Sumpah Palapa Gajah Mada, Apa Sebenarnya Maknanya?
Gajah Mada (1299-1364)
Mahapatih Majapahit yang sangat terkenal dengan Sumpah Palapa-nya
merupakan satu-satunya orang kuat pada jamannya di nusantara. Salah satu
keruntuhan kerajaan Majapahit dikatakan karena tidak memiliki orang
kuat yang lain yang cakap untuk menggantikan Gajah Mada. Panglima Perang
yang ditunjuk menjadi Mahapatih kerajaan Majapahit menggantikan Arya
Tadah pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350). Sebagai mahapatih dia berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng
dan Keta (1331) dan kemudian berikrar untuk mempersatukan Nusantara
dengan sumpahnya yang dikenal sebagai Sumpah Palapa. Serat Pararaton
memuat Sumpah Palapa yang diucapkan dihadapan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi sebagai berikut:
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seram, tanjungpura, ring haru, pahang, dompo, ring bali, sunda, palembang, tumasik, samana isun amukti palapa”
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seram, tanjungpura, ring haru, pahang, dompo, ring bali, sunda, palembang, tumasik, samana isun amukti palapa”
artinya:
“Apabila sudah kalah Nusantara, saya
akan beristirahat, apabila Gurun telah dikalahkan, begitupula Seram,
Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, pada
waktu itu saya akan menikmati istirahat”
Sayang sekali asal-usul Mahapatih Gajah
Mada yang sangat masyur ini belum jelas diketahui Orang,baik meyangkut
Nama orang tuanya maupun tempat serta tahun kelahirannya.
Muhammad Yamin didalam bukunya yang berjudul Gajah Mada, Balai Pustaka, cetakan ke-6, 1960, hal. 13 mengungkapkan tokoh ini sebagai:
“Diantara sungai brantas yang mengalir dengan derasnya menuju kearah selatan dataran Malang dan dikaki pegunungan Kawi-Arjuna yang indah permai,maka disanalah nampaknya seorang-orang indonesia berdarah rakyat dilahirkan pada permulaan abad ke-14.
Muhammad Yamin didalam bukunya yang berjudul Gajah Mada, Balai Pustaka, cetakan ke-6, 1960, hal. 13 mengungkapkan tokoh ini sebagai:
“Diantara sungai brantas yang mengalir dengan derasnya menuju kearah selatan dataran Malang dan dikaki pegunungan Kawi-Arjuna yang indah permai,maka disanalah nampaknya seorang-orang indonesia berdarah rakyat dilahirkan pada permulaan abad ke-14.
Ahli sejarah tidak dapat menyusur hari
lahirnya dengan pasti: ibu bapak dan keluarganya tidak dapat perhatian
kenang-kenangan riwayat: Begitu juga nama desa tempat dia dilahirk
an dilupakan saja oleh penulis keropak jaman dahulu asal usul gajah mada semua dilupakan dengan lalim oleh sejarah.
Jadi jelaslah menurut Muhammad Yamin,
asal-usul Gajah Mada masih sangat gelap, walaupun ada dugaan bahwa gajah
mada dilahirkan di aliran sungai Brantas yang mengalir keselatan
diantara kaki gunung Kawi-Arjuna, diperkirakan sekitar tahun 1300 M.
Keinginan untuk mengetahui asal-usul
Patih Gajah Mada sebagai negarawan besar pada jaman Kerajaan Majapahit,
telah lama menarik perhatian ahli sejarah, salah satunya I Gusti Ngurah
Ray Mirshaketika mengadakan Klasifikasi Dokumen Lama yang berbentuk
lontar-lontar pada “perpustakaan Lontar Fakultas Sastra, Universitas
Udayana” (sekitar tahun 1974).
Salah satu lontar yang menarik perhatian
diantaranya adalah lontar yang berjudul “Babad Gajah Maddha”. Lontar
tersebut memakai kode: Krop.7, Nomer 156, Terdiri dari 17 Lembar lontar
berukuran 50×3,5 cm, ditulisi timbal balik, setiap halaman terdiri atas 4
baris, memakai huruf dan bahasa Bali-Tengahan.
Lontar tersebut adalah merupakan Salinan sedangkan yang asli belum dapat dijumpai.
Secara garis besar lontar babad Gajah Maddha tersebut berisikan:
Secara garis besar lontar babad Gajah Maddha tersebut berisikan:
- Asal Usul Gajah Mada.
- Gri Kresna Kapakisan dalam hubungannya dengan raja-raja Majapahit.
- Emphu keturunan pada waktu memerintah di Bali
Yang menjadi perhatian dari sekian lontar
tersebut dan dapat dijadikan penelitian lebih lanjut adalah bagian yang
menjelaskan tentang asal-usul/kelahiran sang Maha Patih Gajah Mada.
Ringkasan Isi Teks Lontar Babad Gajah Maddha
Tersebutlah Brahmana suami-istri di
wilatikta, yang bernama Curadharmawysa dan Nariratih, keduanya disucikan
(Diabhiseka menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat.
Setelah disucikan lalu kedua suami istri tersebut diberi nama Mpu Curadharmayogi dan istrinya bernama Patni Nuriratih. Kedua pendet tersebut melakukan Bharata (disiplin) Kependetaan yaitu: Sewala-brahmacari artinya setelah menjadi pendeta suami istri tersebut tidak boleh berhubungan badan layaknya suami istri lagi.
Setelah disucikan lalu kedua suami istri tersebut diberi nama Mpu Curadharmayogi dan istrinya bernama Patni Nuriratih. Kedua pendet tersebut melakukan Bharata (disiplin) Kependetaan yaitu: Sewala-brahmacari artinya setelah menjadi pendeta suami istri tersebut tidak boleh berhubungan badan layaknya suami istri lagi.
Selanjutnya Mpu Curadharmayogi mengambil tempat
tinggal (asrama) di Gili Madri terletak
di sebelah selatan Lemah Surat, Sedangkan Patni Nariratih bertempat
tinggal di rumah asalnya di wilatikta, tetapi senantiasa pulang ke
asrama suaminya di gili madri untuk membawa santapan,dan makanan
berhubungan jarak kedua tempat tinggal mereka tidak begitu jauh.
Pada suatu hari Patni Nariratih
mengantarkan santapan untuk suaminya ke asrama di Gili Madri, tetapi
sayang pada saat hendak menyantap makanan tersebut air minum yang
disediakan tersenggol dan tumpah (semua air yang telah dibawa
tumpah),sehingga Mpu Curadharmayogi mencari air minum lebih dahulu yang
letaknya agak jauh dari tempat itu arah ke barat.
Dalam keadaan Patni Nariratih seorang
diri diceritakan timbulah keinginan dari Sang Hyang Brahma untuk
bersenggama dengan Patni Nariratih . Sebagai tipu muslihat segerah Sang
Hyang Brahma berganti rupa (berubah wujud, “masiluman” ) berwujud
seperti Mpu Curadharmayogi sehingga patni Nariratih mengira itu adalah
suaminya.
Segera Mpu Curadharmayogi palsu
(Mayarupa) merayu Patni Nariratih untuk melakukan senggama. Tetapi ,
keinginan tersebut ditolak oleh Patni Nariratih. Oleh karena sebagai pe
ndeta sewala-brahmacari sudah jelas tidak
boleh lagi mengadakan hubungan sex,oleh karena itu Mpu Curadharmayogi
palsu tersebut memperkosa Patni Nariratih.
Setelah kejadian tersebut maka hilanglah
Mpu Curadharmayogi palsu,dan datanglah Mpu Curadharmayogi yang asli
(Jati). Patni Nariratih menceritakan peristiwa yang baru saja menimpa
dirinya kepada suaminya dan akhirnya mereka berdua menyadari,bahwa akan
terdjadi suatu peristiwa yang akan menimpa mereka kelak.
Kemudian ternyata dari kejadian yang menimpa Patni Nariratih akhirnya mengandung.
Menyadari hal yang demikian tersebut mereka berdua lalu mengambil keputusan untuk meninggalkan asrama itu,mengembara ke hutan-hutan ,jauh dari asramanya tidak menentu tujuannya,hingga kandungan patni Nariratih bertambah besar.
Menyadari hal yang demikian tersebut mereka berdua lalu mengambil keputusan untuk meninggalkan asrama itu,mengembara ke hutan-hutan ,jauh dari asramanya tidak menentu tujuannya,hingga kandungan patni Nariratih bertambah besar.
Pada waktu mau melahirkan mereka sudah
berada didekat gunung Semeru dan dari sana mereka menuju kearah barat
daya, lalu sampailah disebuah desa yang bernama desa Maddha. Pada waktu
itu hari sudah menjelang malam dan Patni Nariratih sudah hendak
melahirkan,lalu suaminya mengajak ke sebuah “Balai Agung” yang terletak
pada kahyangan didesa Maddha tersebut.
Bayi yang telah dilahirkan di Bale Agung
itu, segera ditinggalkan oleh mereka berdua menuju ke sebuah gunung.
Bayi tersebut dipungut oleh seorang penguasa di Desa Maddha, lalu oleh
seorang patih terkemuka di wilatikta di bawa ke wilatikta dan diberi
nama “Maddha”
Nama Gajah kemungkinan besar nama gajah
adalah nama kemungkinan nama tambahan atau nama julukan atau bisa juga
nama Jabatan (Abhiseka) bagi sebutan orang Kuat, dengan
demikian Gajah Mada berarti Orang kuat yang berasal dari Maddha.
Pada Babad Gajah Maddha hal. 12a yang
menyebutkan tentang kelahiran Gajah Mada, ada kalimat yang berbunyi “On
Cri Caka warsa jiwa mrtta yogi swaha” kalimat ini adalah Candrasangkala
yang bermaksud kemungkinan sebagai berikut:
On Cri Cakawarsa = Selamatlah Tahun Saka
On Cri Cakawarsa = Selamatlah Tahun Saka
Jiwa = 1 (satu)
mrtta = 2 (Dua)
Yogi = 2 (Dua)
Swaha = 1 (satu)
mrtta = 2 (Dua)
Yogi = 2 (Dua)
Swaha = 1 (satu)
jadi artinya : Selamat Tahun Saka 1221
atau tahun (1299 Masehi) seandainya itu benar maka gajah mada dilahirkan
pada tahun 1299 Masehi.
Awal kariernya menjadi Begelen atau setingkat kepala pasukan Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-1328). Terdapat sumber yang mengatakan bahwa Gajah Mada bernama lahir Mada sedangkan nama Gajah Mada kemungkinan merupakan nama sejak menjabat sebagai patih.
Dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakertāgama karya
Kitab Prapanca yang ditemukan saat
penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun 1894 terdapat
informasi bahwa Gajah Mada merupakan patih dari Kerajaan Daha dan
kemudian menjadi patih dari Kerajaan Daha dan Kerajaan Jenggala yang
membuatnya kemudian masuk kedalam strata sosial politis pada saat itu
dan Gajah Mada digambarkan pula sebagai “seorang yang mengesankan,
berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta
berpikiran sehat”.
Menurut Kitab Pararaton, Gajah Mada
sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara berhasil memadamkan
Pemberontakan Ra Kuti, dan menyelamatkan Prabu Jayanegara (1309-1328)
putra Raden Wijaya dari Dara Petak. Selanjutnya di tahun 1319 ia
diangkat sebagai Patih Kahuripan, dan dua tahun kemudian ia diangkat
sebagai Patih Kediri.
Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni
Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Dan
menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah
Mada sendiri tak langsung menyetujui, tetapi ia ingin membuat jasa
dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu
sedang memberontak terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya
dapat ditaklukan. Akhirnya, pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi
Mahapatih secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328-1351) yang waktu itu telah memerintah Majapahit setelah terbunuhnya Jayanagara.
Sumpah Palapa
Ketika pengangkatannya sebagai patih
Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1336 M) Gajah Mada mengucapkan Sumpah
Palapa yang berisi bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-rempah
(yang diartikan kenikmatan duniawi) bila telah berhasil menaklukkan
Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai berikut
Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa |
bila dialih-bahasakan mempunyai arti:
Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa |
Walaupun ada sejumlah pendapat yang
meragukan sumpahnya, Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan
Nusantara. Dimulai dengan penaklukan ke daerah Swarnnabhumi (Sumatera)
tahun 1339, pulau Bintan, Tumasik (sekarang Singapura), Semenanjung
Malaya, kemudian pada tahun 1343 bersama dengan Arya Damar menaklukan
Bedahulu (di Bali) dan kemudian penaklukan Lombok, dan sejumlah negeri
di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjung
Lingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang,
Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku,
Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.
Pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389)
yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada terus melakukan
penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung,
Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Makassar,
Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor,
Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.
Terdapat dua wilayah di Pulau Jawa yang
seharusnya terbebas dari invasi Majapahit yakni Pulau Madura dan
Kerajaan Sunda karena kedua wilayah ini mempunyai keterkaitan erat
dengan Narrya Sanggramawijaya atau secara umum disebut dengan Raden
Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit (Lihat: Prasasti Kudadu 1294) dan Pararaton Lempengan VIII, Lempengan X s.d. Lempengan XII
dan Invasi Yuan-Mongol ke Jawa pada tahun 1293) sebagaimana diriwayatkan pula dalam Kidung Panji Wijayakrama.
Perang Bubat
Dalam Kidung Sunda diceritakan
bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk mulai melakukan
langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi Dyah Pitaloka putri
Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak
Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit
untuk melangsungkan pernika
han agung itu. Gajah Mada yang
menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai
persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda
mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan
Maja
pahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang
saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh
diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran.
Akibat peristiwa itu langkah-langkah diplomasi Hayam Wuruk gagal dan
Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena dipandang lebih
menginginkan pencapaiannya dengan jalan melakukan invasi militer padahal
hal ini tidak boleh dilakukan.
Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung
yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja
menganugerahkan dukuh “Madakaripura” yang berpemandangan indah di
Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang
menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih
hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.
Akhir Hayat
Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama
bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia
menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal
dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi. Hayam Wuruk kemudian
memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam
menyelenggarakan segala urusan negara.
No comments:
Post a Comment