasil
membangun aliansi strategis dengan maskapai perhotelan AS, Park Plaza,
dengan langkah pertama merangkul hotel-hotel Kemayan di Australia.
Sementara itu masih ada sejumlah saham PT Pasopati dalam perusahaan
pelayaran PT Karana Lines berikut anak perusahaannya, PT Garsa Line yang
khusus bergerak di bidang angkutan kayu. Karana Lines ini, tergolong
perusahaan pelayaran top di Indonesia, dengan armada berbobot mati
21.539 ton (IEFR, 1997: 232, 524; Info-Bisnis , Edisi Khusus 1994: 82;
Australian Financial Review , 17 Des. 1997).
Seperti halnya Mangadeg, Yayasan Kemusuk
Somenggalan juga berurusan dengan hutan, namun bukan di negeri sendiri.
Yayasan yang diketuai R. Notosoewito ini membawahi kelompok MUSA (Mitra
Usaha Sejati Abadi) yang menguasai 150.000-Ha konsesi hutan di Surinam
dan sedang berusaha memperlebar sayap ke Guyana dan Brazil ( Skephi dan
IFAW, 1996).
Tiga besar pertama: Dari
semua yayasan itu, yang secara finansial paling kuat adalah trio
Yayasan Dakab, Dharmais, dan Supersemar, yang sering bergandeng-tangan
dalam penguasaan saham sejumlah perusahaan raksasa.
Sedangkan dua yayasan milik keluarga
Suharto yang juga cukup besar nilai sahamnya dalam perusahaan-perusahaan
raksasa dan juga sering bergandeng-tangan, adalah Trikora dan Harapan
Kita.
Berikut ini daftar perusahaan yang
sahamnya ikut dimiliki trio Dakab, Dharmais, dan Supersemar,
sendiri-sendiri atau bersama-sama (Vatikiotis, 1990: 62;Warta Ekonomi ,
29 Okt. 1990: 26-27; Forum Keadilan, 17 Juli 1995: 90-91;Swa, 30 Jan.-19
Febr. 1997: 16, 3-16 Juli 1997: 87; Suara Independen , Sept. 1997):
- Majalah Gatra
- Bank Duta
- Bank Windu Kentjana,
- Bank Umum Nasional (BUN),
- Bank Bukopin,
- Bank Umum Tugu,
- Bank Muamalat Indonesia (BMI),
- PT Multi Nitroma Kimia,
- PT Indocement Tunggal Prakarsa,
- PT Nusantara Ampera Bakti (Nusamba),
- PT Teh Nusamba,
- PT Gunung Madu Plantations,
- PT Gula Putih Mataram,
- PT Werkudara Sakti,
- PT Wahana Wirawan,
- Wisma Wirawan,
- PT Fendi Indah,
- PT Kabelindo Murni,
- PT Kalhold Utama,
- PT Kertas Kraft Aceh,
- PT Kiani Lestari,
- PT Kiani Murni,
- PT Sagatrade Murni.
Itu baru daftar minimal. Sebab lewat PT
Nusamba di bawah pimpinan Bob Hasan, trio yayasan itu menguasai sejumlah
saham dalam sekitar 140 perusahaan yang kekayaannya ditaksir sebesar
US$ 5 milyar (Business Week , 17 Febr. 1997: 16). Yang langsung dikelola
Bob Hasan sekitar 30 perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan,
kehutanan, perkebunan teh, pertambangan, pabrik kertas kemasan, produk
metal, dan panas bumi (Swa , 30 Jan.-19 Febr. 1997: 24).
Kemudian, ada kongsi antara Bob Hasan
dengan dua maskapai penerbangan yang dikuasai anak-anak Suharto. Dalam
Sempati Airlines yang awalnya dikuasai Yayasan Kartika Eka Paksi milik
TNI/AD dan kini dikuasai Tommy, Nusamba menguasai 20% saham. Sedangkan
dalam Mandala Airlines yang awalnya dikuasai Yayasan Dharma Putera
Kostrad dan kini dikuasai Sigit, Nusamba menguasai 45% saham
(Indocommercial, No. 122, 26 Jan. 1995: 2; Swa , 30 Jan.-19 Febr. 1997:
24).
Termasuk dalam kelompok Nusamba pula
adalah kelompok Tugu Pratama, hasil pembelian 35% saham anak perusahaan
Pertamina, Tugu Hong Kong, oleh Nusamba. Sekarang, kelompok itu sudah
mencakup 25 perusahaan, hasil diversifikasi dan kongsi dengan
perusahaan-perusahaan lain di Indonesia dan mancanegara. Kelompok ini
memonopoli hampir seluruh asuransi ekspor kayu lapis yang dikuasai Bob
Hasan, asuransi bisnis pertambangan dan penerbangan Pertamina, asuransi
hotel-hotel kelompok Sahid, sebagian asuransi Garuda, dan seluruh
asuransi satelit-satelit Palapa yang dikuasai Bambang Trihatmojo.
Bambang sendiri duduk dalam Dewan
Komisaris Tugu Jasatama Reasuransi Indonesia, anak perusahaan Tugu
Pratama. Makanya tak mengherankan kalau PT Tugu Pratama Indonesia, induk
kelompok Tugu, tahun 1996 meraih laba bersih Rp 90 milyar (Rustam,
1996/1997: 172; Eksekutif, Febr. 1994: 16-25;Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997:
23-24, 30, 36-40).
Belakangan ini, bendera Nusamba semakin
berkibar setelah merebut 4,7% saham PT Freeport Indonesia, Inc. serta 5 %
saham PT Astra International. Jadi dapat dibayangkan keuntungan yang
bakal mengalir ke kas ketiga yayasan Suharto itu dari tambang
tembaga-emas-perak terbesar di Indonesia bernilai US$ 3 milyar, serta
dari kelompok otomotif terbesar di Indonesia yang kekayaannya bernilai
US$ 5,2 milyar (IEFR, 1997: 254; Wall Street Journal , 31 Jan. 1997;
Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 15, 22; Business Week , 17 Febr. 1997:
16-17; Asiaweek , 7 Maret 1997: 54-56).
Selain Bank Umum Tugu (kelompok Tugu
Pratama), Nusamba juga menguasai empat bank swasta lain, yakni Bank
Duta, Bank Umum Nasional (BUN), Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin),
dan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Kiprah Bob Hasan di perbankan ini
dimulai tahun 1989, ketika Bob Hasan “dipercayai” Suharto untuk
mengambilalih pimpinan Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin) dari
kelompok Bustanil Arifin.
Sesudah kelompok Bob Hasan bercokol di
Bukopin, tanggal 29 Juni 1993 diubahlah badan hukum bank itu dari
koperasi menjadi perseroan terbatas (PT). Ini sempat menggugah
peringatan Wakil Presiden Tri Sutrisno, yang menghimbau agar PT baru itu
tidak meninggalkan prinsip-prinsip koperasi. Maklumlah, Bukopin
didirikan tanggal 10 Juli 1970 oleh delapan induk koperasi — termasuk
Inkopad, Inkopal, Inkopol, dan GKBI — serta Yayasan Bulog.
Yang terakhir ini kemudian lebih
berperan, karena Ketua Bulog, Bustanil Arifin, juga merangkap sebagai
Menteri Koperasi, dan karena itu diangkat menjadi Presiden Komisaris
Bukopin. Peringatan Tri Sutrisno, yang juga digarisbawahi pakar
koperasi, Thoby Muthis, masuk akal. Sebab di bawah Muchtar Mandala,
direktur baru anak buah Bob Hasan, Bukopin sudah bergeser dari akar-akar
koperasinya, dan sangat bergantung pada Bulog, perusahaan keluarga
KaBulog, Bustanil Arifin, serta kelompok Salim.
Ini terbukti dari surat Muchtar Mandala
tertanggal 28 Februari 1991 kepada Kepala Bulog yang bocor ke pers.
Dalam surat itu Mandala minta pungutan Rp 1 untuk setiap kilogram padi
yang dijual Bulog dan didepositokan di Bukopin, dinaikkan.
Selain itu, ia juga minta tolong Bustanil
menghubungkan Bukopin dengan BPPC yang baru berdirikan. Barangkali
untuk membalas jasa Bukopin yang telah memberikan pinjaman Rp 18,5
milyar kepada PT Indocitra Finance, perusahaan leasing milik keluarga
Arifin, Kabulog segera meneruskan surat itu kepada Gubernur Bank
Sentral, Adrianus Mooy, dengan rekomendasinya sebagai Menteri Koperasi
agar permintaan Bukopin diluluskan.
Tapi Mooy menolak, sehingga Arifin
kemudian minta tolong Liem Sioe Liong menyuntikkan dana ke bank koperasi
itu. Liem pun segera mendepositokan Rp 15 milyar ke rekeningnya di
Bukopin. Maklumlah, selain merupakan partner Christine Arifin, isteri
Bustanil Arifin dalam penggilingan gandum Bogasari, Liem juga telah
memperoleh berbagai fasilitas Bulog untuk kilang-kilang gula dan
kedelenya.
Setelah Bob Hasan menggantikan Bustanil
Arifin sebagai presiden komisaris, saham Nusamba ditingkatkan dari 6,08%
menjadi 15,35%. Tak jelas berapa laba bersih bank ini. Yang jelas, di
tahun 1994, aset bank itu telah mencapai Rp 1,7 trilun, 50% lebih tinggi
ketimbang tahun sebelumnya. Dari seluruh aset Bukopin itu, Rp 1 trilyun
lebih merupakan dana fihak ketiga (Schwartz, 1991; Forum Keadilan , 19
Agustus 1993: 22; Info-Bank, April 1995; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997:
16).
Dua tahun setelah mengambil-alih pimpinan
Bukopin, Bob Hasan diminta Suharto mengambilalih pimpinan Bank Umum
Nasional (BUN), yang sebagian besar sahamnya milik kelompok Ongko. Tak
tanggung-tanggung, Yayasan Dakab bersama Dharmais mengambil-alih 50%
saham BUN. Laba bersih (sesudah dipotong pajak) bank ini tahun 1997
mencapai Rp 66,73 milyar (Vatikiotis, 1990: 62; IEFR, 1997: 380,
406;Swa, Okt. 1995: 60-61).
Di Bank Duta, yang asetnya disita oleh
Negara dari Haji Mohammad Aslam, seorang pengusaha yang dekat dengan
Bung Karno dan ditahan dengan tuduhan PKI, trio
Dharmais-Dakab-Supersemar merupakan pemegang saham terbesar. Tahun 1995,
sesudah direksi bank itu dialihkan Suharto dari kelompok Bustanil
Arifin ke kelompok Bob Hasan, laba bersih bank ini meningkat dari Rp 29
milyar (1994) menjadi Rp 46,7 milyar (1997) (Vatikiotis, 1990: 62; IEFR,
1997: 380, 406; Progres , No. 2/Vol. I, 1991: 27-29; Warta Ekonomi, 29
Okt. 1990: 26-27; Prospek , 11 Mei 1991: 13; Forum Keadilan , 26 Mei
1994: 38, 2 Febr. 1995: 62-63; 17 Juli 1995: 90-91; Swa, Okt. 1995:
60-61).
Berkat jasanya “membenahi” Bukopin, BUN,
dan Bank Duta, dua tahun lalu Bob Hasan dan anak-buahnya dipercayai
mengambilalih satu-satunya bank yang didasarkan pada hukum Syari’ah,
yang didirikan berdasarkan amanat Munas IV Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Agustus 1990, yakni Bank Muamalat Indonesia (BMI). Dua orang
direktur Bank Duta dan Bukopin (Muchtar Mandala dan Tommy Sutomo)
diangkat menggantikan direktur lama, setelah Nusamba menjadi pemegang
saham terbesar dengan menyetorkan Rp 25 milyar. Dengan demikian
diharapkan laba bersih BMI, yang di tahun 1995 hanya mendekat Rp 5
milyar, dapat didongkrak (Ummat , 2 Okt. 1995: 98; Info Bisnis , 16 Juli
1996: 54-55; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 18)
Harap dicatat, lima bank yang kini
dikuasai Bob Hasan (Bank Umum Tugu, BUN, Bank Duta, Bukopin, dan BMI)
tak satupun tersentuh langkah pembenahan bank swasta oleh Menteri
Keuangan Mar’ie Muhammad, 1 November lalu, atas dorongan IMF. Malah
sebaliknya, Suharto secara khusus memberi kesempatan bank-bank itu
membenahi diri. Hari Jumat, 23 Januari lalu, Bob Hasan mengumumkan bahwa
empat bank yang dikuasai kelompok Nusamba — Bank Umum Tugu, BUN,
Bukopin, dan Bank Duta — akan dilebur menjadi satu bank baru dengan aset
total bernilai Rp 21 trilyun (A$ 2,54 milyar).
Sambil membantu mengatasi
pinjaman-pinjaman yang tidak produktif (non-performing loans), merjer
itu akan memadu kekuatan masing-masing bank. Misalnya, Bank Duta kuat di
perdagangan eceran, BUN kuat di pinjaman komersial, Bank Tugu kuat di
sektor minyak dan gas, sedangkan Bukopin kuat di pinjaman kredit usaha
kecil (Sydney Morning Herald dan The Australian , 27 Januari 1998).
Betapapun, keuntungan trio
Dakab-Dharmais-Supersemar dari BMI dan bank Nusamba baru itu nantinya
masih lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan dari saham mereka dalam
perusahaan semen PT Indocement Tunggal Perkasa (ITP).
Menurut Vatikiotis (1990: 62), di tahun
1990 trio itu masing-masing memiliki 6,39% saham dalam perusahaan semen
terbesar di Indonesia itu. Berarti total saham trio itu 19,17%. Namun
menurut majalah bisnis milik Sukamdani, tiga tahun kemudian saham trio
itu dalam Indocement tinggal 3,21% (Indonesia Business Weekly , 5 Maret
1993: 39). Mana yang benar, tidak begitu jelas. Yang jelas, laba bersih
perusahaan semen itu pada tahun 1997 telah mencapai Rp 551,489 milyar
(IEFR, 1997: 202).
Berarti dividen trio Dakab-Dharmais-Supersemar dari ITP saja tahun lalu berkisar antara Rp 17,7 milyar dan Rp 105,6 milyar!
Dua pesaing lama: Selain
tiga besar tadi, ada dua yayasan yang juga dipimpin Suharto dan
isterinya, yang kekayaannya mulai mengimbangi kekayaan trio
Dakab-Dharmais-Supersemar, dilihat dari omset perusahaan yang “dirasuk”
saham yayasan-yayasan ini, yakni Yayasan Harapan Kita dan Yayasan
Trikora.
Berikut ini daftar nama perusahaan yang
saham-sahamnya ikut dimiliki Yayasan Harapan Kita dan Trikora, yang
sering berduet (Shin, 1989: 354; Tempo , 4 Febr. 1978;Warta Ekonomi , 29
Okt. 1990: 26-27; Tambahan Berita Negara RI No. 56, tgl. 13 Juni 1971):
- PT Bogasari Flour Mills
- PT Bank Windu Kencana
- PT Kalhold Utama
- PT Fatex Tory
- PT Gula Putih Mataram
- PT Gunung Madu Plantation
- PT Hanurata
- PT Harapan Insani
- PT Kartika Chandra
- PT Kartika Tama
- PT Marga Bima Sakti
- PT Rimba Segara Lines
- PT Santi Murni Plywood
- RS Harapan Kita
Inipun hanyalah suatu daftar minimal.
Sebab perusahaan-perusahaan inipun sudah banyak beranak-cucu. PT
Hanurata misalnya, yang dipimpin mantan Dirjen Bea-Cukai Tahir, sudah
berkembang menjadi kelompok perusahaan yang menjalankan bisnis
pertambangan, kehutanan, tekstil, konstruksi, dan jalan tol
Jakarta-Merak. Total aset kelompok ini sekitar Rp 500 milyar (Swa, 30
Jan.-19 Febr. 1997: 23).
Namun sumber pemasukan Yayasan Harapan
Kita yang terlama – barangkali juga terbesar — adalah pabrik
penggilingan terigu Bogasari, yang sudah berkembang menjadi konglomerat
penghasil produk gandum, khususnya supermi, yang luarbiasa sukses
bisnisnya berkat monopoli impor gandum yang dilindungi Bulog.
Pabrik terigu itu didirikan “Oom Liem”
dan Sudwikatmono, saudara sepupu Suharto, di tahun 1971 untuk menangkap
“bantuan pangan” dari Paman Sam berupa gandum lewat Public Law 480 yang
diputuskan Kongres AS guna menyubsidi para petani gandum Amerika.
Di Indonesia, “bantuan pangan” AS itu
dipakai untuk membantu mengisi kocek keluarga Suharto beserta keluarga
para jendral pendukungnya, sambil merugikan posisi petani padi Indonesia
yang selama tiga dasawarsa dirugikan nilai tukar perdagangannya. Dalam
dasawarsa pertama beroperasinya kilang-kilang gandum Bogasari di Tanjung
Priok dan Tanjung Perak, akte notaris perusahaan itu menentukan bahwa
26% laba perusahaan itu harus disalurkan ke Yayasan Harapan Kita dan
Yayasan Dharma Putera Kostrad.
Tahun 1977, akte notaris PT Bogasari
Flour Mills direvisi. Yayasan Dharma Putera Kostrad dicoret dari daftar
penerima labanya, dan hanya disebutkan bahwa 20% laba perusahaan itu
harus digunakan untuk kepentingan sosial. Namun ada pemegang saham baru
masuk, di samping Oom Liem dan Sudwikatmono, yakni Christine Arifin,
isteri Bustanil Arifin, yang ketiban rezeki 21% saham Bogasari (Shih,
1989: 353-355; Schwarz dan Friedland, 1991; Prospek, 22 Des. 1990: 41).
Dengan sang isteri menguasai 20% saham PT
Bogasari sementara sang suami menjadi wakil ketua Yayasan Dharmais,
mudahlah Bogasari menjadi salah satu sapi perahan yayasan-yayasan
Suharto & Nyonya, mengingat ‘manunggalnya’ pabrik terigu itu dengan
kompleks industri pangan siap pakai PT Indofood Sukses Makmur (IFM) yang
menguasai 90% pangsa pasar mi instant di Indonesia.
Belum lagi keuntungan Bogasari dari
ongkos giling gandum yang mereka pungut dari Bulog sebesar US$ 116 per
ton, yang US$ 40 dollar lebih mahal dari kilang-kilang gandum lain di
dunia. Pendapatan Kelompok Salim di bidang pangan hanya ke luar dari
kantong kiri masuk kantong kanan, menyatu dengan pendapatan dari pabrik
semennya, sebab ITP juga menguasai 50.94 % saham ISM. Sementara laba ISM
sesudah dipotong pajak di tahun 1997 sudah mencapai Rp 352 milyar
(IEFR, 1997: 60).
Sebelum beralih ke bagian berikut,
sedikit catatan perlu diberikan tentang Yayasan Harapan Kita, yang di
tahun 1971 diprotes para aktivis mahasiswa dan intelektual muda seperti
Arief Budiman, karena keterlibatan yayasan itu dalam memanipulasi tangan
suami ketua yayasan itu untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah
(TMII). Dua tahun lalu, nama yayasan itu sempat tercoreng sekali lagi,
karena diduga terlibat dalam “pencucian uang” (money laundering) lewat
satu anak perusahaannya, PT Harapan Insani, dan sebuah bank misterius,
Dragon Bank International, yang berpusat di Kepulauan Vanuatu di Pasifik
Selatan, dengan kantor cabang di Jakarta.
Tanggal 18 Juli 1996, Harian Ekonomi
Neraca , Jakarta, memberitakan bahwa Mabes Polri akan memeriksa seorang
bernama “DR. Ibnu Widojo, bos PT Harapan Insani [yang] kabarnya
merupakan adik dari seorang pejabat tinggi pemerintahan Indonesia”.
Harian Sydney Morning Herald pada hari yang sama secara eksplisit
mengatakan bahwa Ibnu Widoyo adalah seorang ipar Presiden Suharto.
Majalah bisnis Warta Ekonomi tanggal 1 Juli 1996, juga secara eksplisit
mengatakan bahwa Ibnu Widojo adalah “adik kandung Ibu Tien Soeharto
(alm) dan juga presdir PT Harapan Insani” (hal. 22).
Sebagai partner Bank Dragon di Jakarta,
PT Harapan Insani waktu itu berniat membangun serangkaian proyek
ambisius bernilai lebih dari US$ 7 milyar. Rinciannya adalah bisnis
telekomunikasi senilai US$ 4 milyar, bekerjasama dengan Ghuangzhou
Greatwall Electronic & Communication Co., Ltd. dari RRC, dan
pembangunan satu gedung pusat perdagangan setinggi lebih dari 101 lantai
di Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, senilai US$ 3 milyar.
Selain di Indonesia, kongsi Dragon
Bank-PT Harapan Insani itu juga menandatangani rencana kerjasama dengan
Mara Holding Sdn. Bhd., satu perusahaan di bawah partai pemerintah,
UMNO, untuk membangun proyek perumahan dan hotel bernilai Rp 200 milyar
di resor pariwisata Pulau Langkawi, Malaysia (Bursa , 4 Juni 1996).
Setelah kehadiran cabang bank Vanuatu itu
diprotes Standar Chartered Bank dan Hong Kong Bank, karena
ketidakberesan transaksi mereka dengan “bank” itu, dua orang Taiwan
pengelola Dragon Bank diusir dari Jakarta dan Ibnu Widojo diumumkan akan
diperiksa. Namun setelah itu mendadak berita-berita tentang Dragon Bank
lenyap dari udara, sama misterius dengan kedatangannya. Uang yang konon
disalurkan oleh bank itu, lewat Vanuatu, juga lenyap tak berbekas.
Makanya pertanyaan apakah betul Dragon Bank dan partnernya, PT Harapan
Insani, terlibat dalam pencucian uang haram, dan kalau betul, milik
siapa uang haram yang mau dicuci itu, belum terjawab.
Namun harap dicatat, Vanuatu bukan tempat
baru bagi keluarga besar Suharto, sebab perusahaan mereka yang
berkantor di Hong Kong, Panca Holding, yang menguasai impor bahan baku
plastik ke Indonesia, didaftarkan di Vanuatu di tahun 1984, dengan
Sigit, Bambang, dan Sudwikatmono sebagai direkturnya (Pura dan Jones,
1986a dan 1986b).
Ibnu Widojo sendiri, tampaknya tidak
mencapat kesulitan apa-apa dari aparat hukum di Indonesia. Namanya tetap
tercatat di bursa saham Jakarta sebagai pemegang 2,80% saham PT
Dramindo Adhiduta, satu perusahaan investasi dengan konsesi pertambangan
emas seluas 4.000 hektar di Riau. Laba bersih perusahaan ini, tahun
1996, mendekati Rp 1,5 milyar (IEFR, 1997: 30).
Dua pesaing baru : Berbeda dengan kedua
pesaing lama, Harapan Kita dan Trikora, ada dua pesaing baru, yakni
Yayasan Purna Bhakti Pertiwi dan Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila
(YAMP), yang penghasilannya dengan cepat melambung tinggi.
Yayasan Purna Bhakti Pertiwi lebih
dikenal sebagai pengelola museum senama milik Suharto dan isterinya di
Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Museum Purna Bhakti Pertiwi tempat
memamerkan sebagian besar cendera mata yang pernah diterima oleh sang
Kepala Negara dan Ibu Negara, dibangun atas biaya sejumlah pengusaha
top, yang perusahaannya boleh jadi ikut memiliki saham yayasan itu.
Para pengusaha itu pertama-tama adalah
Probosutejo dan Sudwikatmono, yang masing-masing menyumbangkan paling
kurang Rp 300 juta untuk pembangunan museum itu. Kemudian, ada tujuh
orang usahawan lain yang masing-masing menyumbangkan Rp 200 juta, yakni
Tommy Suharto; Robby Sumampouw, pemilik kasino di Pulau Christmas yang
pernah merajai semua bisnis basah di Timor Leste; Tonny Hardianto
(direktur PT Binareksa Perdana, perusahaan milik Tommy Suharto yang
menjadi motor BPPC); A.R. Ramly (waktu itu Presiden Komisaris PT Astra
International); Prayogo Pangestu (Barito Pacific); Usman Admadjaja (Bank
Danamon); dan Henry Pribadi (Kelompok Napan) (Prospek, 7 Maret 1992:
78; Bisnis Indonesia , 15 Febr. 1994, 5 Maret 1994; Surya, 15 Febr.
1994).
Tapi itu semua masih kecil dibandingkan
dengan pemasukan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi dari 22 % sahamnya dalam
perusahaan jalan tol PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). Tahun
1997, laba bersih perusahaan jalan tol pimpinan Tutut itu mencapai Rp
123,6 milyar (IEFR, 1997: 538).
Berarti dividen Yayasan Purna Bhakti
Pertiwi dari jalan-jalan tol CMNP, sebelum devaluasi, tahun lalu telah
mencapai Rp 27 milyar! Belum lagi dividen yayasan ini, setelah
jalan-jalan tol yang dibangun dan dikelola kongsi-kongsi CMNP di
Malaysia, Filipina, Burma, Cina, Polandia, Bosnia, dan di Timur Tengah,
untuk masa kontrak 30 tahun mendatang, mulai beroperasi (Info Bisnis ,
Juni 1994: 11; Business Week , 19 Agustus 1996: 16;Swa , 5-18 Juni 1997:
46; EBRI , 5 Maret 1997: 44; Prospek , 18 Agustus 1997: 49).
Yang jelas, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi
terus terjamin pemasukannya dari jalan-jalan tol yang dibangun sang
putri sulung berkat dorongan sang ayah sebagai tokoh ASEAN, APEC,
Gerakan Non-Blok dan Gerakan Negara-Negara Muslim. Berkat pemasukan dari
jalan tol itu, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi kini telah menyaingi
Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila (YAMP), yang terutama menikmati masa
jayanya ketika Sudharmono menjadi Kepala Sekretariat Negara (Sekneg).
Selain menjadi Ketua Tim Keppres 10 yang
menyaring semua proyek pembangunan daerah yang nilainya di atas Rp 500
milyar, Sudharmono juga menjadi Ketua Umum Golongan Karya dan Sekretaris
YAMP. Posisi ‘penjaga gawang’ itu memungkinkan Sudharmono membesarkan
sejumlah pengusaha pribumi, termasuk menantunya sendiri, Bambang
Rachmadi, pemegang franchise McDonald di Indonesia, Agus Kartasasmita
(adik Ginanjar Kartasasmita), dan kelompok Medco, salah satu perusahaan
keluarga Eddi Kowara Adiwinata, mertua Tutut.
Bersama-sama Yayasan Dakab, YAMP menjadi
sumber utama pembiayaan Golongan Karya, didukung “sumbangan wajib”
antara Rp 50 dan Rp 1000 sebulan bagi setiap pegawai negeri yang Muslim.
Berkantor di gedung Setneg, YAMP ikut
mengelola proyek-proyek Bantuan Presiden (Banpres). Terang saja para
pengusaha yang ingin produk atau jasa dagangannya digunakan dalam
proyek-proyek Banpres, mau tidak mau harus ‘menyumbang’ Yayasan ini,
yang pada gilirannya mencari dukungan umat Islam bagi Golkar dan Suharto
khususnya dengan menyumbang pembangunan mesjid di mana-mana.
Dewan pengurusnya ini terdiri dari
Suharto sebagai ketua, Alamsyah, Widjojo Nitisastro, Amir Machmud, K.H.
Tohir Widjaja, dan Haji Thayeb Gobel (alm.) sebagai wakil ketua, serta
Sudharmono, Bustanil Arifin dan E. Soekasah Somawidjaja sebagai
sekretaris (Vatikiotis, 1990: 63; Pangaribuan, 1995; IEFR, 1997: 35).
Berapa nilai
total kekayaan yayasan-yayasan Suharto? Sampailah kita sekarang pada
pertanyaan pokok: berapa nilai total kekayaan yayasan-yayasan itu?
Jawabannya: tidak
ada yang tahu pasti, kecuali Suharto dan keluarga dekatnya, serta
bendahara yayasan-yayasan itu, yang hanya bertanggungjawab kepada
Suharto pribadi dan selalu menjalankan gerakan tutup mulut kepada
wartawan.
Namun satu ketika Wakil Ketua II Yayasan
Dharmais yang eks Menteri Koperasi merangkap Kepala Bulog, Bustanul
Arifin sesumbar bahwa:
“Empat yayasan
yang dipimpin Presiden Soeharto secara pribadi kini telah menjadi
yayasan terkaya di dunia, jauh melebihi Rockefeller Foundation dan Ford
Foundation di AS”.
Keempat yayasan
yang dimaksud adalah Dharmais, Supersemar, Dakab, dan Amalbhakti Muslim
Pancasila (Surabaya Post , 29 Juli 1994). Namun berapa persis kekayaan
yayasan-yayasan itu, tidak diungkapkannya.
Menurut penelitian koresponden Far
Eastern Economic Review, Michael Vatikiotis, total kekayaan, bunga bank,
dan sumbangan tiga di antara keempat yayasan itu di tahun 1990, adalah
sebagai berikut (FEER , 4 Okt. 1990: 63):
· Yayasan Supersemar,
memiliki kekayaan senilai Rp 222 milyar, dan menerima bunga bank setiap
tahun senilai Rp 24 milyar. Sumbangan yang diberikannya s/d bulan Maret
1990, adalah Rp 46 milyar.
· Yayasan Dharmais,
memiliki kekayaan senilai Rp 60,8 milyar, menerima bunga bank setiap
tahun senilai Rp 9 milyar, dan memberikan sumbangan sebesar Rp 15,4
milyar s/d bulan Maret 1990.
· Yayasan Dakab,
yang terkecil di antara ketiganya, memiliki kekayaan senilai Rp 43
milyar, tidak diketahui berapa besar bunga bank yang diterimanya, dan
hanya memberikan sumbangan sebesar Rp 2,4 milyar, sampai dengan bulan
Maret 1990.
Itu data tahun 1990 dan sebagian besar
berasal dari otobiografi Suharto sendiri. Misalnya, dalam otobiografinya
yang juga dikutip dalam laporan Warta Ekonomi (29 Okt. 1990: 28-29),
Suharto hanya menyebutkan kekayaan yayasan-yayasannya yang berasal dari
deposito, surat berharga, dan giro.
Pendek kata, itu baru pendapatan dari
bank. Bukan dari saham di sekian perusahaan raksasa, seperti di
pabrik-pabrik Indocement, pabrik-pabrik penggilingan gandum Bogasari,
dan pabrik pupuk Kujang II. Atau dari dividen kelompok Nusamba.
Data lebih baru diungkapkan Suara
Independen, edisi Januari-Februari 1996. Kekayaan Yayasan Dharmais yang
ada di kas diperkirakan Rp 900 milyar. Walaupun angka kekayaan Dharmais
itu belum yang dibenamkan di berbagai tempat seperti surat berharga,
penyertaan uang, penyertaan saham di berbagai perusahaan, angka Rp 900
milyar itu sudah menunjukkan lonjakan luarbiasa dibandingkan dengan
angka kekayaan Dharmais tahun 1990 yang menurut catatan Vatikiotis,
‘hanya’ Rp 60 milyar.
Apalagi kalau dibandingkan dengan
kekayaan Dharmais di tahun 1978, yang menurut pengakuan Suharto waktu
itu baru berjumlah Rp 7 milyar (Tempo , 4 Febr. 1978). Kalau seluruh
dividen yang diterima dimasukkan dalam daftar kekayaan yayasan-yayasan
itu, maka apa yang dikatakan Bustanil Arifin sangat masuk akal. Tahun
1994 misalnya, trio Dharmais-Dakab-Supersemar meraup dividen sebesar Rp
29 milyar dari penyertaan sahamnya di Bank Duta.
Sedangkan tahun sebelumnya, trio yang
sama meraup dividen sebesar Rp 1 trilyun dari penyertaan sahamnya dalam
kelompok Nusamba (Suara Independen, Jan.-Febr. 1996). Salah satu
“pameran kekuatan” trio itu, ialah ketika mereka sekaligus menyuntikkan
dana segar sebesar US$ 419,6 juta ke Bank Duta, tahun 1990, ketika bank
itu kalah bermain valuta asing sebanyak Rp 770 milyar, atau US$ 420
waktu itu (Vatikiotis, 1990: 62; Forum Keadilan, 26 Mei 1994: 38).
Nah, kalau US$ 400 juta lebih dapat
dikeluarkan dalam sekejap mata, berapa duit yang tersisa di kas ketiga
yayasan itu, silakan tebak sendiri. Taksiran di luar negeri terhadap
total kekayaan yayasan-yayasan yang diketuai Suharto dan isterinya
sangat beragam. Paul Hunt yang menulis di koran Guardian & Mail yang
terbit di Inggris, 1 Agustus dua tahun lalu, memperkirakan bahwa nilai
kekayaan tak teraudit dari yayasan-yayasan Suharto sendiri sekitar US$ 5
milyar.
Dengan kurs terakhir di mana US$ 1
melonjak-lonjak di sekitar Rp 12.000, berarti kekayaan yayasan-yayasan
Suharto sekitar Rp 60 trilyun. Namun menurut taksiran badan rahasia AS,
Central Intelligence Agency (CIA), sebagaimana dikutip dalam tesis Ph.D.
Jeffrey Winters tahun 1991, kekayaan Presiden Suharto sendiri mencapai
US$ 15 billion. Jumlah itu harus dilipat dua, kalau kekayaan seluruh
anggota keluarga besarnya mau dimasukkan juga (Vriens, 1995: 49).
Itu baru taksiran tahun 1991, delapan
tahun yang lalu, sebelum Nusamba menguasai saham-saham empuk di tambang
tembaga-emas-perak PT Freeport Indonesia di Irian Jaya, serta raksasa
automotif PT Astra Internasional. Makanya taksiran nilai total kekayaan
seluruh keluarga besar Suharto, sebesar US$ 40 milyar (Newsweek, 26
Januari 1998), cukup masuk akal. Juga, cukup untuk menebus bangsa
Indonesia dari kemelut moneter sekarang ini, tanpa harus berhutang pada
IMF.
15 Dampak sosial, politis dan ekonomis yayasan-yayasan Suharto:
Secara sosial, politis dan ekonomis,
yayasan-yayasan yang dipimpin atau dikuasai oleh Suharto bersama kaum
kerabatnya punya lima belas dampak sebagai berikut:
1. Pertama, dana
trilyunan rupiah yang dikuasai yayasan-yayasan itu telah membantu
Suharto menguasai faksi-faksi di dalam ruling elite Indonesia dengan
membuat faksi-faksi itu saling mengimbangi, dan dengan menggeser
favoritisme dari satu faksi ke faksi lain. Ini terang saja membuat
politik nasional Indonesia menjadi sangat personalized , tanpa aturan
main tertulis yang telah disepakati bersama.
Dari kajian mendalam terhadap
pasang-surut berbagai yayasan itu, sebagaimana dicatat oleh sejumlah
pengamat (Robison, 1986; Shin, 1989; dan Pangaribuan, 1995) dapat kita
amati lika-liku permainan Suharto sebagai berikut:
Dalam dasawarsa pertama pemerintahannya,
ketika Suharto masih kecipratan petro-dollar Pertamina dari kawan
baiknya, Ibnu Sutowo, dan pada saat ia masih sedang mengonsolidasi
kekuasaan lewat basis lamanya di Kostrad, Suharto banyak memberikan
angin pada perusahaan-perusahaan yang “dihinggapi” saham-saham Yayasan
Dharma Putera Kostrad serta yayasan-yayasan TNI/AD yang lain.
Setelah meninggalnya Brigadir Jenderal
Sofyar, pengelolaan perusahaan-perusahaan di bawah panji-panji Kostrad
itu diserahkan pada bekas aktivis 1966, Sofyan Wanandi, yang berada
dalam kubu Jenderal Ali Murtopo yang bermarkas di CSIS (Centre for
Strategic and International Studies ).
Sesudah kubu Ali Murtopo (kelompok Tanah
Abang) mulai kehilangan pamor, a.l. karena ketergantungannya pada
sejumlah pakar keturunan Cina (Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi) serta
pengusaha-pengusaha keturunan Cina pula (Liem Sioe Liong, alm. Nyoo Han
Siang), Suharto mulai membesarkan kubu CKH (Corps Kehakiman TNI/AD),
yakni para jenderal bergelar S.H. (Sudharmono, Ali Said, Ismail Saleh,
alm. Mudjono) dengan membesarkan yayasan-yayasan Dakab, Dharmais,
Supersemar, dan YAMP, sambil mendekati umat Islam lewat proyek-proyek
bantuan pembangunan mesjid dan pembiayaan MTQ.
Ketika kubu CKH semakin kuat berakar di
Golkar, peranan yayasan-yayasan itu mulai diimbangi oleh Suharto dengan
memperlakukan Habibie sebagai sumber dana taktis, sebagaimana ia dulu
memanfaatkan Ibnu Sutowo. Dan sebagaimana ia dulu memanfaatkan para
pemegang HPH sebagai sumber dana taktis lewat Yayasan Mangadeg yang
dibendaharai Sujarwo, Menteri Kehutanan terlama dalam sejarah Orde Baru,
di era Habibie Bob Hasan-lah yang diberikan peranan lebih besar untuk
menggemukkan trio Dakab, Dharmais, dan Supersemar, lewat kelompok
Nusamba yang mulai mengambilalih peranan orang-orang lama yang dulunya
dekat dengan kelompok CKH dan kelompok Tanah Abang.
Sinerji antara sektor kehutanan dan
sektor high tech , yang merupakan andalan Suharto untuk me-nina-bobo-kan
rakyat Indonesia lewat proyek-proyek mercusuar seperti pesawat
Gatotkaca Habibie dan pesawat jet nasional (yang digugurkan oleh IMF),
terlihat dari suntikan Dana Reboisasi ke IPTN. Dana Reboisasi itu, yang
dikutip dari para pemegang HPH, dikuasai oleh Masyarakat Perkayuan
Indonesia (MPI) yang diketuai kawan golf Suharto, Bob Hasan.
Seperti di zaman Menteri Kehutanan
Sujarwo, di zaman “Menteri Kehutanan bayangan” Bob Hasan pengelolaan
Dana Reboisasi oleh MPI juga sangat tidak transparan. Selama dua
dasawarsa pertama masa pemerintahannya, anak-anak Suharto sudah
dilibatkan dalam berbagai perusahaan yang mengandung saham yayasan yang
diketuai orang tua mereka, baik perusahaan yang berafiliasi ke Yayasan
Mangadeg (seperti PT Rejo Sari Bumi), maupun yang berafiliasi ke trio
Dakab, Dharmais dan Supersemar. Sebab jangan lupa, sebelum mereka
membentuk konglomeratnya sendiri, Sigit dan Tutut bersama-sama sudah
menguasai 32 % saham Bank Central Asia (BCI), banknya kelompok Salim,
sedangkan Sigit sendiri jadi partner Bob Hasan dalam Nusamba.
Dalam kurun waktu itu, Nyonya Tien
Suharto sendiri sudah menjadi pemegang saham dan direksi berbagai
perusahaan yang berafiliasi ke Mangadeg, Kartika Jaya, Kartika Chandra,
dan Hanurata. Setelah anak-anak Suharto ingin muncul sendiri sebagai
“usahawan”, artinya, sebagai “kapitalis rente”, mulailah mereka
dilibatkan dalam kepengurusan yayasan-yayasan yang diketuai orangtua
mereka, di mana mereka dengan mudah — tanpa sorotan pers — berinteraksi
dengan para pembantu Suharto di pemerintahan.
Itulah kitchen cabinet di mana
banyak keputusan telah digodog sampai matang, sebelum disajikan ke ruang
depan di mana kabinet yang resmi bersidang (untuk konsumsi wartawan).
Sesudah konglomerat-konglomerat anak-anak Suharto semakin besar,
mulailah Tutut dan Bambang mendirikan yayasan-yayasan mereka sendiri,
sambil juga mendirikan perusahaan media massa elektronik dan cetak untuk
mempengaruhi opini massa.
Dengan dipelopori si anak sulung, Tutut, para P-3 (putra-putri presiden)
juga mulai tampil menguasai kepengurusan Golkar, bersama para partner
bisnis mereka, seperti Anthony Salim. Sementara itu, ekspansi bisnis
mereka semakin menjadi-jadi, yang ikut “menyumbang” pembengkakan hutang
swasta Indonesia ke bank-bank internasional, yang diperkirakan antara 65
sampai 100 milyar dollar AS.
Politik pemerintahan yang begitu
personalized inilah yang selama tiga dasawarsa dipupuk lewat
yayasan-yayasan Suharto ini. Celakanya, pada saat pembenahan
administrasi pemerintahan dan politik negara diperlukan, Suharto
bukannya lebih dahulu meminta persetujuan DPR-RI bagi
komitmen-komitmennya ke IMF, sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUD 1945,
di mana paling tidak pembicaraan tentang syarat-syarat IMF dapat
disaksikan oleh wartawan dan aktivis.
Sebaliknya, ia kembali ke “kabinet
dapur”nya, dengan mengajak Anthony Salim (putera mahkota kelompok
Salim), The Nin King (juragan tekstil dari Pintu Kecil) yang dulu ikut
membiayai Operasi Khususnya Ali Murtopo. Para P-3 (putra-putri Presiden)
pun diikutsertakan dalam pembicaraan luarbiasa penting yang dapat
menentukan nasib bangsa dan Negara.
Sedangkan kehadiran Widjojo Nitisastro
dan Radius Prawiro dalam tim inti itu, hanyalah sebagai alat pemikat
negara-negara dan bank-bank Barat.
2. Kedua,
yayasan-yayasan yang telah mewabah ke berbagai bidang usaha dan bergerak
hampir di seantero tanah air telah menimbulkan dualisme antara aparatur
pemerintah yang resmi versus konglomerat-konglomerat yang secara de
facto jauh lebih berkuasa ketimbang aparatur resmi.
3. Ketiga,
yayasan-yayasan yang sangat besar kekuasaannya ini membaurkan
batas-batas antara urusan pribadi dan urusan dinas. Inilah korupsi pada
tingkat tertinggi di negara kita, yang jauh lebih besar dari pada
skandal Pertamina di pertengahan 1970-an.
4. Keempat,
proyek-proyek “Bantuan” Presiden (Banpres) dan “Instruksi” Presiden
(Inpres) yang dikelola Sekretariat Negara dan Sekdalopbang, yang dananya
berasal dari beberapa yayasan yang diketuai Suharto, selain merusak
displin anggaran (karena berada di luar APBN) dan melanggar Pasal 23 UUD
1945 (karena tidak dipertanggungjawabkan kepada DPR), juga memupuk
kultus individu (karena dana Banpres/Inpres itu seolah-olah berasal dari
kantong pribadi Presiden yang begitu dermawan). Berarti,
bertolak-belakang dengan komitmen Orde Baru sendiri yang menolak kultus
pada presiden yang terdahulu.
5. Kelima,
yayasan-yayasan ini menciptakan ekonomi biaya tinggi, yang tidak saja
mengurangi daya saing produk-produk Indonesia di gelanggang
internasional, tapi juga menambah beban rakyat Indonesia dan Timor Leste
sebagai pembayar pajak dan cicilan dan bunga hutang luar negeri
pemerintah Suharto.
6 Keenam, karena
yayasan-yayasan ini telah memanfaatkan jasa sejumlah pegawai serta
fasilitas pemerintah, mulai dari gedung, personil dan sarana komunikasi
Sekretariat Negara oleh YAMP, terminal bandara Sukarno-Hatta oleh
Sempati Airlines (milik trio Dakab, Dharmais, Supersemar), pesawat
terbang TNI/AU dan kapal TNI/AL untuk modal dan pengembangan usaha
peternakan Tapos (salah satu sumber dana Yayasan Mangadeg), s/d
fasilitas KBRI di Moskow oleh Yayasan Balai Indah dan KBRI di Paramaribo
oleh anak perusahaan Yayasan Kemusuk Somenggalan, maka “subsidi
terselubung” rakyat Indonesia bagi akumulasi kekayaan keluarga besar
Suharto sudah mencapai milyaran rupiah, apabila seluruh jam kerja
pegawai dan ongkos sewa fasilitas pemerintah dinilai berdasarkan pasaran
tenaga kerja, ruang kantor, serta sarana komunikasi dan transportasi
setempat.
7. Ketujuh, pada saat
yang bersamaan, yayasan-yayasan Suharto telah mengfasilitasi capital
outflow dari sebagian besar sarana usaha Negara dan simpanan pegawai
negeri dan karyawan perusahaan-perusahaan negara ke rekening-rekening
bank keluarga besar Suharto. Keterangannya adalah sebagai berikut: Dalam
fase ekspansi konglomerat-konglomerat yang berafiliasi ke keluarga
besar Suharto, dana dari yayasan-yayasan Suharto dirasakan tidak cukup,
sehingga dana-dana pensiun, dana-dana asuransi tenaga kerja, serta
fasilitas Yayasan TVRI dan Yayasan Dana Bantuan Kesejahteraan Sosial
(Depsos) dilibatkan secara habis-habisan sebagai pemegang saham atau
sebagai penyedia prasarana dan personalia.
Di atas kertas, para pegawai negeri dan
perusahaan-perusahaan negara tersebut dapat ikut “kecipratan” keuntungan
konglomerat-konglomerat keluarga Suharto. Tapi kenyataannya, akibat
kekuasaan yang ada di belakangnya, berbagai instansi negara, seperti
TVRI, Pertamina, dan Garuda, telah melaporkan tunggakan-tunggakan
rekening perusahaan anak-anak Suharto, sementara Jasa Marga mengeluh
tentang pembagian keuntungan tidak adil dari PT Citra Marga Nusaphala
Persada. Kerugian peralatan serta personalia pemerintah itu saat ini
sangat diperparah akibat krisis moneter yang sedang kita hadapi.
Buat keluarga besar Suharto, krisis
moneter ini tidak begitu besar dampaknya, sebab dengan mudah mereka
dapat membubarkan semua yayasan keluarga Suharto itu atau menyatakannya
bankrut, karena badan hukum semacam ini memang hanya bertanggungjawab
kepada pendirinya. Sementara itu, kekayaan pribadi para anggota keluarga
besar Suharto, tinggal dialihkan ke luar negeri lewat<br>
transaksi perbankan biasa.
8. Kedelapan, penggunaan
bentuk badan hukum yayasan demi akumulasi kekayaan pribadi, merupakah
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia
tentang yayasan sebagai organisasi nirlaba. Pemilihan bentuk badan
hukum yang hanya bertanggungjawab kepada pendirinya ini, barangkali
bukan suatu kebetulan.
Apalagi selalu tidak jelas apakah yayasan
yang bersangkutan, atau ketuanya yang menjadi pemegang saham. Juga
tidak ada mekanisme yang secara yuridis memungkinkan para jatim-piatu
Trikora atau Operasi Seroja, misalnya, untuk meminta pertanggungjawaban
pengurus yayasan yang mengatasnamakan mereka.
9. Kesembilan, dengan
mengambil-alih Bank Umum Koperasi Indonesia, mengubahnya menjadi PT yang
menjadi salah satu sumber rezeki trio Dakab, Dharmais, dan Supersemar
lewat kelompok Nusamba, yayasan-yayasan Suharto punya andil dalam
melumpuhkan gerakan koperasi di Indonesia, khususnya koperasi di
kalangan TNI/AD, TNI/AL, Polri, dan pengusaha batik, yang uangnya kini
terbenam dalam PT Bank Bukopin, yang sebentar lagi akan dilebur dalam
Bank Nusamba yang baru.
10. Kesepuluh, kembali
ke soal “subsidi terselubung” rakyat Indonesia demi akumulasi kekayaan
keluarga besar Suharto. Subsidi itu tidak terbatas pada penggunaan
tenaga dan sarana pemerintah untuk yayasan-yayasan Suharto, melainkan
ada yang lebih struktural dengan pengaruh ke kelas bawah di desa maupun
kota. Monopoli terigu impor demi memperkaya Yayasan Harapan Kita, telah
membantu menggencet nilai-nilai tukar (terms of trade ) petani padi, di
samping tekanan Bulog lewat operasi pasarnya.
Dumping produk Bogasari dalam bentuk
berbagai merek mi kemasan produksi Indofood, di mana rakyat miskin
mengalami erosi gizi karena di-nina-bobo-kan oleh nikmatnya supermi
dengan rasa ini dan itu. Padahal nilai gizi makanan kemasan ini jauh
lebih rendah dibandingkan dengan berbagai jenis makanan murah buatan
orang desa.
11. Kesebelas, melalui
konsesi-konsesi hutan, perkebunan, dan peternakan yang dikuasainya,
yayasan-yayasan Suharto ini memberikan contoh buruk kepada rakyat dan
aparat pemerintah lainnya, bahwa UUPA 1960, yang menolak pemilikan tanah
berlebihan (excessive land-ownership ) maupun pemilikan tanah guntai
(absentee landownership ), sebagaimana dituangkan dalam UU Land Reform
1960 serta UU Bagi Hasil 1960, secara de facto tidak berlaku di
Indonesia.
12. Kedua belas, dengan
beroperasi dari gedung Sekretariat Negara, dipimpin oleh pengurus yang
terdiri dari pejabat negara yang secara resmi tidak diangkat karena
ke-Islam-annya, dan dengan mewajibkan setiap pegawai negeri yang Muslim
menyumbang antara Rp 50 dan Rp 1000 sebulan, Yayasan Amalbhakti Muslim
Pancasila yang mencari dukungan umat Islam bagi sang presiden dengan
“menyumbang” pembangunan mesjid di Indonesia dan Timor Leste, Suharto
secara de facto telah memperlakukan Indonesia dan Timor Leste sebagai
Negara Islam.
13. Ketiga belas, dengan
dalih kerjasama antar anggota ASEAN, antar anggota APEC, antar Negara
Selatan, dan antara Negara Islam, dan dengan dalih menangkis serangan
kelompok-kelompok “anti-integrasi” di luar negeri, sebagian yayasan
Suharto, khususnya Yayasan Tiara, Balai Indah, dan Kemusuk Somenggalan
telah mengambil-alih tugas Departemen Luar Negeri R.I., sambil
memperkaya perusahaan yang berafiliasi ke yayasan-yayasan itu.
14. Keempat belas,
keterlibatan sejumlah panti asuhan Seroja dalam penculikan anak-anak
yatim piatu Timor Leste, di mana identitas mereka sebagai anak Timor
Leste yang beragama Katolik Roma sengaja berusaha dihilangkan (Tomas
Alfredo Gandara, komunikasi pribadi, Juli & November 1997; Timor
Leste , 15 Okt. 1997), berarti bahwa Suharto, sebagai pembina Yayasan
Seroja yang membawahi panti-panti asuhan itu (Sinar Harapan, 16 Juni
1985), terlibat dalam salah satu bentuk genosida menurut Pasal (e)
Konvensi Genosida 1948 (Kuper, 1981: 19).
15. Kelima belas, ada
indikasi bahwa salah satu yayasan keluarga Suharto, yakni Yayasan
Harapan Kita lewat anak perusahaannya, PT Harapan Insani, telah terlibat
dalam “pencucian uang” (money laundering ) lewat Vanuatu. Tindak
kriminal semacam ini, berada dalam wilayah kekuasaan Interpol, yang
berhak secara sefihak melakukan investigasi. Kalau terbukti benar, ini
dapat menurunkan derajat Kepala Negara Republik Indonesia menjadi
seorang tokoh kriminal tingkat internasional, seperti Manuel Noriega,
bekas “orang kuat” Panama yang kini mendekam dalam penjara di AS.
Pertanggungjawaban, setelah monopoli & kartel dihapus:
Marilah kita sekarang meminta
pertanggungjawaban para pemilik dan pengelola yayasan-yayasan itu kepada
rakyat Indonesia, sebelum pembukuan hasil keuntungan monopoli gandum
dan cengkeh serta kartel semen dan kayu lapis yang akan segera
dibubarkan (?), lenyap bersama angin lalu.
Dalam hal cengkeh saja, misalnya, BPPC
telah menumpuk Rp 2,3 trilyun dana hak petani selama 4 tahun. Jumlah
kerugian petani itu berasal dari Dana Penyertaan petani di KUD sebesar
Rp 2000 per kg, uang titipan petani di KUD sebesar Rp 1.900, serta
penerimaan petani yang hilang akibat ketidak-efisienan tata niaga
cengkeh selama masa kejayaan BPPC (1991-1996) sebesar Rp 541,6 milyar,
lebih besar dari dana IDT setiap tahun (INDEF, 1997: ii).
Kita tentunya belum lupa bahwa hasil
pemasukan SDSB, yang ikut dinikmati anak-anak Suharto — misalnya,
membangun hotel berbintang lima Bali Cliff Resort seharga US$ 50 juta
milik Sigit Harjojudanto di Bali (Aditjondro, 1995: 1-2; Loveard, 1996:
38) — , juga belum pernah dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Hal ini sekedar mengulangi peristiwa
tahun 1985, di mana Sigit jugalah yang terlibat dalam penyelenggaraan
Porkas, yang ditentang dengan keras oleh pemerintah daerah Sumatra Barat
dan DPRD Jawa Barat atas dasar agama. Waktu itu, kritikan-kritikan
terhadap Porkas sekedar dibungkam oleh pemerintah dengan dalih bahwa
Porkas bukan judi (Shin, 1989: 248). Dan Sigit pun bebas meraih
keuntungannya.
Selain menyangkut kekayaan Rakyat
Indonesia dan Timor Leste yang dirampas oleh keluarga besar Suharto,
pertanggungjawaban Suharto juga perlu dimintakan untuk berbagai dampak
sosial dan politis, serta dampak ekonomis yang lain, sebagaimana
diutarakan dalam bagian terdahulu.
Puri Baru (Newcastle), 31 Januari 1998
“Saya tidak punya uang sepeserpun…” (Suharto)
(penyataan Suharto saat dilengserkan oleh mahasiswa 1998)
Kepustakaan:
Aditjondro, G.J. (1995). Bali, Jakarta’s
colony: social and ecological impacts of Jakarta-based conglomerates in
Bali’s tourism industry. Working Paper No. 58. Perth: Asia Research
Centre, Murdoch University.
—————- (1996a). “Man
with the right mates,” The West Australian , 3 Januari. —————- (1996b).
“Big carrots used in Indonesia’s diplomatic policy on East Timor,” The
Nation, Bangkok, Monday, 14 Oktober.
—————- (1997). “Suharto and his family: the looting of East Timor,” Green Left Weekly , 3 September.
—————– (1998). “Suharto & sons: crony capitalism, Suharto style,” Washington Post , 25 Januari.
Akhmadi, Heri. Breaking the chains of
oppression of the Indonesian people: defense statement at his trial on
charges of insulting the head of state. Translation Series (Publication
No. 59). Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia
Program, Cornell University.
Borsuk, Richard dan Jay Solomon (1997).
“Bakrie to sell Freeport stake to Hasan’s Nusamba Mineral,” The Wall
Street Journal Interactive Edition – Asia , 31 Januari.
Bourchier, David (1984). Dynamics of
dissent in Indonesia: Sawito and the phantom coup. Interim Reports
Series. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project.
Gitosardjono, Sukamdani (1974). Riwayat
hidup (singkat). Jakarta, 28 Mei. IEFR (1997). Indonesian Capital Market
Directory 1997. Jakarta: Institute for Economic and Financial Research
(IEFR). INDEF (1997). Tinjauan INDEF atas tata niaga cengkeh. Jakarta:
INDEF.
Loveard, Keith (1996). “Suharto’s son rises,” Asiaweek , April 12, pp. 34-40.
Pangaribuan, Robinson (1995). The
Indonesian State Secretariat, 1945-1993. Perth: Asia Research Centre on
Social, Political and Economic Change, Murdoch University.
Pura, Raphael (1986). “Suharto family tied to Indonesian oil trade,” The Asian Wall Street Journal , 26 November 1986.
——- dan Steven Jones (1986a). “Suharto-linked monopolies hobble economy,” The Asian Wall Street Journal , 24 November .
———————————(1986b). “Suharto’s kin linked with plastics monopoly,” The Asia Wall Street Journal , 25 November.
Robison, Richard (1990). Indonesia: the rise of capital. Sydney: Allen & Unwin.
Rustam, Amin and Rudy Ardial (1996/1997).
Indonesia Financial Directory 1996-1997. First Edition. Jakarta: PT
Admindo Multijaya Promo.
Santos, Hernani dan Joao Naia (1997). “O homem de Jakarta em Portugal” (Orang Jakarta di Portugal), O Diabo, 18 Maret.
Schwarz, Adam (1991). “A helping hand:
Indonesian central bank in bail-out dilemma,” Far Eastern Economic
Review , 16 Mei, hal. 72-73.
———— dan Jonathan Friedland (1991). “Indonesia: Empire of the Son,” Far Eastern Economic Review , 14 Maret 1991, hal. 46-53.
Shin, Yoon Hwan (1989). Demystifying the
capitalist state: Political patronage, bureaucratic interests, and
capitalists-in-formation in Soeharto’s Indonesia. Thesis Ph.D. pad
Universitas Yale, AS.
Skephi and IFAW (1996). Asian Forestry
Incursions – Indonesian logging in Surinam: Report on N.V. MUSA
Indo-Surinam. Jakarta, Amsterdam, Yarmouth Port:
Skephi and IFAW. Toohey, Brian (1990). “Warren’s Indonesian mates,” The Eye , December Quarter, hal. 6-9.
Vatikiotis, Michael (1990). “Charity
begins at home: Indonesian social foundations play major economic role,”
Far Eastern Economic Review , 4 Okt. 1990, hal. 62-64.
Vriens, Hans (1995). “The grandson also rises,” Asia, Inc ., Maret, hal. 46-51.
Wibisono, Thomas (1995). “Timsco Group:
bisnis Suyatim Abdulrachman Habibie,” Informasi , Monthly Newsletter,
No. 1, Januari. Jakarta: PDBI.***
JIKA INGIN RE-BLOGGING ATAU BERBAGI ARTIKEL INI KEPADA KERABAT, TOLONG AGAR DICANTUMKAN SUMBERNYA, TERIMAKASIH BANYAK
The New Rulers Of The World (2001) Zaman Orde Baru– 1 hour full length
Mass Grave in Indonesia (PART-1)
Mass Grave in Indonesia (PART-2 / END)
No comments:
Post a Comment