Rezim Orde Baru: Ketika Indonesia Menjadi Kapitalis
Ketika Indonesia Mulai Menjadi Kapitalis di Masa Rezim Orde Baru
“ORDE BARU”
“NEW ORDER”
NEW World ORDER
“Sampai
detik ini, saat Suharto sudah menemui ajal dan dikuburkan di kompleks
pemakaman keluarga di dekat Imogiri, di sebuah daratan dengan ketinggian
666 meter di atas permukaan laut, perampokan atas seluruh
kekayaan alam negeri ini masih saja terus berjalan dan dikerjakan dengan
sangat leluasa oleh berbagai korporasi Yahudi Dunia.”
“Ketika tepat 100 tahun gerakan Zionisme Internasional merayakan kelahirannya, dan salah seorang pengusaha Yahudi dunia bernama George Soros
memborong mata uang dollar AS dari pasar uang dunia, maka meletuslah
krisis keuangan yang berawal dari Thailand dan terus merembet ke
Indonesia.”
*
Bulan November 41 tahun lalu, Jenderal
Suharto yang telah sukses mengkudeta Bung Karno, mengirim satu tim
ekonomi yang terdiri dari Prof. Sadli, Prof. Soemitro Djoyohadikusumoh,
dan sejumlah profesor ekonomi lulusan Berkeley University AS, sebab itu
tim ekonomi ini juga disebut sebagai ‘Mafia Berkeley’. Mereka hendak
menggelar pertemuan dengan sejumlah konglomerat Yahudi dunia yang
dipimpin Rockefeller.
Menjual Aset Kekayaan Alam Negara Kepada Pihak Asing
Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya John Pilger berjudul “The New Ruler of the World’ (yang bisa didownload di situs youtube) tim ekonomi suruhan Jenderal Suharto ini menggadaikan seluruh kekayaan alam negeri ini ke hadapan Rockefeler cs.
Dengan seenaknya, mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan memberikannya kepada pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut.
Gunung emas di Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya.
Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU
PMA) tahun 1967 pun dirancang di Swiss, menuruti kehendak para pengusaha
Yahudi tersebut.
Tapi siapa sangka,
walau sudah banyak sekali buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia
dari dalam dan luar negeri tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan
di saat Jenderal Suharto berkuasa selama lebih kuarng 32 tahun, dengan
jutaan fakta dan dokumen yang tak terbantahkan, namun nama Suharto masih
saja dianggap harum oleh sejumlah kalangan.
Bahkan ada yang begitu konyol mengusulkan agar sosok yang oleh Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal Keras Kepala (Belanda: Koepeg) diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar guru bangsa. Walau menggelikan, namun hal tersebut adalah fakta.
Penyiksaan dan Pembunuhan Rakyat Hingga Tokoh-Tokoh Agama
Usai tragedi Priok, rezim Suharto
sepertinya menemukan momentum untuk kian bertindak represif terhadap
dakwah Islam. Intel disebar ke berbagai masjid untuk memata-matai
khotib.
Jika ceramah sang khotib dianggap sedikit
keras maka langsung ditangkap dan dipenjara. Hal inilah yang menimpa
Hasan Kiat, khotib dari Priok yang hanya karena ceramahnya tegas dalam
akidah Islam ditangkap aparatnya Suharto.
Dalam tahanan pada masa Suharto,
penyiksaan sudah menjadi santapan keseharian. Ustadz Zubir dari Kalibaru
disiksa terus hingga dia meninggal dunia.
Seorang tapol Islam bernama Robby giginya
digerus pakai gagang pistol, nyaris rontok semua. Sedang Tasrif
Tuasikal, terpidana kasus Priok, dadanya ditusuk bayonet. Alhamdulillah, dia kuat,” ujar Hasan Kiat kepada penulis pada tahun 1998.
Oleh aparatnya Suharto, walau tahu jika
para tahanannya adalah orang-orang shalih, para ustadz, para aktivis
masjid, dan sebagainya, namun untuk memberatkan mereka, aparat berusaha
keras mengkaitkan mereka ini dengan PKI. Ini dinyatakan Hasan Kiat yang
mengalami sendiri hal seperti itu.
Tragedi Aceh, Tanjung Priok, Lampung,
hanyalah sebagian kecil kejahatan kemanusiaan yang dilakukan penguasa
rezim Suharto terhadap umat Islam.
Belum lagi tragedi lainnya yang tidak
kalah mengerikan seperti yang ditimpakan pada rakyat Timor-Timur, Papua,
Kedungombo, dan sebagainya. Seperti kata orang bijak, kehidupan ibarat
roda yang berputar. Maka ada saat naik, ada pula saat turun. Demikian
juga dengan kekuasaan Jenderal Suharto.
“Rezim yang lahir dari
genangan darah jutaan rakyatnya ini dengan dukungan penuh dari blok
imperialis dan kolonialis Barat, mengalami “masa keemasan” di akhir
tahun 1960-an hingga semester kedua tahun 1990-an.”
Selama hampir sepertiga abad, Jenderal
Suharto menjadi presiden dengan kekuasaan nyaris absolut bagaikan raja
atau pun diktator. Siapa pun yang berani berseberangan keyakinan dan
pandapat dengannya, walau ia bekas teman paling setia pun, pasti akan
disingkirkan.
“Di masa awal
kekuasaannya, rezim ini menggadaikan kekayaan alam bangsa yang
sedemikian besar kepada jaringan korporasi Yahudi sekaligus merancang
cetak biru perundang-undangan penanaman modal asing Indonesia di Swiss
(1967).”
Langkah ini diikuti dengan “stabilisasi”
perekonomian dan politik di dalam negeri, dengan campur tangan penuh
kekuatan imperialis dan kolonialis dunia seperti Amerika Serikat dan
Jepang.
Terhadap dakwah Islam, rezim Jenderal
Suharto bersikap sangat keras. Walau di awal naiknya kekuasaan, umat
Islam sempat digandeng dengan mesra, namun setelah berkuasa, umat Islam
ditendang keluar dari pusat kekuasaan.
Dakwah Islam menjadi barang haram dan
bahkan menjadi sasaran operasi intelijen di bawah komando Jenderal Ali
Moertopo hingga Jenderal Leonardus Benny Moerdhani.
“Sepanjang tahun 1970-an, rezim Jenderal Suharto menikmati masa kejayaan dan kemakmuran dengan ‘Oil Booming’nya. Di sisi lain, korupsi, kolusi, dan nepotisme juga tumbuh dengan sangat subur.”
Cendana, nama jalan tempat tinggal
Suharto di kawasan Menteng, Jakarta, menjadi pusat dari peredaran
keuangan di negeri ini. Dan banyak orang yang haus kekuasaan dan juga
kekayaan secara gerilya maupun terang-terangan, juga merapat ke Cendana.
Pada akhir tahun 1980-an dan awal
1990-an, seiring perubahan kepentingan politis Amerika Serikat, di mana
era perang dingin sudah bisa dikatakan berakhir dengan tumbangnya Uni
Soviet dan imperium komunis di Eropa Timur, maka berubah pula orientasi
politis dari rezim Jenderal Suharto. Walau demikian “stabilitas politik
dan ekonomi” serta “Pancasila” masih menjadi tuhan yang tidak boleh
diganggu gugat.
Dakwah Islam yang sudah puluhan tahun
ditindas dengan amat represif, perlahan-lahan simpulnya dikendurkan oleh
Suharto. Banyak kalangan menyebut Suharto sudah bertobat dan akan khusnul khotimah.
Atribut-atribut keislaman seperti peci
putih, sorban, dan jubah mulai dikenakan oleh Jenderal yang tangannya
berlumuran darah jutaan rakyatnya ini. Jilbab secara perlahan juga mulai
berkibaran di seantero negeri.
Tokoh-tokoh Islam dengan cepat dan
sedikit gegabah, menyebut hal ini sebagai kebangkitan Islam di
Indonesia, padahal baru sebatas kulit luarnya saja.
Membentuk Tradisi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Sedangkan ‘tradisi’ KKN tetap
dilestarikan bahkan sekarang sudah mengalami inovasi yang sangat luar
biasa. Ke masjid sering, namun tetap saja gila memburu proyek-proyek
yang sarat dengan mark-up anggaran dan sebagainya.
“Yoshihara Kunio, yang
meneliti hubungan bisnis dan politik kekuasaan di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia, menerbitkan bukunya yang akhirnya dilarang beredar
oleh Suharto. Buku tersebut berjudul “Kapitalisme Semu Asia Tenggara”.
Untuk Indonesia, Kunio menyatakan jika
pondasi perekonomian bangsa ini sebenarnya sangat rapuh karena dibangun
berdasarkan praktik KKN semata.
Sedangkan para pengusaha kecil-menengah
yang lokal, nyaris hidup sendiri tanpa adanya suatu proteksi atau pun
perlindungan khusus dari pemerintah. Akibatnya, kian hari kian banyak
perusahaan lokal yang dicaplok oleh korporasi asing.
Sebab itu, ketika tepat 100 tahun gerakan
Zionisme Internasional merayakan kelahirannya, dan salah seorang
pengusaha Yahudi dunia bernama George Soros memborong mata uang dollar
AS dari pasar uang dunia, maka meletuslah krisis keuangan yang berawal
dari Thailand dan terus merembet ke Indonesia.
Harga membubung tinggi dan banyak
pengusaha hasil KKN ambruk. Jahatnya, para konglomerat kakap yang amat
dekat dengan Cendana malah melarikan diri ke luar negeri dengan membawa
uang rakyat Indonesia dengan nilai yang amat sangat banyak.
Uang hasil BLBI yang jumlahnya ratusan
triliun rupiah dijarah dan tidak pernah dikembalikan hingga detik ini.
Indonesia meluncur pasti menuju kebinasaan.
Juga emas batangan dan perhiasan yang
jumlahnya berton-ton hasil sumbangan segenap rakyat Indonesia untuk
bangkit dari krisis moneter 1998 juga tak berbekas sama sekali, kemana
larinya semua emas sumbangan rakyat tersebut?
Empat Jenderal Kepercayaan Suharto
Selama kekuasaan diktator sekaligus rezim
Suharto, ada beberapa Jenderal yang disebut-sebut setia kepadanya
karena Soeharto menggunakan tentara untuk melanggengkan kekuasaannya.
Ada empat jenderal andalan Soeharto dan mereka loyal serta mau melakukan
apa saja demi menjaga kekuasaan Orde Baru.
Para jenderal ini memiliki kekuasaan yang nyaris tak terbatas. David Jenkins, wartawan Australia yang menulis buku “Suharto dan His Generals: Indonesia Military Politics 1975-1983″, menyebut empat jenderal ini sebagai para jenderal lingkaran dalam Soeharto.
Ciri-cirinya, dekat secara pribadi, bukan
sebatas tugas. Memiliki peran di bidang intelijen, serta memiliki
jabatan rangkap di bidang strategis. Saat itu yang melawan Soeharto
langsung diberangus.
Empat jenderal ini pula yang ‘menghabisi’
lawan-lawan Orde Baru, seperti Jenderal Nasution, Letjen Ali Sadikin,
Jenderal Hoegeng dan para penentang Soeharto lainnya. Keempat Jenderal
terdekat Suharto tersebut adalah:
1. Jenderal Benny Murdani
Jenderal Benny Murdani
menjabat Kepala Pusat Intelijen Strategis (Kapusintelstrat) sekaligus
wakil kepala Bakin merangkap Asisten 1 Intelijen Hankam. Tiga jabatan
strategis di dunia intelijen Indonesia.
Dengan kewenangan itu, Benny punya kuasa menggerakkan pasukan elite baret merah TNI AD yang kala itu bernama Kopasandha.
Sepak terjang Benny di
antaranya memimpin operasi pembebasan sandera Woyla di Thailand serta
membeli pesawat tempur A4 Skyhawk dari Israel.
Benny diangkat menjadi Panglima ABRI. Secara pribadi dia sangat dekat dengan Soeharto.
Karirnya disebut-sebut
berhenti saat dia meminta Soeharto untuk menegur anak-anaknya yang mulai
kebablasan di bidang ekonomi. Soeharto marah dan mencopot jenderalnya
yang setia ini.
2. Laksamana Sudomo
Sudomo
mengenal Soeharto sejak lama. Mulai dari operasi Trikora, dimana Mayjen
Soeharto menjabat Panglima Mandala. Ketika itu Soedomo memimpin seluruh
kekuatan matra laut dalam komando Mandala. Selama operasi, otomatis
Sudomo berada langsung di bawah Soeharto.
Setelah itu, hubungan
keduanya makin erat. Sudomo bahkan sempat menempati posisi nomor satu di
tubuh TNI AL tahun 1969-1973 sebagai kepala staf. Dia kemudian dipilih
menjadi Wakil Panglima Panglima Kopkamtib mendampingi Soemitro. Kemudian
menjadi Kopkamtib.
Sudomo pula yang
‘menghajar’ para Petisi 50 yang mengkritik Soeharto. Dia ikut mencekal
Jenderal Hoegeng tampil di TV. Mungkin karena kesal dengan Sudomo ini,
Hoegeng kemudian memberi nama orangutan miliknya dengan nama Pak Domo.
3. Letjen Ali Murtopo
Letjen Ali Murtopo menjabat wakil kepala Bakin. Dia sangat dekat dengan Soeharto, semenjak masih berada di Kodam Diponegoro Jawa Tengah.
Ali Murtopo seorang ahli intelijen. Dia
pernah memimpin tim untuk meredakan konflik Indonesia dan Malaysia pada
era Dwikora. Lalu dia juga yang diduga membuat islamphobia di Indonesia.
Ali Murtopo mengumpulkan sejumlah pejuang
Negara Islam Indonesia (NII), kemudian melakukan radikalisasi. Kelompok
ini pula yang kemudian melakukan sejumlah perampokan dan pembajakan,
termasuk pembajakan pesawat Woyla. Banyak yang menuding pembajakan
tersebut cuma rekayasa Intelijen.
Ali Murtopo juga yang mendirikan Center
for Strategic and International Studies (CSIS) yang menjadi dapur
kebijakan pemerintahan Orde Baru.
4. Jenderal Yoga Sugama
Jenderal Yoga Sugama
menjabat Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Yoga dekat
dengan Soeharto sejak Soeharto menjadi Panglima Kodam Diponegoro di Jawa
Tengah. Saat Soeharto menjadi Pangkostrad, Yoga dan kawan kawannya ikut
diajak ke Jakarta.
Hubungan Yoga dan
Soeharto sangat dekat. Yoga dikenal sebagai orang yang menjauhi
publistitas. Yoga Sugama juga pernah bertugas sebagai Duta Besar/Wakil
Kepala Perwakilan Tetap RI di PBB, New York, Amerika Serikat
(1971-1974).
Suharto Lengser Tahta Tahun 1998
Dari berbagai tekanan yang dilakukan mahasiswa, sejumlah pejabat, dan pastinya juga Washington, Presiden Suharto akhirnya lengser pada Mei 1998. Euphoria
gerakan reformasi meledak. Habibie jadi presiden, diganti Abdurrahman
Wahid, lalu Megawati, dan kemudian Susilo Bambang Yudhoyono.
“Gerakan reformasi
sudah berusia puluhan tahun lebih, namun di lapangan, praktik-praktik
peninggalan rezim Suharto, yaitu KKN ternyata bukan berkurang namun
malah tambah marak dan inovatif dengan berbagai dalih dan hujjah.”
Malah sejumlah tokoh yang mengaku
reformis, dari yang sekuler sampai yang katanya fundamentalis, kini
nyata-nyata mendekati Cendana kembali yang memang masih memiliki
kekayaan materil yang luar biasa.
“Mereka beramai-ramai
mengangkat Suharto sebagai orang yang patut diteladani dan bahkan
dikatakan sebagai Guru Bangsa. Panglima besar KKN malah dijadikan Guru
Bangsa. Ini merupakan sesuatu yang “amat hebat dan sungguh fantastis”.
Hal ini membuktikan kepada kita semua, betapa gerakan reformasi tenyata telah gagal total. Para Suhartois
masih kuat bercokol di negeri ini. Hari-hari menjelang Pemilu 2009 lalu
kita bisa melihat dengan mudah siapa saja orang-orang Indonesia, baik
itu yang sekular maupun yang mengklaim sebagai reformis, yang
sesungguhnya Suhartois. Mereka membuka topengnya lewat iklan, lewat manuver politik, dan sebagainya.
Koruptor satupun tak ada yang ditangkap,
masuk bui tanpa adanya pengadilan bahkan salah pun tidak, penyiksaan dan
pembunuhan terus berlangsung, secara total jutaan rakyat tewas. Tidak
adanya keadilan adalah suatu yang NYATA. Namun kecanggihan merubah pola
pikir atau cuci otak di zaman Suharto ini memang INTI dari semua
managemen yang telah dilakukannya.
Saat itu, memang Indonesia jadi memiliki
suatu faham pemerintahan yang “aneh”. Disatu sisi Indonesia berhalauan
demokrasi dan berteman dengan kapitalis barat yang mengeruk kekayaan
alam Indonesia dengan leluasa asalkan si pengeruk mau memberi “upeti”
kepada penguasa.
Namun disisi lainnya, faham yang
digunakan mirip sekali dengan sosialis dalam hal hak dan informasi
kepada rakyat, mirip Korea Utara yang rakyatnya hingga detik disaat anda
membaca artikel ini, mereka masih tetap tak tahu informasi apa-apa,
iya, tak tahu dunia luar. Mirip era Suharto.
Kita lihat saja nanti, sebuah inkubator
dan contoh kecil yaitu Korea Utara yang rakyatnya masih tetap merasa
senang dan nyaman oleh rezim penguasa, hingga suatu saat rezim tersebut
tergantikan dengan pemimpin yang demokratis, maka akan rusak mentalnya
dan akan menganggap masa seperti disaat ini adalah saat yang paing enak,
buta informasi. Maka disaat inilah rakyat Korea Utara sedang dicuci
otaknya (brainwashed) selama puluhan tahun! sekali lagi, mirip era Orde Baru rezim Suharto.
Namun para Suhartois
menganggap zaman Suharto adalah zaman “enak”. Mengapa? Karena
kebodohan, karena ketidak-mengertian, pada masa itu para koruptor sedang
diatas angin untuk mengeruk dan menumpuk kekayaan dan rakyat pun
dibuatnya terlena nyaman dan tak tahu bagaimana sebenarnya perkembangan
dunia secara global diluar sana. Karena semua media disaring, semua
berita disaring, bahkan hanya ada satu televisi hingga tahun 90-an dan itupun milik pemerintah.
Begitu pula berita
melalui radio pun disaring dan setelah semua berita tersaring, maka
WAJIB di “relay” ke semua stasiun radio seantero Indonesia. Terpusat,
tersentral dari Jakarta. Lagi pula, semua berita selalu, selalu dan
selalu baik. Tanpa cacat pemerintahan, sempurna. Rakyat pun hidup
terlena.
Bagaimana dengan koran dan majalah serta
media informasi lainnya? Jawabannya hanya satu: bernasib sama. Tiada
yang berani mengeritik pemerintah walau seujung jari, apalagi untuk
mengungkapkan suatu protes atau ketidak-sukaan. Bagaimana dengan hak
untuk berdemonstrasi dan mengungkapkan pendapat? Tak perlu dijawab!
Satu-satunya TV lainnya, selain TVRI
adalah TVRI Programa-2, sama juga milik TVRI, tapi Pro-2 menyiarkan
berita kota secara lokal dan kadang disisipi dengan penyiar dengan
bahasa Inggris.
Memulai Keterbukaan Informasi Media Adalah Akhir Segalanya
Akhirnya pada masa tahun 90-an informasi
mulai terbuka dengan diawali anak-anaknya mulai melirik bisnis TV
swasta. Setelah salah satu anaknya ingin membuat TV swasta karena
dianggap sangat menguntungkan dan sangat menggiurkan serta menjanjikan
secara ekonomis, namun Suharto tetap melarangnya karena takut rakyatnya
tahu dunia luar dan akan membandingkannya dengan keadaan Indonesia.
Maka untuk menghindari hal itu, dibuatlah
TV yang berawal untuk dunia pendidikan saja yaitu Televisi Pendidikan
Indonesia (TPI). Stasiun ini sama dengan TVRI, dari perangkatnya, alat
siarnya, studionya, menaranya, hampir semuanya, tapi programnya berbeda
karena untuk pendidikan anak-anak dan kaum muda.
TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari
1991 selama 2 jam dari jam 19.00-21.00 WIB. TPI diresmikan Presiden
Soeharto pada 23 Januari 1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta Pusat.
Pada awal pendiriannya tahun 1991 TPI
hanya ingin menyiarkan siaran edukatif saja. Saat itu TPI hanya
mengudara 4 jam. Salah satunya dengan bekerjasama dengan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan menyiarkan materi pelajaran pendidikan
menengah. Sejak itu TPI mengudara 4 jam, lalu sejak 1 Juni 1991 menjadi
6,5 jam. Lalu menjelang akhir 1991 sudah 8 jam.
Pada tahap awal pendiriannya, TPI berbagi
saluran dengan televisi milik pemerintah, TVRI. Perlahan-lahan mereka
mengurangi misi edukatif, dengan juga menyiarkan acara-acara lain,
termasuk kuis-kuis dan sinetron sebagai selingan.
Walau isi awalnya hanya untuk kaum
pelajar dan mahasiswa, namun iklan terus mengalir karena masyarakat
mulai membandingkan, jenuh dan bosan mulai mewarnai stasiun TVRI, yang
beritanya itu-itu saja.
TPI berpisah saluran dengan TVRI di
pertengahan 90-an. Kini, program edukasi tersebut sudah tergusur, dan
TPI fokus di program acara musik dangdut, seolah acara lain yang disebut
‘makin Indonesia’ dalam motto barunya seakan tenggelam oleh hingar
bingar acara dangdut di TPI. Bahkan TPI sebagai kependekan dari Televisi Pendidikan Indonesia sudah tidak berlaku lagi.
Dalam website resmi TPI, disebutkan TPI adalah Televisi Paling Indonesia, sesuai dengan misi barunya, yakni menyiarkan acara-acara khas Indonesia seperti tayangan sinetron lokal dan musik dangdut.
Sejak 20 Oktober 2010, TPI resmi berganti
nama menjadi MNCTV. Perubahan ini terjadi dikarenakan TPI tidak sesuai
dengan konteks tertulis pada televisi tersebut yaitu menjadi salah satu
televisi yang berbau pendidikan di Indonesia, dan oleh karena itu nama
TPI berubah menjadi MNCTV untuk mengubah citra TPI di mata masyarakat.
Lalu televisi swasta kedua pun muncul
setelah TPI, yaitu Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) kemudian
diikuti dengan beberapa stasiun televisi lainnya seperti SCTV. Maka,
informasipun mengalir dengan derasnya dan rakyat pun mulai
membandingkan.
Dulu di era Orde Baru, berita lokal
melalui TV dan radio selalu dimatikan oleh pemirsa dan pendengarnya,
satu yang disukai hanyalah Dunia Dalam Berita dan itupun juga tak luput
dari penyaringan berita. Berbeda dengan sekarang yang beritanya jauh
lebih realistis dan updated bahkan membuat pemirsanya “kecanduan”.
Artinya, suatu saat kedepannya nanti
setelah Suharto dilengserkan dengan cara apapun, dikala Indonesia hancur
lebur dan luluh lantak dalam krisis keuangan, krisis mental, dan krisis
keamanan serta krisis keadilan, maka Suharto akan tetap disanjung.
Inilah inti dari semuanya. Intinya. Inti. Dan nyatanya memang banyak
warga Indonesia yang terbukti telah berubah pola pikirnya. (Y 070713).
*
Ketika
Indonesia mulai menjadi Kapitalis sejak Zaman Orde Baru (New Order) di
era Suharto yang sudah “menjual” aset kekayan alam Indonesia kepada
pihak asing, maka siapapun Presiden Indonesia kedepannya, takkan bisa
berkutik lagi terhadap Dunia Barat hingga ke depannya, entah sampai
kapan dan….. dengan batas waktu yang Tak Bisa Ditentukan.
*
No comments:
Post a Comment